Jakarta, NextID – Apa yang dikerjakan di tengah lawatan Covid-19 ini? Bekerja di rumah? Lho bekerja di rumah dengan pekerjaan rumah sama pentingnya, dan serupa peliknya. Untuk beberapa profesi, pelukis, salah satunya. Hanya saja, bagaimana hasil kerja itu bisa menembus pasar ekonomi seperti yang diharapkan di tengah Covid ini. Itu yang perlu disiasati.
Nah, jurus seperti apa yang diterapkan agar antara karya dan ekonomi bisa tetap selaras, walau tak dapat dikatakan stabil saat ini. Tentu ada kiat-kiat cantik yang harus dipahami dengan kerja secara profesional dan kecerdasan yang tertuang dalam alur kerja itu sendiri.
Mata penaku memantik ketika karya dari pelukis I Ketut Adi Candra yang bermukim di kawasan Sukawati, Bali, menembus area Washinton DC, Amerika Serikat. Bagaimana bisa? Memang sih, tak ada yang tak mungkin terjadi di kolong langit ini. Hanya saja ketika banyak berita menulis bahwa Bali adalah provinsi paling terpuruk dibanding provinsi lain di negeri ini dalam hal ekonomi, karena masyarakat Pulau Seribu Pura itu memang hidup dari pariwisatanya, maka “mengejutkan” jika lukisan Ketut Adi Candra melenggang ke negeri Paman Sam. Wouw ini tentu menjadi kisah menarik.
Tapi tunggu dulu, benarkah demikian. “Ya benar, memang ada beberapa lukisan yang diorder oleh mereka. Ini sifatnya pesanan pribadi ya. Bahkan ada seorang Kepala Rumah Sakit, Wina – Austria, Prof. Dr Maria Schoder yang memiliki beberapa lukisan saya. Dia masih menginginkan lukisan namun ditunda karena Covid. Dia bahkan mengatakan, ada bagian rumahnya yang menjadi ruang pajang lukisan saya,” cerita Ketut Adi Candra semangat.
Menurut pelukis jebolan ISI Bali itu, sejauh ini karyanya dimiliki para kolektor lukisan di Australia, Austria, Belanda, Perancis, dan Rusia. Juga beberapa kolektor yang sengaja datang ke galerinya di Bali, membeli lukisan lantas membawa pulang ke negara asal masing-masing.
Lalu bagaimana penjualan lukisan di lawatan pandemi ini? Terobosan semacam apa yang dilakukannya. ”Saya tidak terlalu berpikir bagaimana lukisan bisa terjual seperti hari sebelum Covid melanda karena semua belahan dunia mengalami resesi ini. Bukan hanya di negeri kita dan Bali. Tetapi saya tetap fokus berkarya. Gak juga saya berpikir bahwa lukisan yang saya garap harus laku sekian puluh juta,” ujarnya.
“Beberapa tahun terakhir, dalam bekerja saya menyatukan antara ketenangan hati urani, keharmonisan rumah tangga, enerji spiritual, juga berpikir positif,” tegas Adi yang kini menekuni dan perpanjangan tangan ajaran cinta kasih Siwa Budda.
Menurut ayah dari tiga putra itu lagi, sejak ia memutuskan untuk lebih banyak waktu bertekun di ajaran Siwa Budda, maka konsentrasi bekerjanya semakin baik. Sekalipun ia dalam tekanan dan dera nan melanda. Pasalnya katanya, pikiran dan hati yang bersihlah yang pada akhirnya membawa seseorang lebih baik dan lebih profesional.
“Siapa sih yang tak terpuruk saat ini. Masyarakat di dunia semua terpuruk. Kalau Bali dikatakan terpuruk, gak juga kok. Kami masih bisa makan minum dengan baik, juga sekolahkan anak dengan oke. Yang penting menjaga kesehatan maka berkarya akan optimal jika kita sehat. Sehat lahir dan batin ya,” begitu pendapat Ketut Adi Candra.
