Tuesday , 19 November 2024
Home / LifeStyle / Leisure / Esensi Puisi Cinta Riri Satria
Riri Satria pada momen saat membaca puisi. Dia penulis, pembaca, dan penelaah puisi sekaligus. Ist

Esensi Puisi Cinta Riri Satria

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Keseimbangan alam perjalanan hidup tentu dibutuhkan. Dengan keberadaan seperti itu akan terasa jiwa dan pikir dipersatukan oleh napas Tuhan. Keseimbangan antara pengetahuan dan rasa,juga keseimbangan antara kata dan makna, juga keseimbangan antara percaya ke-Esaannya dan semua ciptaan-Nya. Yang tak terpungkiri adalah ketika seseorang memiliki pengetahuan, sama artinya manusia itu mengerti tujuan yang benar dan salah, paham akan hal yang mulia dan yang hina.

Nah, kira-kira keseimbangan semacam itulah yang dibicarakan penyair Riri Satria di suatu siang. Bincang dengan Riri, begitu ia akrab dipanggil berlangsung tak kurang dari satu jam. Lelaki kelahiran Padang 14 Mei 1970 itu diketahui sebagai Komisaris Utama di sebuah BUMN, tepatnya PT Intregrasi Logistik Cipta Solusi (ILLS). Ia jebolan Universitas Indonesia (UI). Tingkat doktoral diselesaikan di Paris School of Business Paris, Perancis.

JIka dilihat dari dispilin ilmunya, lalu kenapa ia dikenal juga sebagai penyair yang telah menghasilkan beberapa buku kumpulan puisi. Duh. Jomplang ya? “Gak juga, karena itu memang keseimbangan yang saya rasakan. Sebelum kuliah, ketika itu saya masih SMA di Padang saya sudah menulis larik-larik puisi. Puisi itu rasa sih ya. Dan aku suka,” kisahnya dengan raut wajah serius.

Puisi Riri saat remaja. Ist

Riri lantas mengeluarkan beberapa buku yang ditulisnya. Baik buku yang ditulis sendiri, juga ketika ia berduet dengan penyair dalam sebuah buku kumpulan puisi. Sebut saja buku itu berjudul Algoritma Kesunyian. Penerbit Teresia. Terbit perdana pada tahun 2023. Sebelumnya di tahun 2022 ia menulis kumpulan 52 puisi yang diberi judul Metaverse. Merupakan Buku Kumpulan Puisi ke empat Riri Satria. Ketika usianya bertambah, ia menerima buku yang merupakan testimoni dari kerabat dan sahabat. Buku itu lantas diberi judul Apresiator. Lelaki yang sering terlihat di panggung sastra ini juga mengupas soal pendidikan dan pengembangan diri, di samping soal ekonomi, bisnis dan digital.

Dalam karirnya sebagai pengajar, pembicara dan nara sumber ada yang menggelitik untuk disimak. Ya itu tadi soal penulisan puisi. Kenapa menulis puisi? Itu pada akhirnya pertanyaan yang meluncur untuknya. “Dengan berpuisi atau menulis puisi itu ada rasa down to earth, hal yang lepas dari materi, lebih banyak pengasahan rasa, selanjutnya memiliki banyak teman,” begitu alasannya mengapa suka bersastra.

Tapi menulis tak semata hanya menciptakan keseimbangan dalam hidup kan? Ehm, atau lebih jauh menulis buku puisi bukan hanya untuk kalangan tertentu yang memahami, mengingat saat ini berbagai disiplin ilmu bergerak secara global. “Oh ya pasti. Garis tangan dan paradigma masing-masing penyair diharapkan memberikan value kepada kehidupan. Karya Rendra misalnya. Ia, gak tinggi-tinggi amat pendidikannya, namun karyanya mencerminkan kejadian yang maha luas. Bener-bener melengkapi wacana hidup, “ tegasnya.

Karya Riri bersama teman, biografi dan apresiasi. Ist

Ketika disinggung bahwa penulis puisi di negeri ini belum bisa hidup dari karya puisinya, pendiri sekaligus Ketua Komunikasi Jagat Sastra Milenia (JSM) menjawab, “ OK itu antara lain karena ada masalah dengan kurikulumnya. Fakultas Budaya di Jurusan Sastra lebih ingin mencetak kritikus sastra daripada mempersiapkan menjadi penyair-penyair hebat, yang pada akhirnya karya puisi itu tersebar di banyak kalangan. Ini yang belum terlihat, apalagi kita rasakan. Itu kan kenyataannya.”

