Home / LifeStyle / Leisure / Art / Satu Dasawarsa KCBI Semakin Jaya
Di 10 tahun usia KCBI, Sita Hanamastuty selaku Kertua Umum mengucapkan rasa syukur bersama seluruh anggota KCBI yang hadir, Sabtu (9/3) di Plaza Semanggi.

Satu Dasawarsa KCBI Semakin Jaya

Naskah dan Foto: Martha Sinaga

Jakarta, NextID – 10 Tahun bukanlah kurun waktu yang singkat untuk sebuah komunitas. Khusus untuk Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) yang telah memasuki masa dasawarsa, terlihat semakin dewasa dan memahami untuk selanjutnya menyiarkan kepada khalayak bahwa salah satu kekayaan Indonesia itu adalah wastra (kain tradisional) yang banyak ragamnya.

Betapa tidak, bisa dirasakan bahwa usaha untuk menyosialisasikan wastra – salah satunya tenun bermotif etnik Indonesia ini tidaklah mudah. Karena bagaimanapun  dalam perjalanan waktu, tawaran dan suguhan berbagai jenis kain datang dari berbagai negara.

Belum lagi lapisan masyarakat tertentu yang berpikir  bahwa yang  datang dari luar itu lebih up to date sehingga muncul pendapat kemudian membentuk  pemikiran  bahwa mengenakan kain dari luar lebih bergengsi. Nah,  jika  Komunitas Cinta Berkain Indonesia yang didirikan oleh  Sita Hanimastuty dan Diyah S. Sudiro (almarhumah) bertahan bahkan terus berkembang hingga kini, bravo banget!

Para anggota Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) berfoto bersama di “markasnya” di Plaza Semanggi, Jakarta.

Itu sebabnya ke depan perlu mendapat dukungan banyak pihak. Dengan begitu apa yang sudah dirintis oleh Sita dan Diyah bisa semakin berkembang dan menjadi tiang monumen bahwa wastra Indonesia adalah bagian dari karakter seni budaya bangsa Indonesia.

Kembali ke momen dasawarsa di atas tadi yang dirayakan pada 9 Maret 2024 (hari Sabtu) di Plasa Semanggi, Jakarta, itu telah ditandai oleh Ketua Umum KCBI Sita Hanamastuty, pengurus harian dan para anggota dengan doa syukur.

Kemudian seremoni sepinggan nasi Batak yang dikenal dengan nasi upah-upah diberikan kepada Ketua Umum KCBI, dan juga potong kue. Tentu tak hanya itu, rentetan program kerja KCBI usai Idul Fitri dimatangkan karena melibatkan beberapa pihak dan masyarakat luas.

Menurut Ketua Bidang Dana Usaha & Sosial KCBI, Titut Santoso, ada tiga program kerja yang akan dilakukan di Jakarta, walau ia belum merinci materi kerja apa. Hanya saja sudah bisa ditelaah kira-kira pekerjaan seperti apa yang akan disajikan KCBI sehubungan dengan usaha keras untuk mendedahkan wastra Indonesia ini ke masyarakat luas di dalam dan luar negeri.

Berdiskusi dan sikap gotong royong di setiap kegiatan KCBI, diterapkan.

”Fashion Show” di Badui

Rentang waktu itu KCBI tak surut akan agenda. Berbagai undangan dari daerah mereka penuhi dengan terus menerus menekankan pentingnya masyarakat luas memahami wastra Indonesia sebagai kekayaan dari leluhur yang sarat seni, budaya, sosial bahkan tradisi di mana kain tersebut ditenun.

Mengikuti perkembangan zaman, KCBI pun nyemplung pada acara peragaan busana yang memakai kain-kian tenun negeri ini. Untuk pertama kali di Badui, KCBI sempat menggelar pergelaran busana beberapa tahun lalu. Juga di kota-kota lainnya, KCBI mengikuti seminar, temu wicara, dan kerjasama dengan UKM.

Kerja yang  konsisiten dari komunitas ini berbuah manis, karena kurun waktu itu KCBI tak hanya bercokol di Jakarta namun juga sudah berkembang ke Malang, Surabaya, Bandung terus membiak ke San Fransisco, Western Australia, dan Singapore. Kenyataan yang membanggakan karena sebuah pekerjaan yang berakar kuat maka akan berbuah ranum.