Rasanya Ketut benar, hati memang muara keberhasilan seseorang dalam bekerja dan berkarya. Tentu saja komunikasi yang tidak terlalu ribet. Komunikasi yang tidak multi tafsir akan lebih mempermudah tercapainya keberhasilan. Tak bisa disangkal bahwa komunikasi itu penting sekaligus membuat kehadiran seseorang menjadi penting, karena dengan keadaan seperti itu pada akhirnya dapat mengusahakan kesuksesan yang menjadi hak kita dan hak orang lain.
Tentu berkomunikasidengan baik, cerminan pribadi yang baik. Tidak ada komunikasi maka tidak ada kesuksesan. Komunikasi lewat karya yang baik itulah yang terus dipertahankan Ketut Adi Candra. “Bagi saya, ketika karya lukis bisa diserap oleh audience, berarti karya saya memiliki jiwa yang bisa berkomunikasi dengan pemirsa. Itulah karya seni yang punya jiwa,” ungkapnya.
Tahun 1998 di awal ia berkiprah secara indenpenden. Ia hadir dengan lukisan abstraknya namun perjalanan hari beberapa orang kolektor menilai gaya abstraknya menjadi abstrak yang sarat nilai religius. Tanggapan seperti itu melekat erat hingga kini.
“Apapun komentar konsumen untuk karya saya, tentu saya terima dengan legowo, dan itu mengalir begitu saja. Saya bersyukur bisa hidup berkesenian hingga saat ini. Walau ada fase-fase sulit yang saya pernah alami,” sibak Ketut yang pada tahun 2019 mengikuti pameran di Balai Budaya Jakarta, dan 5 kali pameran tunggal di Bali, Yogyakarta dan Denmark (khusus di Denmark, Ketut tidak hadir hanya mengirim lukisan).
Masa Kelam
Hari ini ada karena hadirnya masa lalu, Ketut bercerita. Pada 2010 Ketut mengalami sakit yang membuat dia tak lagi berdaya, anggota tubuhnya tidak bisa digerakkan, bahkan menurutnya tak ubah seperti orang yang tak bernyawa. Apalagi untuk berkarya, itu tidak mungkin. Maka 1,5 tahun ekonomi keluarganya ikut terpuruk, hingga mendapat bantuan dari keluarga besar. Sang istri pegang kendali ekonomi yang saat itu memang masih bekerja.
“Saya pernah mengalami hidup yang tidak baik. Perilaku saya tidak terpuji, iri, dengki, dendam rasa tak puas diri campur aduk. Konflik dengan keluarga dan beberapa pihak. Hasil jual lukisan yanf bisa mencapai harga terbaik, tidaklah cukup. Tahun 2016 ada seorang turunan keraton Solo namun berdomisili di Bali, ia mengajarkan kepada saya bahwa hidup ini harus selalu bersyukur, kita harus berterima kasih kepada Tuhan dan memahami apa arti cinta kasih kepada Tuhan, sesama dan lingkungan. Maka pada 2017 saya mulai belajar dengan tekun ajaran cinta kasih Bakta dari Siwa Budda sebagai manisfestasi Tuhan. Di situlah saya merasa lebih dikuatkan, dan akhirnya sampai sekarang menguatkan jiwa orang orang yang terpuruk hidupnya, bahkan yang kecanduan obat dan narkoba,” bebernya.
Papar Ketut lagi, dalam berkarya di tengah Covid ini, selain mematuhi prokes yang telah ditetapkan pemerintah, ia terus mendekatkan diri kepada Tuhan. ”Saat ini orang takut kepada virus Corona tapi tak takut kepada Tuhan. Uang sudah menjadi tuhannya, walau memang tanpa uang, ruang gerak kita terbatas, tapi Tuhanlah di atas segalanya. Keadaan ini mengajarkan kepada umat di dunia harus masuk serius ke ranah spiritual dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kita gak tahu kok, kapan virus berakhir,” demikian Ketut lagi.
