Home / LifeStyle / Leisure / Art / I Nyoman Loka Suara, Tak Tergoda Pasar
Loka di depan lukisan yang dipamerkan untuk disumbangkan kepada korban di Wuhan. Ist

I Nyoman Loka Suara, Tak Tergoda Pasar

Jakarta, NextID – Pribadi yang lebih banyak diam, tak mudah untuk diajak berkomunikasi, namun di satu sisi kepekaan sosialnya terasa baik. Setidaknya terlihat dalam sapuan lukisnya di helaian kanvas.  “Proletar,”  salah satu seri lukisan I Nyoman Loka Suara (50) yang mendapat penghargaan Gold Award pada 2018 di gelaran Hong Kong Asian Art Biennial adalah contoh kepekaannya atas lingkungan sekitar. Dan gaya ekspresionis dalam melukis wajah adalah ketertarikannya. Begitulah ia menunjukkan jatidiri via seri karyanya tiga tahun terakhir ini. Mengapa dan apa yang spesifik dari obyek-objek yang diangkatnya?

Ada dua alasan yang dikemukakan pelukis yang akrab dipanggil Loka itu, mengapa ia tertarik untuk melukis wajah. “Di wajah ada beberapa organ tubuh yang saling melengkapi dan itu menimbulkan ekspresi tersendiri.  Lekuk wajah itu punya nilai misteri tersendiri. Mata memancarkan kedalaman karakter, bibir juga  melengkapi ekspresi, begitu pula hidung, dan tulang pipi berperan untuk sebuah garis karya,” ujarnya.

Sementara istilah “proletar” yang mengindentifikasikan kelas sosial rendah, di mata seorang Loka justru memiliki kekayaan imajinasi dan karakter yang kuat untuk ditarik ke permukaan.“Pasalnya, di tampilan manusia kelas bawah tercermin sesuatu yang spesial. Betapa tidak, di tengah kehidupan mereka  ada kedukaan, keletihan, kebingungan yang sering muncul, namun juga sekaligus keluguan. Semua itu tersirat apa adanya,” jelas Loka.

Salah satu lukisan Loka seri Proletar. Ist
Salah satu lukisan Loka seri Proletar. Ist

Menurutnya, keadaan dan ekpresi seperti itu melahirkan karakter yang kuat untuk melahirkan sebuah karya. Itu harus dicermati, dikaji, dan dinikmati. Tentunya, itu diterapkan dengan teknik melukis yang baik. “Lihat saja, karya Vincent van Gogh. Luar biasa kuatnya. Lukisan wajahnya sangat berkarakter. Di mata saya karyanya itu sesuatu yang sangat berbeda. Orang memandang sebuah karya tentu ingin yang spesial. Lukisan itu sanggup membuat orang tertegun, dan punya kenangan yang sulit untuk dilupakan,” lanjutnya lagi.

Tiga tahun berjalan, seri lukisan “Proletar” menangkap pasar yang cukup baik. Pasar untuk lukisan kaum proletar ini ternyata mumpuni. Pembelinya, menurutnya,  adalah jajaran kolektor dan penikmat seni yang berasal dari beberapa negara, antara lain Spanyol.

“Walau untuk jenis lukisannya yang lain, yang  berkisah tentang mitologis juga digandrungi oleh penikmat seni dari Jepang, Swiss, Prancis, dan Australia. Tetapi umumnya pembeli lukisan saya adalah mereka yang memang menggandrungi aliran ekspresionis, yang memang itu gaya lukisan saya,” akunya.

Walau karyanya diperhitungkan di kancah nasional dan internasional, dia mengaku tidak jadi soal jika lukisannya tak menjadi bagian koleksi galeri pada umumnya. Alasannya? Dengan ringan ia berkomentar, “Jika di galeri, lukisan cepat dicontoh orang. Ini sudah saya alami tetapi untuk seorang kolektor yang paham lukisan akan selalu paham, mana yang lukisan saya mana yang tidak,” tegasnya.

Tak Membawa Nama Bali

Mungkin di negeri ini tak banyak daerah seperti Bali dalam hal berkesenian. Makanya tak heran jika mata dunia akrab membidik Bali sebagai gudang seni. Berbagai karya seni tumplek di pulau ujung timur Indonesia itu. Rasanya anugerah itu tak bisa diukur dengan mata uang apapun. Di sisi lain persaingan  pasar atas karya lukispun  tak lekang dimakan waktu, hanya tinggal komitmen dan semangat berkesenian itu saja yang harus digarisbawahi untuk para pelaku seni.

