Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Banyak orang berpendapat memulai sesuatu pekerjaan itu menemui kesulitan hanyalah di awal saja. Ada juga pendapat yang mengatakan, kesulitan yang muncul dalam sebuah pekerjaan akan teratasi dengan baik jika seseorang mencintai pekerjaan itu. Sah-sah saja sih berpendapat, namun yang pasti solusi itu selalu ada jika konsentrasi bukan pada kesulitannya namun lebih fokus pada alur penyelesaian masalah yang muncul.
Nah, jika dilihat dari rentang waktu satu dasawarsa Sita Hanimastuty menakhodai bahtera Komunitas Pencinta Kain Indonesia (KCBI) bisa tetap eksis bahkan berkembang di beberapa kota di dalam negeri dan bersemi pula hingga ke luar negeri, maka setidaknya ketiga pendapat di atas itu telah ia alami, rasakan, walau diakui perjalanan taklah mudah.
Roh Semangat dari Sahabat
Setelah peringatan satu dasawarsa, lalu KCBI punya agenda apa lagi? Menurut Sita dan tim kerja harian KCBI, acara demi acara akan bergulir. Terhenti sejenak karena masuk dalam ibadah puasa dan Hari Raya Idulfitri, walau sesungguhnya rentetan dari menu agenda KCBI full sudah. Okelah namun kembali ke awal kiprah Sita sang motor dan pendiri komunitas yang doyan berkain ini.
Kenang Sita pula yang ia tuturkan di tengah peringatan Ulang Tahun KCBI pada 9 Maret 2024 di Semanggi Plaza. “Awal mula itu saya ajak Dyah S. Sudiro (almarhumah) memakai kain pergi ke Taman Ismail Marzuki (TIM) sekitar 10 tahun lalu. Lucu juga jika ingat itu karena mengenakannya mendak-mendak. Ada yang lihat gak ya, namun setelah itu semua berlanjut begitu saja. Kain gak lagi lepas dari hadirnya kami ke manapun kami pergi.”
Semakin dinikmati rasa cinta dan sangat memiliki tenun etnik Nusantara itu semakin melekat. “Saya mulai memilih nama kelompok cinta berkain ini. Saya diskusikan kepada suami. Apa kata yang tepat untuk kelompok ini. Saya melihat komunitaslah yang pas, dan kata komunitas itu yang ditetapkan hingga kini.”
Benar kan karena mencintai pekerjaan itu maka dimampukan untuk tetap eksis. “Ya, ya bener banget Diyah sudah berpulang, namun keberadaan dia itu tak pernah pergi dari benak saya. Pernah suatu hari saya ajak menghadiri sebuah acara, dia enggan ikut karena merasa perannya tidak ada. Saya katakan, kamu dudukpun di situ rasa semangat saya muncul. Kamu gak usah ngapa-ngapain, sebab saya bisa merasakan roh sahabat yang dia miliki itu sangat besar,” kenang Sita suatu malam.
Seiring dengan jalannya waktu lahirlah sahabat-sahabat yang saling menguatkan dan mengisi kinerja KCBI dan mengejawantahkannya ke banyak kalangan. Itu sebabnya bisa dikatakan karya dari sebuah komunitas adalah buah pekerjaan yang berisi renungan kehidupan manusia dan lingkungannya.
Betapa tidak, kelompok ini tidak hanya beranggotakan para puan penyuka kain namun mereka juga menjadi pendamping dari banyak UKM untuk memahami lebih dalam tenun etnik nusantara. Di samping itu komunitas inipun memperkenalkan tenun etnik ke jenjang yang lebih luas lagi, dan masih sederetan kerja yang telah dilakukan.
Menjaga Warisan Wastra
”Sungguh saya ingin sekali motif tenun kita ini dipakai dalam berbagai kegiatan masyarakat kita , utamanya generasi penerus. Mereka bisa mengenakan di sekolah, kampus, kegiatan berkesenian, agar mereka juga tahu ada warisan kita yang berupa wastra perlu dijaga, dan dikembangkan,” demikian Sita yang selalu semangat jika pembicaraan menyentuh soal wastra.
Ini memang bukan pekerjaan mudah, diperlukan kehadiran pihak-pihak terkait. Pun lintas generasi dan sektor pentahelix dengan kekuatan mengoptimasi budaya sebagai dasar ekonomi masa depan Indonesia. Yang pasti wastra adalah pusaka bangsa. Sikap KCBI harus diakui sebgai pendukung kesatuan bangsa di tengah pluralisme. Lebih luas lagi, mengusung perdamain dunia di tengah pluralisme masyarakat dunia, mengingat anggotanya sudah berkembang ke beberapa negara sahabat.
Jika dilihat kinerjanya, KCBI telah mendukung, menyebarkan, mempopulerkan, sekaligus melestarikan bagian seni budaya yang berupa wastra nusantara. Tenun motif etnik ini bukankah masuk dalam maha karya seni budaya nusantara. Maka seyoganyalah banyak pihak terkait yang idealnya bergandengan tangan dengan KCBI, agar inovasi lewat budaya dan seni bangsa sendiri terus berlangsung.
Kembali roh kerja sahabat itu hingga kini yang menguatkan langkah Sita untuk mewujudkan visi dan misi kelompok ini. Harus diakui bahwa ia dikeliling para sahabat yang memainkan perannya dengan baik, Napas gotong royong kental auranya. Istilah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul itu berlaku dalam komunitas ini.
Keindahan nafas kebersamaan ini, mungkin menjadi salah satu alasan mengapa KCBI melewati angka 10 tahun dalam kinerjanya. Pasti, agenda selanjutnya telah menanti. Dalam sebuah “peperangan,” jangan menghitung berapa tentara yang diturunkan namun lihat siapa yang pemimpin mereka (Napoleon Bonaparte).