Ada ketenangan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, ketika ia mengambil keputusan untuk lebih masuk dalam dan menekuni ajaran cinta kasih. Ada sesuatu yang tak bisa dinilai dengan mata uang apapun jika ia berhasil menolong orang yang mengalami keterpurukan jiwa. “Hari-hari saya terasa penuh. Menyiapkan sesajen, ruang untuk sembayang dan juga ruang di mana saya melakukan komunikasi dengan para sahabat yang ingin mengetahui lebih lanjut ajaran cinta kasih Siwa Budda ini. Bahagia dan tenang sekali rasanya,” ujarnya.
Seperti yang dikatakan Willa Cather, bahwa cinta-kasih yang besar selalu membawa keajaiban. Curahan perhatian dan kebaikan kepada sesamapun karena cinta. Bekerja dengan dilandasi cinta kasih pun hasilnya akan lebih baik dari perkiraan awal kerja. Makanya Khalil Gibran mengatakan kerja itu adalah cinta yang mengejawantah. Lebih jauh lagi, filsuf China, Lao-tzu berujar, dengan cinta kasih yang dalam, seseorang akan jadi pemberani.
Periode “sakit” yang dialami Ketut, mengubah cara pikir dan kerjanya menjadi lebih baik, dan menjadi lebih benar ketika ia masuk di ruang spiritual hidup yang penuh dengan ajaran cinta kasih. Sampailah ia pada jam terbang yang tinggi. Ia berkesenian di tengah altar pulau yang warganya sarat dengan karya seni.
Dilihat dari jam terbangnya yang sudah tinggi, juga mondar-mandir menggelar pameran tunggalnya yang tak henti, maka tersirat ia melangkah di kehidupan berkesenian yang baik. Walau ia mengaku lebih memilih hidup berkesenian yang independen. Walau untuk beberapa waktu ia pernah bergabung dengan para seniman di Bali.
Menurutnya mengapa memilih cara itu, karena justru ia bisa memecut dirinya untuk terus berkarya tanpa henti. “Jika kita naik gak ada yang mengatakan itu karena jasa siapa, dan sebaliknya jika kita anjlok, kita pun tak perlu menyalahankan siapa-siapa. Apalagi belakangan ini saya banyak terjun di dunia spiritual, maka lebih fleksibel mengatur waktu antara berkarya, berkesenian dan mengajar. Atau membantu pelayanan healing, juga waktu waktu sembayang,” paparnya lebih jauh.
Banyak orang mengalami kesesakan di tengah lawatan Covid ini, mungkin juga terpuruk. Mati langkah, resah hati dan buntu ide untuk menghasilkan sesuatu agar api kehidupan bisa terus menyala. Hanya saja bagi orang-orang yang selalu bersyukur di masa sulit ini tentu akan selalu menemukan celah untuk menghasilkan sesuatu.
Ruang gerak boleh saja terbatas, namun ruang pikir dan sikap dalam menghasilkan sesuatu harusnya lebih panjang. “Toh masih ada celah untuk berkomunikasi dan menjajakan karya lewat virtual yang jangkauannya tak terbatas. Di kondisi ini seharusnya komunikasi antara anggota keluarga akan lebih intens dan saling menopang,” tuturnya.
Pribadi yang bertanggungjawab dibentuk dari rangkaian pengalaman hidup yang luar biasa. Ketut Adi Candra tampak berhasil menumbuhkan dengan baik cinta kasih di hati, kemudian mempersembahkan untuk kehidupan di sekitarnya. Maka terlihat ada damai sejahtera mewarnai aktivitasnya, atau siapa pun itu yang berkarya berlandaskan cinta kasih.
Ketut Adi Candra terkesan telah menggunakan peran dan aktivitas terbaiknya dengan segenap hati, demi diri sendiri, keluarga dan orang lain. Hidup berkesenian dengan “keputihan spriritual” itu memang sangat elok. (Martha Sinaga)