Jakarta, NextID – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggelar diskusi nasional dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2016 di Gedung Manggala Wanabakti Kementerian LHK, Jumat (20/05).
Diskusi bertema “Perspektif Kebangkitan Bangsa Melalui Politik Sumberdaya Alam Nasional” tersebut menghadirkan narasumber Dr. Efransjah, CEO WWF Indonesia; Diki Kurniawan, WARSI; Sri Palupi, Ecosoc; Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK; Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, D.E.A, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK; Kolonel Laut (Purn) Dr. Rusdi Ridwan, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kemaritiman, KLHK; dan Chalid Muhammad, Institut Hijau.
Diskusi nasional dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini bertujuan mendorong pemikiran upaya pengelolaan sumberdaya alam nasional sebagai sumber kekayaan alam nasional, merupakan hal strategis sebagai unsur kedaulatan negara, sehingga kewaspadaan yang tinggi harus dimiliki dalam kaitan dengan setiap langkah pengelolaan sumberdaya alam nasional.
Prof. San Afri Awang, dalam memaparkan soal kebijakan alokasi sumber daya alam dan hutan yang perpihak pada rakyat. “Jadi eskalasinya menjadi tepat ketika periode saat ini kita fokus pada kepentingan-kepentingan rakyat. Ini kalau kita bicara kebangkitan dalam pengertian politik, karena itu politik alokasi kita pro rakyat adalah sebuah keniscayaan karena terkait nasionalisme,” tuturnya.
Selaras dengan itu, Hadi Daryanto menegaskan, politik sumber daya alam kita saat ini menetapkan negara saat ini hadir dan turut campur dalam alokasi pemanfaatan sumber daya alam. “Presiden saat ini komitmen ingin menghadirkan negara dengan trisaktinya, yaitu berdaulat secara politik dan mandiri secara ekonomi. Besar harapan pemerintahan JKW-JK akan kedaulatan SDA nasional. Ini sebetulnya kesempatan bagus bagi rakyat untuk daulat mengelola, salah satunya terkait alokasi lahan untuk rakyat 12,7 juta ha yang harus dikawal,” tuturnya.
Sementara itu Chalid Muhammad menyebutkan, dalam konteks politik sumber daya alam, kebangkitan bangsa dapat terjadi jika kita mengakui telah terjadi salah urus terhadap pengelolaan SDA yang berlangsung dalam waktu lama. “Kesalahan itu ada pada tiga tahapan yaitu tata kuasa, tata kelola dan tata konsumsi. Jalan keluar yang bisa dilakukan adalah konsisten menjalankan nawacita. Kemudian harus ada upaya kekuatan poitik dari presiden untuk mendorong perubahan paradigma pengelolaan SDA, dan terakhir revolusi hukum dan kebijakan SDA,” ujarnya.
Selanjutnya Sri Palupi, berusaha menggambarkan terkait kondisi riil di lapangan bahwa izin-izin pemanfaatan sumber daya alam telah melebihi batas dan mengancam kondisi lingkungan. Oleh karena itu dalam perspektif kebangkitan nasional kita harus berubah. “Arahan Pemerintah JKW-JK untuk politik SDA sudah benar, tetapi perlu segera bergegas untuk menunaikan komitmen dan janji, termasuk nawacita. Dalam perubahan ini, persoalan yang harus diatasi, antara lain adalah merosotnya kewibawaan negara dan melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional,” tegasnya.
Sementara Efransjah memaparkan, momen hari kebangkitan nasional menginisiasi cara pandang yang mendorong kesadaran akan kebangkitan nasionalisme. Cara pandang kita soal SDA ini perlu dititikberatkan dalam menentukan nilai kekayaan SDA kita. “Saya setuju jika kebijakan alokasi SDA harus seimbang antara negara, swasta dan rakyat. Keseimbangan ini tidak berarti sama rata, namun sesuai dengan proporsinya agar tercipta keadilan, dan ini tentu memerlukan ketepatan dalam pengambilan keputusan ditingkat penguasa,” ucapnya.
Dalam kesimpulan, mereka sepakat setiap issue sumberdaya alam dan lingkungan yang berkaitan dengan situasi global, maka akan bersinggungan dengan persoalan kedaulatan Sumber Kekayaan Alam. Yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya dalam penertiban illegal fishing sangat erat terkait dengan kedaulatan, begitupun dengan upaya-upaya dalam penerapan sistem legalitas kayu yang dimaksudkan untuk menunjukkan secara nyata bahwa upaya-upaya ilegal itu bukan tidak terkait dengan pengaruh dan pretensi dari luar.
Kebijakan alokasi sumberdaya alam (hutan dan tambang) yang selama ini mendapat stigma berpihak pada korporat, telah mulai ditata oleh pemerintah, dengan melakukan koreksi akan keberpihakan dalam pengembangan kebijakan alokatif sumberdaya lahan, khususnya hutan. Tidak mudah memang, akan tetapi harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita keadilan bagi rakyat banyak.