Jakarta, NextID – Menyiasati bisnis di tengah lawatan Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun ini rasanya mutlak dilakukan. Pasalnya, kita tidak pernah tahu kapan semua ini akan berakhir. Sementara biaya hidup jalan terus tanpa bisa disetop. Mau tidak mau harus putar otak agar semua kebutuhan hidup bisa teratasi, walau tak lagi bisa yang diharapkan porsinya sama dengan keadaan sebelum Covid-19. Itu pasti.
Kenyataan itu tak luput dialami oleh pebisnis furniture, Laurentia Maria Hartini (56). Di situasi Pandemi Covid-19 ini usahanya merosot hingga 85%. Duh, nilai yang cukup besar dan ini membuat ‘sesak dada.’ Hanya saja pengalamannya menikmati ‘asam garam’ berbisnis sejak 2 November 2007 bersama keluarga itu, membuatnya kokoh.
Cerita Maria, bisnis funiturenya semula sudah diekspor ke Hongaria, selain mengisi pasar domestik. Seperti meja kursi dan peralatan rumah tangga lainnya, yang terbuat dari kayu jati, trembesi dan mahoni. “Khusus untuk ekspor, kami menyediakan jenis kayu jati dengan kualitas A. Desain bisa dari kami, bisa juga dari si pemesan,” sibak jebolan Akademi Sekretaris Marsudirini Semarang itu.
Semula, dalam menggarap finiturenya itu ia mengkaryakan SDM yang sifatnya tenaga lepas atau harian, yang jumlahnya ratusan orang, namun staf berjumlah 5 orang. Dari jumlah tenaga honorer yang dipakai jasanya oleh Maria tentu bisa dibayangkan berapa besar usahanya ini yang terletak di Jalan Ronggomulyo, Jepara.
Nah, pribadi yang matang, pengendalian diri yang baik biasanya mampu memporsikan pengalaman hidup di tempat yang benar. Kunjungan Covid-19 ini tak membuat ibu dari dua orang putri ini menyerah dan tinggal diam. Jika orang bijak mengatakan bahwa sekrup yang remeh, yang kecil sangat penting untuk mendirikan sebuah bangunan yang megah. Itulah juga yang terjadi dalam kehidupan berbisnis Maria dan keluarganya.
Potensi Tenun Troso
Hal remeh selalu mendukung hal yang lebih besar. Sama seperti sekrup yang dianggap kecil dari sebuah bangunan dapat mengubah kekuatan yang diharapkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Cherie Caterscoot, “Orang yang luar biasa hanya percaya pada hal-hal yang mungkin. Orang luar biasa mampu menggambarkan dengan jelas banyak hal yang tidak mungkin dan mengubahnya menjadi mungkin.”
Dan, Maria melakukan itu. Dari usaha furniture kini ia menjual kain tenun troso dan batik tulis. Ketika ditanya mengapa atau apa alasannya memilih bisnis sejenis, ini jawab Maria. ”Apa yang bisa saya kerjakan saya lakukan. Situasi masih seperti ini, gak bisa ke mana-mana. Apalagi jauh ke luar kota, misalnya Jakarta dan Semarang. Saya optimistis saja dengan menjual tenun ini, semoga Tuhan membukakan jalan. Memang income tidak sebesar ketika di bisnis kayu, namun disyukuri saja. Itu membuat saya lebih kuat.”
Maria tidak jauh “lari” dari materi bisnis yang ditekuni dua tahun terakhir. Pasalnya sejak dulu ia menyukai pekerjaan keputrian. Ia memang suka menjahit, membatik, menyulam dan bikin kue. Maka ketika ia harus masuk ke dunia pertenunan, semua bisa dinikmati.
Tenun troso ini dijualnya di kisaran Rp 100 ribu – Rp 250 ribu, tentu harga disesuaikan dengan kosndisi ekonomi negeri yang sedang merosot walau tak dapat dikatakan terpuruk. “Untuk batik saya menyediakan batik Pekalongan, di samping dari Jepara. Saya kira harga masih terjangkau.
Untuk gaun batik tulis Rp 300 ribu. Itupun saya sangat bersyukur bisa terjual dengan baik. Yang penting optimis bahwa masa sulit ini akan segera berlalu,” tutur Maria yang juga punya hobi menulis puisi dan fiksi itu lagi.
Kini, pasar kain yang dijajaki Maria sudah langgeng dan ajeg. Ia tak mau mengikuti arus yang hanya berkeluh kesah karena keadaan virus yang melanda dunia. Justru dalam himpitan seperti ini ia merasakan bahwa kinerjanya maha penting. Muncul kekuatan diri untuk melampaui segala kesulitan dan tantangan, yang tentu juga dialami banyak orang. Hati yang selalu bersyukur merupakan salah satu cara untuk memperoleh energi dalam bekerja, berkarya, termasuk berbisnis. “Rasanya akan lebih mudah dalam menantang kesulitan jika hati diliputi rasa syukur,” begitu kiat Maria.
Energi Hati
Maka tak salah jika Maria adalah perempuan pebisnis yang meramu pengalaman hidup, antara manis dan pahitnya perjalanan itu. Semua dilakukan tak lain untuk membangun energi hati . Energi hati inilah yang pada akhirnya membuahkan hasil yang positif. Minimal bisa dilihat dari bisnis kainnya yang mampu memenuhi permintaan pasar. Perlahan namun pasti.
Dalam kondisi seperti ini, kecerdasan emosional memang sangat dibutuhkan untuk membuat atau membentuk kita menjadi pribadi yang bijak. Maria gak tinggal diam, walau bisnis tenunnya terus bergerak namun untuk funiturepun tak ditinggalkan begitu saja. Ia tetap berbisnis furniture, walau semula penjualan di pasar ekspor, kini ia konsen untuk pasar lokal. “Harga masih stabil, hanya permintaan yang turun drastis,” ujarnya.
Perempuan yang satu ini memang mumpuni. Semua talenta yang dikarunikan kepadanya diasah dengan baik. Itu bisa dilihat dari postingan akunnya. Memasak misalnya, jenuh dengan keberadaan jual-beli saat ini ia hadirkan racikan resep kue bolunya. Resep itu tentu bisa dicuplik banyak orang untuk ikut membuka lapak jualan kue-kue di masa sulit ini. Toh, untuk bisnis makanan pasti diminati banyak orang.
Maria lantas menegaskan bahwa ia akan terus berkonsentrasi dengan pasar lokal. Baik untuk funiturenya maupun untuk bisnis kain tenun. Tak ada kata menyerah. Dirasakan karakter berbisnis itu sudah dimilikinya. Sebagaimana yang dikatakan Philips Brooks bahwa karakter tidak dapat dibentuk selain dengan proses yang tetap, panjang dan terus menerus. Bukan begitu Mbak Maria? (Martha Sinaga)