Jakarta, NextID – Berbahagialah orang yang merasakan sukacita lewat pekerjaan yang ditekuninya. Rasa bahagia itu setidaknya tersirat dari hasil kerjanya. Kenyataan itu juga yang tertangkap di benak ini ketika mengamati karya A.A Putu Oka Astika (44), baik dari sapuan kanvasnya, maupun hasil dari bidik lensa kamera. Ehm, dua disiplin seni yang ditekuni sejak lama.
Beberapa waktu lalu, ia mengikuti pameran di Bali. Beberapa lukisan yang terkonsentrasi pada obyek daun dimunculkan. Bicara daun, tentu bakal menyibak filosofi panjang, tapi simak saja apa alasan sang pelukis hingga menetapkan daun sebagai karya lukisnya saat itu.
“Daun sebagai pengejawantahan atas kebijjaksanaan. Artinya, ia tahu hakikat fungsi dan swadarma (jalan hidup, tugas dan kewajibannya. Artinya lagi pada dasarnya manusia memiliki simbol segi tiga yaitu dalam hidupnya harus paham swadarmanya, sehingga ke depan akan merangkai harmoni dengan semua aspek kehidupan termasuk sosial -budaya,” ujarnya.
“Seperti daun jika tumbuh harus tahu tugas dan tanggung jawab dan kewajibannya, walau dalam proses tumbuh kembangnya akan mengalami banyak hal. Dimakan serangga, hama dan lain-lain. Itulah hakikat dari swadarmanya yang harus dipahami dan dilakukan,” bebernya lebih dalam.
Nah, via kekuatan makna itu maka jebolan STSI Denpasar itu mengukuhkan beberapa lukisan yang diberi judul ‘Filosofi Daun’ di media campuran berukuran 30×30 cm, memunculkan karyanya. Di tengah situasi seperti ini, masyarakat gundah, dunia seni bergeser sepi order, dan tak ramai tontonan karya lukisan ayah yang dikarunia putra kembar itu.
Nah kali ini setidaknya memunculkan karya yang mampu memantik mata hati untuk mengetahui lebih lanjut, apa saja sih karya yang sudah berhasil digarapnya. Utamanya soal daun yang dipilihnya menggelitik untuk diamati, disimak dan dikaji oleh orang-orang yang memang kompeten di bidangnya.
Komentar yang meluncur dari kurator, Dr. Jafar Sidiq misalnya. “Karya ini bentuk abstraksi simbolik, dekat pada corak dan pola painting dengan tekstur nuansa citraannya kuat dengan sentuhan lokal genius kearifan lokal dan nusantara.”
Bicara soal kearifan yang dicuatkan oleh pemilihan karya berupa daun, mengingatkan pada duo pameran: Satfari (pelukis) dan Tatik (pematung) yang tertarik pada ritus daun sebagai sumber inspirasi. Karya mereka dipamerkan di Edwin Galery, Kemang Jakarta Selatan beberapa tahun lalu. Menarik, ketika daun disertakan sebagai pokok persoalan dan titik karya mereka berdua. Mereka melihat bahwa daun adalah alat bernafas bagi tumbuhan, sekaligus sebagai salah satu sumber kehidupan manusia.
Nah, filosofi daun itu hadir dan menjadi salah satu pilihan di lukisan Astika, beberapa waktu lalu. Karya yang mampu mendatangkan multi pendapat adalah karya yang bisa dengan baik menyampaikan pesan. Sekalipun harus “ditelanjangi” dan dikritik pedas. Tak jarang pula diberi apresisasi hanya sebatas berfotoria di depan lukisan yang dipajang. Yah, semua berhak mengemukakan cara mereka menyikapi sebuah karya seni.
Rupa-rupanya pesan dari Astika itu sampai kepada perupa pemegang Matra Kriya Fest 2020 -Kategori Karya Terbaik, Adek Dimas Ajisaka. Alumni ISI Yogyakarta itu itu menyampaikan tanggapannya. “Jika dilihat soal lukisannya secara fisiik, obyek yang dilukis adalah jenis daun Bodhi. Daun yang disakralkan oleh umat Budha, sebagai tempat bertapa Sidharta Gautama. Teknik pelukisan memadukan unsur ekspresif, corak garis dan warna yang luwes, mengalir deras, dan kuat kubistik,” jelasnya.
Dimas melanjutkan, “Pengkomposisian warna dan bentuk yang membuat obyek terlihat lebih sederhana, cenderung kotak kotak, dan dekoratif teknik yang mengedepankan unsur hias obyek garus dengan warna. Secara keseluruhan lukisan terlihat artistik dan menarik baik secara fisik maupun tafsiran konsep.”
Indah sekali ya, makna dari daun. Filosofi daun dan kegunaaannya sehingga banyak pihak yang mengangkat daun menjadi bagian dari karya, bahkan “wibawa” sebuah negara. Kanada contohnya. Pada 15 Februari 1965 Kanada menjadikan daun sebagai format (lambang) bendera mereka. Dipilihnya daun maple yang melambangkan rasa kebanggaan, keberanian dan kesetiaan.
Mengapa Melukis.
Di tengah rutinitasnya, Astika menuturkan, ketika kecil cita-citanya banyak, tak semata ingin menjadi pelukis. Saat di SMP untuk memperingati bulan bahasa ia mengikuti lomba lukis antar kelas. Ia keluar menjadi juara. Sejak itu para pengajar menyarankannya untuk melanjutkan ke sekolah seni. Gayung bersambut. Pamannya menyarankan untuk masuk ke SMSRN Denpasar. “Waktu itu sekolah seni ini berlokasi di Batubulan. Bener saja, saya ikut tes dan langsung diterima. Saya memang tidak berasal dari keluarga berlatar belakang seni, namun latihan dan belajar keras saya bisa mengikuti pelajaran seni lukis,” kenangnya.
Jalannya tak mulus untuk menyerap ilmu secara akademik. Di saat harus meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi sang ayah sakit-sakitan, namun oleh seorang rekan di SMSR ia didaftarkan untuk masuk ke STSI. Melihat kegigihannya, ayah (Ajik) merestui. “Di situlah minat dan keinginan untuk menjadi pelukis semakin kuat. Doa dan usaha, menguatkan motivasi saya,” sambungnya.
Perjalanan waktu dari 1995-2021 ia mengikuti banyak pameran. Baik yang digelar di Bali atau di luar Bali. Dia konsisten menekuni karya seni lukis. Setidaknya bisa dilihat dari keikutsertaannya di banyak ajang pameran. Satu yang terindah yang berhasil diukirnya ketika tahun 2003 ia dinobatkan sebagai penyaji ‘Karya Seni Terbaik’ dalam Ujian Tugas Akhir STSI Denpasar. Nah memang akhirnya dia sudah masuk dalam wanginya perjalanan kisah seni di almamaternya.
Tidaklah meleset jika kali ini ia memilih filosofi daun untuk karya lukisnya. Sebab, daun memiliki setumpuk khasiat untuk kehidupan agar menjadi hidup. Astika kini memang menghidupi waktu-waktu berkesenian nan lesu di tengah Covid-19, dengan langkah tegap. Setidaknya melalui pilihan materi yang diunggah, di tengah kehidupan berkesenian di Bali. Boleh jadi ini pun sebagai simbolisasi swadarmanya telah diejawantahkan.
Daun yang jatuh dari ranting pohon tidak akan membenci angin, sebaliknya akan muncul tunas lain lebih segar dan penuh manfaat. (Martha Sinaga)