Home / LifeStyle / Wonder Women – Pantang Menyerah!
Novi Yulianti salah satu 'Kartini' dari Lampung yang berjaya dengan salah satu produknya. Ist

Wonder Women – Pantang Menyerah!

Jakarta, NextID – Merebak berita Bali menjadi salah satu provinsi yang terpuruk perekonomiannya di kala Covid-19 melanda. Imbas dari pandemi itu rasanya memang ampuh melumpuhkan sendi-sendi perekonomian. Memang tak hanya Bali, tak jua hanya negeri ini namun juga dunia. Tapi kekaguman akan kiprah para perempuan perkasa justru terlihat di masa sulit ini.

Salah satu contoh sepak terjang yang dilakukan oleh Hilda Safitri (48). Bisnis makanan siap saji dari Dapur Moci’s Bali yang ditanganinya tetap berjalan.  Bahkan menghadapi Lebaran tahun ini, ia tetap menyediakan kue-kue kering seperti apa yang dikerjakan di saat Lebaran dan Natal tiba. Soal harga pun tidaklah anjlok, hampir sama dengan harga tahun tahun sebelumnya, walau diakui untuk jenis bisnis ini semua harus melalui order.

Hilda Safitri, pengusaha ulet dari Bali. Aneka kuenya terkenal dengan nama Dapur Moci’s Bali.

“Bukan apa-apa, karena saya dan tim kerja juga harus melayani kafe kebun kami yang tetap ramai dikunjungi. Dari Dapur Moci’s Bali, kami menyediakan bakso urat, mie ayam , pangsit, juga comhu (comro tahu)granat semua kualitas premium. Mungkin karena kafe ini beratmosfir kebun, maka nyaman untuk sharing, walau settingnya sederhana. Maka, pengunjung gak henti walau suasana Covid melanda. Yang penting kami menjalankan dengan pasti prokes sebagaimana yang ditetapkan dan berlaku. Puji Tuhan, semua berjalan baik,” tegasnya.

Hilda yang telah 21 tahun menetap di Pulau Dewata itu lagi, menambahkan, apa yang terjadi saat ini di mana Bali sepi jika tak dapat dikatakan tiarap, ia tetap bersyukur. Dalam rasa syukur itu ia merasa dikuatkan dan tidak akan menyerah dengan keadaan.

“Saya beriman saja, usaha keras pasti ada jalan keluar. Sering kok kami dapatkan orderan take away, maka Dapur Moci’s Bali gak pernah sepi. Kenyataan ini tak lain karena hikmat Ilahi. Saya asah pikiran dan kuatkan tekad untuk terus berusaha. Ini mungkin ya bedanya perempuan yang punya usaha dengan kaum adam. Jika kaum adam banyak perhitungan, akhirnya malah gak jalan. Yang pasti saya tidak menyerah dengan keadaan,” tegasnya sambil mencetak kue-kue kering pesanan lebaran ke beberapa lokasi luar dan dalam Bali.

Menurut ibu dari tiga putra itu, karakter perempuan sesungguhnya pekerja. Itu bisa dilihat dari kedudukan para perempuan di banyak sektor pekerjaan sama derajatnya dengan kaum lelaki.Bahkan di beberapa sektor kehidupan, karir perempuan lebih unggul. Maka, ia merasakan emansipasi dan dedikasi perempuan tak diragukan lagi.

Kue kering dari Dapur Moci’s Bali, milik Hilda Safitri. Ist

“Saya berterima kasih pada ibu saya. Usianya sudah 80 tahun, tapi tetap melayani dan mandiri. Memang sih ajaran  untuk hidup mandiri itu kami dapatkan dari Ibu. Saat anak-anaknya kelas 3 SD sudah harus bisa masak nasi, juga berbenah rumah. Kemandirian itu terus saya bawa hingga hari ini. Dengan situasi kita yang terpuruk begini, kemandirian itu benar -benar harus kita miliki. Contoh, mungkin kita gak lagi sanggup menggaji orang untuk bantu produksi. Gimana dong jadinya jika kita gak  mandiri dan juga gak punya keterampilan. Perempuan harus bisa menguasai dirinya untuk hidup,” ungkapnya.

