Kemandirian masyarakat diperlukan agar bisa menyelesaikan persoalan keseharian antarwarga. Untuk mewujudkan kemandirian ini, tanggung jawab sosial perusahaan dibutuhkan. Perusahaan harus memperlihatkan komitmen, waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit.
Menurut Dony Indrawan, Manajer Komunikasi Perusahaan PT Chevron Pacific Indonesia, saat menjadi pembicara dalam diskusi terkait CSR di Garut, pekan lalu, mengatakan,”Bagi Chevron, dalam ber-CSR itu ya harus mampu menciptakan masyarakat yang mandiri secara ekonomi. Namun, juga tidak bisa mengabaikan ketersediaan infrastruktur sebagai pendukung masyarakat untuk bergerak lebih cepat.”
Donny menjelaskan, kenapa infrastruktur harus dimasukkan dalam bagian CSR. Itu karena ternyata peran infrastruktur sangat besar bagi bertumbuhnya perekonomian sebuah kawasan.
“Jika infrastrukturnya tidak memadai, sebuah kawasan akan sulit bersaing dengan kawasan lainnya. Karena itu, berdasarkan kondisi tersebut, Chevron memasukkan pembenahan infrastruktur sebagai bagian dari penciptaan masyarakat mandiri secara ekonomi dan sosial,” ujarnya.
“Social Invesment”
Penciptaan masyarakat yang mandiri dan lebih berdaya menjadi sikap perusahaan yang terus-menerus direalisasikan di mana pun Chevron berada. “Untuk itu, kami kemudian mengubah program tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi dengan nama CSR, tetapi social investment,” katanya.
Salah satu kawasan yang diberdayakan secara ekonomi dan sosial oleh Chevron adalah Desa Wisata Ciburial, Garut. Lokasi desa ini berada kira-kira 15 kilometer dari proyek panas bumi yang dikerjakan Chevron Geothermal Indonesia Ltd.
“Kami butuh waktu setidaknya lima tahun untuk mengubah potret Desa Ciburial dari desa pada umumnya menjadi desa wisata yang mampu memberikan kontribusi positif tidak hanya pada pendapatan warga secara pribadi, tetapi juga pendapatan desa dan daerah dalam hal ini Kabupaten Garut,” ujar Tig Yulianto, Policy Government and Public Affair Chevron Geothermal Indonesia, saat ditemui di Desa Wisata Saung Ciburial, pekan lalu.
Menurutnya, mengubah pola pikir masyarakat yang sudah mapan, seperti yang terjadi di Desa Ciburial, bukan pekerjaan mudah. Proses diskusi dilakukan hampir setiap hari untuk mendapatkan formula tepat yang bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat serta menjadikan desa tersebut menjadi lebih bernilai dibandingkan desa sekitarnya.
Bahkan, Tig mengemukakan, beberapa warga desa dan para sesepuhnya diajak ke Yogyakarta untuk melihat bagaimana warga di sana menjadikan sisi tradisional desa mereka dengan aktivitasnya yang normal sebagai bagian dari produk yang bisa ditawarkan untuk menarik minat wisatawan datang.
“Kunjungan ke desa wisata di Yogyakarta memang menumbuhkan inspirasi bagi kami dan juga warga Desa Ciburial bahwa kondisi alami yang ada di desa mereka ternyata bisa dijual dengan catatan harus dikemas secara baik dan tidak meninggalkan sisi alami desa tersebut,” ujar Tig.
Singkat kata, Tig melanjutkan, warga kemudian bersepakat untuk menjadikan desa mereka sebagai desa wisata. Dari kesepakatan itulah Chevron kemudian berdiskusi dengan warga untuk mendapatkan hasil terbaik. “Awalnya, hanya beberapa warga yang setuju. Tetapi lama-kelamaan, mereka kemudian menawarkan tanahnya bisa dipakai,” kata Tig.
Selain membangun infrastruktur di desa tersebut, Tig mengungkapkan, mereka juga mempersiapkan bangunan apa saja yang bisa mendukung wajah desa menjadi desa wisata.
