Jakarta, NextID – Motivasi hiduplah yang akhirnya mengalahkan jarak tempuh antara tempat tinggal dan lokasi usaha. Waktu yang bergulir begitu cepat sering menjadi taruhannya. Roda kehidupan yang keras, kebutuhan hidup yang tak kenal kompromi menjadi alasan kuat, Ramayanti Teguh Rahayu memutuskan untuk terus menjalankan usaha kulinernya, walau income naik turun terus.
Keseimbangan enerji dan fokus bekerja jugalah yang memberinya lompatan positif bahwa ia terus menjalankan usaha di bilangan Blok-M, Kebayoran Baru. Kiat-kiat marketing dan menyuguhkan menu berbeda, plus harga yang terjangkau adalah salah satu jurus usaha ibu dari Denise Adrian ini.
“Kedaiku harus bisa memberikan harga yang lebih murah, namun cita rasa terjaga. Tidak mudah memang, karena sejak Covid-19 bahan makanan terus melambung. Ini butuh siasat pasar juga, sih,” sibak Yanti, panggilannya.
Hidup dan sikap Yanti terkesan memang pantang menyerah. Itu terlihat dari kecerdasan berpikir dan langkah jitunya yang selaras. Sebelum Covid-19 melanda, perempuan single parent ini menjual karya cantiknya berupa rajutan berbentuk syal, tas, hingga sepatu. Itu dibuatnya sendiri, walau masih sebatas pesanan dari kerabat, keluarga dan para sahabat. Di samping itu iapun melayani orderan makanan, sekaligus gabung dengan rekannya yang membuka kedai makanan di Pujasera Blok M Square. Menu yang disiapkan dari dapur di rumahnya antara lain: pepes ikan, pepes ayam , ayam goreng, sup, dan beberapa menu lain.
Ketika tekanan ekonomi terjadi disebabkan Covid-19, tentu berpengaruh pada daya beli pernak-pernik pelengkap fesyen yang digarapnya. Masyarakat luas berpindah pada kebutuhan yang mendasar, yaitu makan dan minum. Maka ia putuskan 100% membuka kedai makan sendiri di lokasi sama. Kini kedainya bernama “Warung Kita” dan itu berlangsung selama 2 tahun. Semua itu karena spirit hidup, yang membangun enerji pikir dan sikap. Alhasil, usaha dewe itu bisa survive.
Iga Bakar
Langkah bisnis dipercepat, dialantas meramu menu makanan khas yakni iga bakar yang dilengkapi dengan sayur dan sambal. Pilihan lain, adalah pepes ikan dan pepes ayam. “Ada juga sop iga, juga soto betawi, sate dan rawon iga. Per porsi Rp 40 ribu, sudah termasuk nasi dan minum. Untuk minum bisa refil, kok,” jelasnya berpromosi.
Yanti mengalami hal sama dengan pengusaha kuliner yang lain. Tiga bulan di awal Covid, penjualan menurun drastis. Maka disiasati ia menerima pesanan dari rumah. Itupun harus mengurut dada, karena daya beli dan kehati-hatian pembeli atas makanan yang dipesan tentu berpengaruh terhadap makanan yang dibeli.
Beberapa bulan terakhir, walau belum sepenuhnya daya beli membaik, namun ada peningkatan pemasukan. “Pembeli kedai makan saya itu sebagian besar pegawai di sekitar Blok M. Saat terjadi pembatasan gerak manusia (PPKM), otomatis menyusut karena yang makan sedikit,” akunya.
Nilai manusia adalah semahal nilai tujuan hidupnya. Yanti menemukan nilai hidup itu ketika ia harus berjuang keras menyekolahkan putri tunggalnya yang kini sudah melangkah ke perguruan tinggi. Maka setiap hari muncul kreativitas yang dituangkan lewat citarasa kuliner yang dinilai pelangganya enak dan murah. Memang hasil dari kedainya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup, sekaligus meningkatkan kualitas makanan yang dijualnya.