Ngobrol dengan perempuan asal Cianjur Jawa Barat ini, menyiratkan api semangat. Betapa tidak, tak kurang dari 10 tahun ia mengidap penyakit jantung akut. Tiada hari tanpa kumat, namun tiada hari juga tanpa doa dan kerja. Bingung? Itulah kenyataannya. Subuh ia masih berbelanja ke pasar, mencantumkan menu, melayani pengunjung di kafe, meracik menu untuk hari esok. “Wah, jika tidak karena kemurahan Allah, gak mungkin saya bisa lakukan semua ini. Sebab, kamipun masih melayani katering beberapa rumah,” jelas perempuan kelahiran 29 Agustus itu lagi.

Jika RA Kartini punya semangat beberapa puluh tahun lalu, maka semangat itu terus berkobar di kehidupan para perempuan. Bahkan kenyataan bicara, semangat itu semakin menyusupi di setiap lini kehidupan kaumnya. Mungkin tak akan muat media ini menampung tulisan jika mau mengupas soal semangat perempuan.

Hilda contohnya, dalam kondisi sakit jantung ia tetap bekerja, dan semangat itulah yang menepis bayang-bayang sakit yang dideritanya sepuluh tahun terakhir, Jadi mau dibandingkan dengan apa semangat perempuan dalam menata dan mengelola kehidupan pribadi dan keluarga bahkan masyarakat di mana ia berada. Luar biasa.

‘Kartini’ dari Lampung

Memang kehidupan itu dimulai dari keluarga yang adalah kelompok masyarakat terkecil. Di situlah kemandirian dan emansipasi terbentuk. Jika tidak, maka perempuan hanya duduk sebagai ‘bos,’ namun bukan pemimpin yang mampu memberikan contoh yang benar untuk sebuah kehidupan. Bukankah, kodrat dari seorang perempuan itu tidak hanya melahirkan dan menyusui?

Bihun jagung Novi Yuliani setelah diolah jadi bihun goreng, wow enaknya! (Foto: Mario Ikada)

Begitu pendapat Novi Yuliani (43), perempuan yang bermukim di Lampung. Nyatanya di usaha yang ia pimpin tetap berlaku bekerja 8 jam sehari. Bahkan bisa lebih, karena order terus berdatangan. Jika jam kerja lebih maka hitungan lembur tetap diberlakukan.

“Justru pegawai saya banyak yang perempuan, hampir 70%. Maka saya melihat cita-cita RA Kartini sudah terwujud. Perempuan Indonesia banyak yang cerdas, dan multi talenta. Kini, perempuan punya hak yang sama dengan kaum lelaki, dalam pekerjaan dalam rumah tangga sampai hidup berbangsa dan berkarya. Waktu berputar, jaman berubah. Semakin berubah tentu pikiran perempuan juga semakin maju,” jelasnya.

Sungguh pun begitu ia menekankan, perempuan tak boleh menghilangkan kodratnya. Suami atau mitra kerja kita tetap kita hormati. Sifat lahir perempuan yang punya hati lembut dan penolong bagi suami jangan sampai luntur, itu akan muncul sifat yang menyalahi kodrat. Perempuan asal Purwodadi – Grobokan, Jawa Tengah ini pun setuju jika perempuan harus mandiri.

“Dengan usaha sendiri, perempuan akan punya percaya diri yang besar. Keadaan itu membuat perempuan lebih dihargai dan tidak dilecehkan. Di sisi lain, biaya hidup kini semakin tinggi maka perempuan pun dapat meringankan  beban keluarga. Di samping sikap itu menjadi inspirasi dan contoh bagi lingkungan di mana perempuan itu hidup. Saya selalu berharap, perempuan memiliki sifat-sifat pejuang, tekun, pekerja keras dan teliti,” papar Novi yang sejak 2002 mulai menekuni usaha di bidang bahan kuliner.

Ibu dari Gregorius Hogus Edbert Wibowo dan Michael Hogus Wibowo ini lantas menyibak bagaimana perempuan harus sehat lahir dan batin, apalagi di era Covid ini. “Duh, itu faktor yang tak kalah pentingnya, saya bersyukur sekaligus berserah. Hanya Yesuslah sandaran mutlak hidup saya. Tanpa pertolongan-Nya saya gak akan kuat seperti sekarang. Pukul 4 pagi saya berdoa, setelahnya bersepeda dan ikut senam 2 kali dalam seminggu,” urainya.

“Saya berfikir simpel. Jika saya ambruk bagaimana dengan para pegawai. Mereka butuh makan, butuh biaya hidup. Sebaliknya, keberadaan mereka jugalah yang memicu semangat saya untuk bekerja. Puji Tuhan, keadaan pelik begini pintu usaha itu tetap dibukakan oleh-Nya. Permintaan mie terus tumbuh dan berkembang, dari Sumatera, Lampung, dan Jakarta,” ungkap Novi dengan nada optimistis.