“Kami kemudian membangun rumah apung di tengah kolam ikan seluas 500 meter persegi. Rumah tersebut terdiri atas lima kamar dan kamar mandi terpisah. Di depan rumah itu terdapat hamparan kolam ikan seluas kurang lebih 500 meter persegi. Di kolam tersebut, pengunjung bisa memancing dan menikmati keindahan dan keasrian alam Desa Ciburial,” katanya.
Selain itu, pihaknya melatih anak-anak warga desa untuk menari dan bermain permainan asli warga setempat. “Awalnya memang sulit, tetapi dengan kesabaran sekarang warga sudah bisa menuai hasil. Setidaknya dalam sebulan, mereka memperoleh pendapatan dari kunjungan warga sebesar Rp 22 juta. Masih kecil memang jika dibandingkan desa wisata yang lain. Namun, kami yakin pendapatan itu akan terus bertambah ke depannya,” serunya.
Keyakinan akan terus bertambahnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa Ciburial memang luar biasa. Apalagi saat ini, pihaknya juga mempersiapkan homestay yang mampu menampun 150 orang.
Di homestay tersebut, wisatawan tinggal bersama keluarga-keluarga di Desa Ciburial. Mereka bebas mau melakukan apa saja, tetapi akan dikenai tarif yang tidak mahal sesuai kegiatan yang dilakukan. “Pengunjung yang datang biasanya rombongan, bisa dua-tiga bis,” katanya.
Tig menambahkan, waktu yang dibutuhkan untuk menata desa ini dari 2010-2015 dan untuk dana yang dialokasikan lebih dari Rp 200 juta. “Jelang akhir, kami akan membuat ruang untuk rapat,” ujarnya.
Selain melakukan aktivitas bercocok tanam hingga outbond, pengunjung akan disuguhi pertunjukan barudak (permainan anak-anak) hingga adu ketangkasan domba. “Barudak dan adu ketangkasan domba tidak bisa ditemui di desa wisata lainnya. Dua permainan ini merupakan keunggulan Desa Wisata Saung Ciburial,” tuturnya.
Selain itu, pengunjung bisa mengikuti pelatihan pertanian, atraksi panen sawi, memancing, tracking, outbond, paint ball 30 peluru, penyambutan, karawitan, belajar gamelan, membatik, kaulinan barudak, kreasi janur, pencak silat, ketangkasan domba, serta kunjungan ke penyulingan akar wangi dan kunjungan ke sentra jamur.
Hal yang cukup menarik, berdasarkan pengamatan SH, saat berkunjung ke Desa Wisata Saung Ciburial ini adalah perubahan sikap masyarakat yang semula tertutup menjadi terbuka saat bertemu para pengunjung. Adaptasi tersebut butuh waktu lama. Sekarang warga desa bisa merasakan manfaatnya. Apalagi, penghasilan yang didapat di samping dipakai untuk menyantuni anak-anak yatim, juga dipakai untuk kemajuan desa tersebut.
“Kami sudah membagi-bagi pendapatan yang dari kunjungan wisatawan ke desa kami. Harapan kami, warga menjadi lebih sejahtera, desa menjadi lebih maju dan bisa berkontribusi pada pendapatan daerah,” ucap Adi Ahmad Nasir, pengelola Desa Wisata Saung Ciburial.
Tidak Terpisahkan
Donny menambahkan, kontribusi operasi Chevron pada 2013 senilai Rp 120 triliun atau 1,4 persen lebih besar dari PDB Indonesia. Jumlah ini setara dengan biaya untuk membangun 46.000 sekolah dasar. Selain kontribusi dari kegiatan operasi, kontribusi Chevron terhadap masyarakat juga dapat dilihat dari dampak program investasi sosial.
Karena itu, menurut Dony, kegiatan CSR atau investasi sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasional perusahaan. Ini adalah nilai yang tertanam dan menjadi pegangan di mana pun Chevron beroperasi.
“Jadi, kami tidak lagi bicara berapa dananya, apakah ini masuk cost recover atau tidak. Karena bagi kami, kegiatan CSR atau social investment adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan operasional yang kami lakukan,” katanya.