Seri lukisan Yesus Kristux akan dibuat kurang lebih 50 lukisan oleh Loka. Ist
Seri lukisan Yesus Kristux akan dibuat kurang lebih 50 lukisan oleh Loka. Ist

Bagaimana dengan Loka Suara, yang mulai menekuni dunia lukis sejak 32 tahun lalu. Apakah cukup dengan darah seni yang mengalir deras di tubuhnya, mengingat ayah dan ibu juga seniman? Atau, cukup berbekal sarjana seni yang digenggamnya dari Institut Seni di kota di mana ia lahir dan dibesarkan? Benarkah ia mantap untuk terus berada di dunia seni lukis? ”Gaklah. Mungkin aku memang tidak masuk dalam misi Bali dalam memperkenalkan cara Bali berkesenian, karena karyaku tidak dilihat murni mengetengahkan tradisi Bali di atas kanvasku. Misalnya, aku tidak selalu melukis penari legong, atau leak, atau pertanian subak dan apa yang ada di Bali. Jadi ada pandangan yang mengatakan  aku keluar dari tradisi Bali,” jelas Loka.

Memang aku gak membawa misi itu dalam berkesenian, namun warna-warna Bali tetap ada di lukisanku. Warna merah, putih dan hitam itu kan warna Bali. Melukis kan tidak hanya sekadar berdasarkan obyek-obyek di Bali, tapi bisa saja dari warna, rona, dan nuansanya. Itu juga sudah menyentuh budaya dan kharisma Bali,  dan itu sama pentingnya. Lima belas tahun yang lalu aku sudah melahirkan karya dengan melukis penari Bali dan para penabuh gamelan. Tahun-tahun itu banyak karyaku menyibak keindahan Bali,” bebernya.

Baginya, tak terlalu penting harus mengangkat obyek dari  tradisi , tapi bagaimana obyek itu mempengaruhi rasa dan menggetarkan jiwa untuk karya cipta sebuah seni. Rasanya, lukisan-lukisan Loka Suara termasuk yang mampu membebaskan diri dari hanya sekadar bentuk obyeknya. Lukisannya tak semata juga hanya hasil olah indrawi namun ada rasa dan imajinasi yang saling merekat kuat.

Mungkin saja Loka mau mengatakan melukis itu adalah deretan ekspresi yang keluar dari jiwa dan rasa. Yah, memang tidak meleset jika itu pendapatnya, karena bagaimana bisa berlebel mahal jika tak punya jiwa. Urusan pelukis itu memang mencipta dan berkarya dengan tanggungjawab berkesenian yang dimiliki.

Tanggungjawab berkesenian itu juga yang diperlihatkan dengan mengikuti berbagai pameran dalam dan luar negeri. Titik penilaiannya terhadap situasi perkembangan dunia seni lukis, plus sikap estetik seniman lukis khususnya menjadikan pegangan kreaktivitasnya. Di sinilah bedanya sehingga ia merasakan punya sebuah jalan yang jelas dan keputusan yang jelas untuk sebuah kebanggaan dalam berkarya. Dia hidup dari karyanya dan itu telah dibuktikannya antara lain dengan peraihan terbaik di ajang Hong Kong Asian Art Biennial 2018.

Ke depan, I Nyoman Loka Suara yang memiliki studio lukis di belahan utara Denpasar itu mengaku memiliki obsesi untuk melahirkan 50 seri lukisan Jesus Kristus, yang memang sudah dimulainya sejak Mei 2020 lalu. Dia setuju, kekayaan berpikir dan berimajinasi dalam melahirkan karya mutlak harus dimiliki seorang seniman. Seperti halnya yang dikatakan Albert Einstein, cukup menjadi seorang seniman yang menggambar dengan bebas di atas imajinasinya.   (Martha Sinaga)

Sedang menggarap lukisan. Ist
Sedang menggarap lukisan. Ist

About Gatot Irawan

Check Also

Setelah Satu Dasawarsa…

Oleh Martha Sinaga Jakarta, NextID – Banyak orang berpendapat memulai sesuatu pekerjaan itu menemui kesulitan hanyalah …

Leave a Reply