“Mungkin income untuk saat ini belum seperti yang diharapkan, tapi jika mengingat saya pernah 3 bulan tutup di awal Covid yah, untuk sekarang lumayanlah. Sepuluh porsi bisa terjual setiap hari. Enam hari kerja kedai dibuka, kecuali hari Minggu. Eh, hari Minggu saya kadang buka berdasarkan pesanan atau sudah bikin janji,” tuturnya.
Lebih Banyak Penjual
Makanan yang disajikan dijajakan bertabur di mana-mana. Mulai dari kedai sampai resto mewah. Mungkin jika dibikin sebuah grafik akan lebih banyak penjual ketimbang pembeli. Tapi lagi-lagi ada faktor X yang jadi penentu laris dan tidaknya makanan itu. Itu tak bisa dipungkiri. “Karena itu kita wajib mensyukuri atas hidup ini yang merupakan anugerah-Nya,” bilang Yanti.
Yang pasti pengalaman hidup seseorang akan lebih memudahkannya untuk berempati. Bukankah bisnis juga bisa berjalan tak hanya karena permintaan pasar namun juga dari sikap empati mereka. Nah, lanjutlah Yanti, dengan resep- resep kuliner yang selalu beda. Tampil beda itu ada pasarnya. Itu pasti.
Berusaha dengan Sukacita
Apa yang tak pernah terpikir oleh manusia bisa saja terjadi, jika Tuhan berkehendak. Banyak contoh kejadian sejenis. Satu di antara mereka yang mengalami kenyataan itu adalah, Nursiana Lenny Sinaga.
Semula ia bekerja di sebuah perusahaan besar yang memproduksi susu. Berangkat kerja pagi, pulang jelang petang. Kenyataan itu mewarnai kehidupannya bertahun-tahun. Maka rasanya nggak mungkin untuk kotak-katik resep makanan di dapur. Apalagi untuk membuka warung (lapo). Jauh dari jangkauan alam pikirnya.
Rutinitas menyedot waktu ibu dengan tiga putra ini. “Pulang sudah lelah, dan harus mempersiapkan bahan kerjaan untuk esok hari. Dan jujur saja, saya juga nggak pinter-pinter amat masak makanan. Itu sebabnya, jika ada acara di rumah atau harus menghadiri pesta yang memerlukan makanan ya udah saya minta tolong tetangga yang masak yang kebetulan punya taste yang baik untuk kuliner,” cerita awal Lenny mengenal cita rasa kuliner Tapanuli.
Lanjut cerita, perempuan yang menyelesaikan studinya di jurusan akutansi itu masuk dalam masa pensiun 2019, dan pandemi masih melanda negeri ini. Mumet lagi, karena tiga buah hatinya harus melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. “Tiba-tiba suami saya menganjurkan untuk mencoba masak sendiri dengan lebih serius. Menunya, ya masakan dari tano Batak ini. Pikiran saya terbuka. Iya ya, jika memang punya tujuan yang baik, pasti Tuhan akan buka jalan. Saya pelajari dengan teliti bahan-bahan yang akan diolah. Bagaimana citarasa yang punya kekhasan. Saya melangkah ditemani suami,” jelas Lenny.
Bertahun-tahun ia bekerja, tentu jam terbang menghadapi publik sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kini, ia harus berhadapan dengan pembeli makanan yang dihidangkan. Ia bertaruh dengan jasanya. Karena suka tantangan, akhirnya ia putuskan untuk membuka lapo di bilangan Rawamangun.
Bisa dibayangkan masa Covid-19 Lenny harus membuka usaha yang baru. Tapi, kembali lagi pada keyakinan diri. “Semua saya lakukan bersama suami. Saya yang belanja ke pasar. Memasak dibantu oleh tetangga yang sejak lama membuatkan pesanan makanan saya itu, kemudian saya juga yang menunggui lapo. Puji Tuhan, hingga hari ini semua berjalan baik,” imbuhnya.
Mengerjakan sesuatu dengan lapang hati, maka akan muncul kekuatan diri untuk selalu menikmatinya. Akhirnya, segala kesulitan dan tantangan dapat dikunyah. Dengan menikmati pekerjaan itu sendiri membuka alam ide Lenny untuk mengembangkan menunya. Itu terlihat, apa yang disajikan penuh warna.