Padahal kata dia ilmu kesusastraan sama hebatnya dengan ilmu-ilmu yang lain. Bahkan dikatakan dunia membutuhkan kesusasteraan. Itu sebabnya, ada nobel kesusastraan yang sama dan sederajat dengan penghargaan untuk ilmu yang lainnya. Selanjutnya, ia setuju jika ada filsuf yang berpendapat jika di sebuah negara ilmu kesustraannya lesu maka negara itu dalam ambang kehancuran.  “Ya, ya. Karya puisi itu merupakan keseimbangan antara pikiran dan hati. Kesamaan rasa yang utuh dan itu diaduk di hati yang menulisnya. Puisi itu rasa. Nah, kesimbangan hidup bagaimana jika pada akhirnya manusia gak lagi punya rasa,” demikian Riri Satria.

Puisi Cinta dan Cinta Puisi

Ketika SMA ia sudah menulis puisi. Selain memiliki beberapa buku puisi yang berhasil ditulisnya hingga kini dia mengaku telah menulis 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya. Menilik pikiran dan rasa, seorang Riri yang lebih menekankan keberadaan manusia di dunia, plus menekankan sisi kemanusiaan, martabat dan keluhuran manusia sebagai mahluk Tuhan, kental terasa dalam bait puisinya…

Buku sastra yang dibuat spesial berisi catatan perasaannya. Ist

Kita dan Semesta
cuplikan baitnya……

Entah berupa jumlah bintang di jagat raya
Pusaran galaksi pun tak berhingga
Kita tak bisa menembus dinding Planck
Tapi kita mengikuti tarian Fritjof Capra
Bebas meliuk di semua penjuru semesta…

(Jakarta, 10 Februari 2019)

Puisi beraura cinta pun kental dalam karya Riri, seperti di

Sepotong Cinta di Langit Halunisasi

Cinta itu abstrak!
Warna tak beraturan
gerak acak tak terduga
tak ada bingkai tak ada garis

Cinta itu liar!
………
……..

Cintaku adalah khayalku
Cintamu adalah khayalmu
pun bertemu di semesta khayal

… tak perlu kau pahami
inilah sepotong kisah cintaku
di bawah langit halusinasi
kita pun menyatu

(Cibubur – 17 April 2015)

Ketika menjadi pembicara di sebuah acara.

Penelaahan Inti Kehidupan

Plato, filsuf besar pelopor idealisme, dengan semangat membahas cinta dalam tulisannya yang bertitel Symposium, berkomentar, “Siapakah yang tak terharu oleh cinta berarti berjalan dalam gelap gulita.”  Banyak filsuf berpendapat bahwa cinta sebagai kekuatan kreatif yang bekerja dalam dunia. Henry Bergson, Iqbal dan Rumi mengakui hal itu. Ehm, perenungan terhadap topik cinta dalam bait puisi, tentu akan menyandarkan diri kepada penelaahan inti kehidupan.

Makanya tak heran jika pemikir, filsuf sampai seniman dan sastrawan, plus teolog membicarakan, lantas mengkaji dan membahas cinta, baik dalam bentuk roman, puisi, syair sampai tulisan ilmiah bercorak psikologis, sosiologis maupun fenomenologis. “Ya benar. Cinta itu kan bukan hanya bicara sejarahnya, atau kisah cinta, namun terpenting adalah pesan atau esensi dari cinta itu. Dan itu bisa dirasakan orang lain,“ begitu pendapat Riri.

Esensi itu yang menjadi  salah satu alasan Riri Satria menghadirkan larik-lari puisinya bernuansa cinta dan selanjutnya menjadi jawaban mengapa ia mencintai puisi. Dalam bentuk apapun cinta dirasakan. Dalam cara apapun, bahkan dalam tingkat apapun. Itu adalah bagian yang kecil dari cinta Ilahiah. Bukan begitu Bang Riri Satria?   
 

About Gatot Irawan

Check Also

Yang Bermagnet di Honda Culture Indonesia Makassar

Makassar, NextID – Langsung saja ke sasaran, di Special Display Area di ajang Honda Culture Indonesia di …

Leave a Reply