Dalam acara syukuran itu, anggota KCBI yang hadir mengenakan aneka sarung Nusantara. Menarik, pasti.

Langkah KCBI yang jelas tentu akan menanamkan sebuah karakter kerja yang jelas pula. Walau dalam perjalanan waktu tentu ada gaya kerja yang berbeda, namun kenyataan itu yang justru memperkuat komunitas ini untuk saling menambah, saling memahami betapa benang-benang pada sehelai kain itu mengikat tanggungjawab masing-masing untuk terus menjaga, mempelajari dan mengembangkan wastra itu sendiri.

Mungkin itu yang menyebabkan ketika acara digelar maka mereka jugalah yang sudah dapat menjadi model dari keagungan tenun Indonesia. Nuansa dan karakter Indonesia itu terlihat jelas dari apa yang mereka kenakan. Hanya saja akan lebih sempurna ketika kain dikenakan tak hanya menjadi penutup tubuh atau bagian dari mode namun memahami dengan benar makna dari motif etnik dan pengetahuan yang tunak akan kisah asal muasal kain tersebut.

Sebab sehelai kain pastinya merangkum makna seni, budaya, dan sosial, bahkan tak jarang antropologi dan arkeologi hingga tanaman yang tumbuh di mana kain itu di tenun. Maka itu tidak salah jika para ahli wastra berpendapat bahwa jika sehelai kain dikenakan maka orang itu sudah menjadi perpustakaan berjalan.

Saling memberi masukkan sehubungan dengan kinerja KCBI. Dengan lesehan silahturami Nusantara itu kental terasa.

Program Kerja ke depan

Kegelisahan namun disertai usaha yang gigih untuk terus mengangkat wastra Indonesia ke depan menetap di benak dan agenda kerja Sita Hanumastuty yang alumni Universitas Gajahmada – Yogyakarta itu. Dalam kesempatan terpisah dia mengatakan, ”Saya sangat menginginkan tenun motif Indonesia ini bukan hanya dimiliki lalu dikenakan sebagian orang saja atau mereka yang berasal dari  jenjang ekonomi tertentu, namun bisa dikenakan juga  dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita semua benar-benar merasa mimiliki heritage itu.”

Tentu untuk merelalisasikan keinginan luhur ini, Sita tak mungkin berjalan sendiri namun ada perangkat lain yang seharusnya punya tanggungjawab bersama. Misalkan sektor pentahelix (unsur kolaborasi yang menggabungkan berbagai pihak di antaranya, Academy, Business, Community, Government, dan Media (ABCGM) maka “urusan” akan menjadi  lebih mudah.

Bukankah rahasia sukses adalah dari sebuah proses yang baik. Dengan kenyataan itu sudah menentukan nilai akhirnya. Batu yang diletakkan Sita telah kuat tertata. Tinggal lagi kekokohan jejak itu tentu harus disanggah beberapa pihak, termasuk pemerintah dan instansi terkait yang sebaiknya terus menerus berkonsentrasi dengan kinerja bersama agar wastra etnik Indonesia ini juga bisa menjadi bagian ekonomi kreatif yang nanti menggapai pasar dunia lebih luas.

Usia hanya soal angka, namun jiwa semangat dimiliki bersama, Dendang melayu, hayuk

Setelah sepuluh tahun semoga ke depan semakin cemerlang. Tentu ditunjang dengan pemahaman masyarakat bumi ini terhadap kekayaan seni tenun yang diwariskan para leluhur. Kesuksesan itu tak semata dengan apa yang telah dicapai namun juga ada tahapan kesukaran yang telah diatasi dalam menggenggam tanggung jawab tersebut. Jika bukan kita, maka siapa lagi?

About Gatot Irawan

Check Also

Sensodyne dan PDGI Pengwil Jakarta Berikan Edukasi dan Pemeriksaan Gigi Gratis

Jakarat, NestID – Sebagai bagian dari inisiatif edukasi kesehatan gigi dan mulut Hari Kesehatan Mulut …

Leave a Reply