Ada ayam gotha dan sambal andaliman yang khas. Juga bisa ditemui arsik ikan mas lengkap dengan bumbu rias (kecombrang). “Saat ini pembeli sudah merambah ke sayur-sayuran di mana bumbu-bumbunya sarat dengan herbal. Maka itu memang saya lengkapi. Jadi nggak hanya daging dan daging. Daun singkong tumbuk itu saya bumbui lengkap, nggak hanya santan atau yang biasa diterapkan,” celotehnya
Rias dan Andaliman
Dan kebetulan di menu makanan khas Batak, beberapa bumbunya khas dan berkhasiat. Simak apa yang terkandung di rias atau dalam bahasa sunda disebut honje. Lazim digunakan untuk arsik dan ayam gotta. Mengkonsumsi tanaman ini membantu menjaga kebugaran tubuh, menurunkan kolesterol dan darah tinggi, melancarkan pencernaan. Tanaman yang juga dikenal dengan nama kecombrang (Jawa,) atau bongkot (Bali) yang juga mengandung fitokimia berupa tannin, saponin, alkaloid, flavonoid dan terpenoid, dan juga memiliki kandungan oil.
Sementara itu andaliman di Indonesia dikenal untuk masakan Batak, sehingga orang luar suka menyebutnya merica Batak. Khasiatnya yang mampu menghilangkan bau amis pada ikan mentah menjadikan andaliman sebagai bumbu andalan dalam masakan khas Batak seperti arsik dan saksang.
Yang menarik bumbu ini mengandung mineral yang penting, yakni fosfor, mangan, tembaga dan zat besi, yang berkhasiat untuk mencegah gangguan tulang yang berkaitan dengan bertambahnya usia, atau osteoporosis. Yang unik dari andaliman ini, memiliki aroma jeruk yang lembut tapi rasa pedasnya menggigit.
Ketika disinggung banyaknya porsi penjualan makanan setiap hari. Lenny mengalami hal yang sama dengan para penjual makanan pada umumnya yaitu di masa Covid-19 jumlahnya naik turun. “Kembali lagi, saya nggak putus bersyukur setiap menu bisa 10 porsi terjual,” ungkapnya.
Menyiasati usaha kuliner ini, ia juga memenuhi permintaan atau order dari berbagai pihak. Nah, jika order dan harga dari calon pemesan maka Lenny menyesuaikan pengadaan makanan dengan harga tersebut, atau ia sendiri yang menetapkan perporsinya.
Kalkulasi dagang di balik rangkaian menu yang disajikan rasanya dipahami Lenny, sesuai dengan disiplin ilmunya. Kesinambungan puluhan tahun sebagai perempuan kantoran dengan mengelola usaha sendiri bisa dirasakannya, walau dengan ritme yang berbeda. Tak dipungkiri bahwa seseorang akan bisa beraktivitas lebih efektif jika ia mampu mendengarkan suara hatinya. Improvisasi antara situasi dan kondisi akan hanya menjadi waktu untuk merebut sebuah keberhasilan.
Pribadi yang efektif akan mampu mengendalikan diri dan fokus pada kesuksesan dengan sangat baik. Setidaknya kenyataan itu yang telah digenggam kedua perempuan ini. Proses untuk terus belajar dari situasi yang terkadang tak menguntungkan justru mencambuk lahirnya inovasi tanpa jeda.
Manfaatkanlah kreaktivitas yang sudah dimiliki, karena orang yang sarat kreativitas, minim menyusahkan pihak lain. Kreaktivitas juga merupakan ungkapan rasa syukur, karena telah menggenggam kehidupan yang indah dan berguna untuk orang lain. Bukankah untuk “naik kelas” itu seseorang harus belajar dari ketidaksempurnaan keadaan bahkan belajar juga dari kekurangan diri sendiri dan orang lain?
Seperti yang dikatakan oleh Eartha Kitt, ”Saya belajar selama saya hidup. Batu nisan akan menjadi ijazah saya.”
Setuju!