Mengamati sepak terjang Novi di dunia bisnis, memang gak diragukan lagi perempuan yang satu ini punya nyali bisnis dan komunikasi yang sepadan. Tanggap, cepat dan komunikatif ketika diajak bicara. Tak ragu lagi bahwa marketing komunikasinya, mumpuni. Tentu keberadaan itu juga sebagai penyebab usaha yang ditekuni terus berkembang. Ia memang mampu membagi waktu antara keluarga dan binis dengan porsi yang baik. Termasuk soal berorganisasi. Sesekali terlihat Novi muncul di layar medsos dengan pemilihan materi yang oke. 

Jika sudah begini, siapa yang tak lahap, apalagi disajikan dengan senyumnya Novi Yuliani. Ist

Disinggung soal ia berkomunikasi dan sepak terjangnya di dunia usaha ini komentar Novi. “ Saya selalu memotivasi diri saya dengan kata wonder women, walau saya seorang perempuan yang terkadang karena beberapa alasan berlinang air mata juga. Tapi perempuan itu tak hanya  cukup tampil  cantik, namun juga harus  cerdas dan berani. Ehm, harus punya percaya diri. Perempuan harus  tangguh. Saya paham itu gak mudah,  butuh proses, tapi kaum kita haruslah mandiri.”

Novi berulang kali menegaskan bahwa perempuan Indonesia tidak bisa dianggap remeh, karena fakta bicara kita sudah berkonstribusi terhadap pembangunan. Keberadaan perempuan memang sudah layak diperhitungkan. “Kenyataan ini membuktikan bahwa kedudukan perempuan setara dengan lelaki dalam hal karya, bekerja, berusaha, dan pemikiran-pemikiran cerdasnya. Ibu Kartini pasti tersenyum di alam sana melihat kaumnya berjaya,” tegas Novi yang jika menyebut kata wonder women selalu menitikan airmata.

Makna Emansipasi
“Aku rindu menyelesaikan pekerjaan besar dan mulia, tapi tugas utamaku adalah untuk menyelesaikan pekerjaan kecil seakan itu pekerjaan besar dan mulia,”  kata Helen Keller.

Untuk banyak langkah tentu dimulai dari satu langkah. Untuk menjadi besar tentu diawali dari yang kecil. Begitulah yang dilakukan Tiur Mufrita Silalahi (62) beberapa tahun terakhir. Di era Covid ini banyak orang bekerja di rumah. Tiur, begitu ia akrab disapa adalah salah satunya. Dia menggarap pelengkap interior. Mulai dari taplak meja sampai horden. Dari masker sampai kerudung. Uniknya semua dilakukan dari bahan perca cantik. Patchwork, itu tepatnya. Sebelum bisnis rumahan yang ia tekuni, Tiur mengajar di BBC – lembaga kursus Bahasa Inggris, selama lebih kurang 9 tahun.

Maret 2015 ia divonis kanker getah bening. Pasti itu adalah masa sulit yang ia dan keluarga alami. Ia berobat ke Penang, Malaysia, dan harus tinggal lama di sana. “Itu berat banget, tapi Kuasa Illahi dan dorongan keluarga untuk saya sembuh, itu punya arti besar. Saya lakukan semua apa yang disarankan dokter. Doa, air-mata dan semangat, campur aduk jadi satu, dan saya akhirnya sembuh,” kenang ibu dari Laras dan Tiara itu.

Tiur Mufrita Silalahi yang kini menggeluti jahit-menjahit dengan serius. Ist

Semangat untuk hidup sehat itu kembali menghentaknya. Ia tidak lagi mengajar di BBC namun mengerjakan karya seni tata kelola kain perca. “Duh semangat dan bahagia sekali ketika teman teman di sekitar rumah pada pesan. Bahkan setelah beberapa bulan order dari Jakarta juga masuk. Bahagia banget,” ungkap Tiur.

Memang rasa penasaran itu terus muncul untuk melakukan padu padan yang lebih chick. Patchwork itu butuh ketekunan, kesabaran, ketenangan. “Jika dilihat cara kerjanya kok gak sepadan dengan harganya ya. Apa lagi di suasana Covid begini, uang sulit. Tapi kembali lagi pada hasrat dan tujuan bekerja,” tegas Tiur yang ketika dikunjungi di kediamannya di Cilegon, Banten, sedang membuat lingkaran kain yang dikenal dengan ‘Yoyo.’

Apa yang dikatakan tentu beralasan. Bagaimanapun sebelum dipotong sesuai patron kain sudah dipastikan tidak luntur dan dalam keadaan sudah dicuci bersih. Bahkan ada yang dibuat tidak dengan mesin namun jahitan tangan. Kecantikan kain juga ditentukan dengan ornamen yang dipakai. Misalkan dipadukan renda, kancing, bis dan jenis yang lain. Itu tentu memerlukan wawasan dan kepekaan dari sang pembuat. Terlebih ide yang diterapkan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pasar. Hebat kan…

Tiur menjelaskan, Covid yang melanda justru memicu benaknya untuk melahirkan beberapa ide. Semua dibatasi untuk melangkah ke luar, maka apa yang ada di rumah dan materi yang mudah didapatkan diolah menjadi sebuah karya. Dan, itu harus punya nilai ekonomi.

”Ya udah saya syukuri saja. Yang penting senang melakukannya dan punya tujuan jelas. Kini kenyataannya ada yang gak kepegang, karena kurang tenaga pekerja.  Untuk satu taplak meja saja butuh sekitar 3 hari. Waktu olah kerja 8-9 jam per hari. Jadi saya pahami jika karya seni itu harganya gak terbatas,” jelas Tiur yang menerapkan merek dagang unik, yaitu ‘Cerita.’

Hilda, Novi dan Tiur memiliki pendapat sama soal bekerja di tengah Covid ini. Pertama doa, dan kedua semangat yang harus terjaga. “Semangat itu bukan hanya untuk mendapatkan income keluarga namun juga karena semangat membuat imun terjaga dengan baik. Kita  sudah tidak muda . Mau apa coba jika gak sehat. Order semua akan terbengkalai. Jadi, saya batasi jam kerja saya. Jika tidak akan bablas bekerja, karena patchwork ini menarik bagi saya. Selalu ingin melihat hasil akhirnya,” tegas Tiur.

Dari apa yang ia tuturkan, rasanya semangat Kartini itu tak pernah luntur, malah membumbung tinggi. Tiur gak pernah lagi mengingat sakitnya. Yang ia putuskan justru dalam kehidupan kedua kali ini, ia akan berbuat optimal antara hubungan vertikal dan horisontal. “Begini, semangat itu juga membuat kita sehat dan imun tubuh terjaga. Jadi, jika memang sudah Lelah, ya saya berhenti bekerja. Saya berusaha keras  memahami bahasa tubuh ini. Semua dapat diselesaikan jika kita sehat,” imbuhnya.

Penganan menjadi lebih manis diletakkan di taplak patchwork hasil karya Tiur Mufrita Silalahi. Ist.

Menekuni beberapa tahun pekerjaan jahit-menjahit ini, Tiur justru mendapat kesadaran penuh bahwa pekerjaan keputrian dan keterampilan harus dimiliki seorang perempuan. Nyatanya dengan Covid melanda maka kemandirian seorang perempuan mutlak dituntut. “Kemandirian itu yang akhirnya menggiring perempuan punya hak  untuk bermansipasi. Emansipasi saya kira bukan hanya diterapkan dalam karir atau jenjang pekerjaan di kantor atau di mana gitu, namun di rumahpun emansipasi itu sudah harus bisa diterapkan sejak awal,” tegasnya.

So, tiga perempuan di tulisan ini paling tidak menyiratkan, perempuan Indonesia mampu memainkan perannya dengan baik. Mereka para ibu dan istri yang menjadi tiang doa keluarga. Mereka juga yang menjadi batu penjuru kekar dalam membantu perekonomian keluarga, plus menerapkan contoh daya juang untuk putra-putrinya. Juga, untuk masyarakat sekelilingnya walau apa yang mereka jalani dan alami tak lepas dari derai airmata. Tapi, setiap tetes airmata itu memiliki kekuatan. Ini yang harus dicatat!   (Martha Sinaga)

About Gatot Irawan

Check Also

Honda Civic Type R dan Honda HR-V Edisi Mugen Tampil Sporty di GIIAS 2024

Tangerang, NextID – PT Honda Prospect Motor (HPM) menampilkan Honda Civic Type R dan Honda HR-V …

Leave a Reply