Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Sehelai kain tenun motif etnik memiliki multi makna. Begitu juga dengan helai kain etnik Batak yaitu ulos. Dari sehelai kain itu bisa berkisah banyak hal. Mulai dari tradisi di mana kain itu ditenun, sisi antropologi, ataupun arkeologi, hingga aspek lingkungannya
Belum lagi fungsi dari kain tenun itu sendiri. Jika mau ditelaah tentu akan panjang urusannya. Betapa tidak, helai kain yang berkisah itu peruntukkannya haruslah jelas. Ulos yang digunakan pada acara adat, atau sebagai cindera mata pertanda kasih sayang antar keluarga, atau kepada orang orang terkasih. Semua sudah ada aturan main.
Memang secara umum sehelai kain memiliki multi fungsi. Bisa menjadi penutup tubuh atau pakaian, penutup kepala, bahkan muncul sebagai pelengkap fashion, bahkan bagian dari pelengkap interior. Namun tidak untuk helai ulos. Pasalnya, tenun ulos sudah punya ketentuan atau pakem yang tak bisa diubah. Helai ulos punya ukuran, motif, warna dan peruntukkan yang jelas.
Maka ketika motif ulos “dicomot” untuk berbagai karya maka itu tak lagi dikatakan sebagai helai kain ulos, namun motif ulos yang diterapkan di berbagai karya sesuai yang dikehendaki. Demikian juga tata krama dalam pemakaian tenun etnik ulos, semua sudah ada aturan yang jelas.
Termasuk di dalamnya helai kain itu diselendangkan menjuntai ke bawah dari bahu kanan atau kiri, atau diselimutkan di punggung. Hal yang paling mendasar ini yang selalu menggelitik untuk dipahami dengan benar, karena kain ulos mencerminkan akar dari masyarakat Batak itu sendiri.
Filosofi yang Perlu Dipahami
Mengingat pentingnya akan hal itu maka beberapa hari lalu tim kecil yang terdiri para wartawan, pemerhati budaya dan seni, penulis, praktisi ekonomi kreatif menyatukan waktu dan pemikiran untuk menelaah, melestarikan sekaligus mengembangkan kain Batak yang satu ini. Tentu setelahnya akan diikuti langkah selanjutnya untuk membawa kekayaan negeri yang berupa kain tenun tersebut ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Walau disadari langkah ini tak mudah dan memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. Mulai dari instansi terkait, swasta, para ahli wastra dan komunitas atau golongan yang dengan sesungguhnya “care” terhadap kekayaan non benda ini. Sebagaimana yang memang sudah ada kurang lebih 160 tahun lalu ulos sudah menjadi milik bangso Batak: Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Angkola, Batak Karo dan Batak Simalungun. Bisalah dibayangkan betapa indahnya ketika kekayaan berupa ulos ini dimaknai dengan benar sesuai filosofi yang terkandung di dalamnya.
Satu dengan yang lain tak pernah putus. Menilik motif ulos yang berupa garis-garis lurus, demikianlah sikap manusia Batak. Salah satu motif di ulos: motif Bittang Maratur, di mana tetua menginginkan generasi penerusnya memiliki karir seperti bintang dan hidup mereka penuh cahaya yang menerangi keluarga. Motif dan warna memang masing-masing memiliki arti.
Tentu warna-warna ulos pun ini pun memiliki makna yang dalam. Putih perlambang kebersihan hati, kuning identik dengan keterbukaan, lalu merah berarti perjuangan, atau hitam memiliki makna kegigihan. Bahkan jika disimak lebih dalam Ulos Sibolang Marheter (Samosir Toba) muncul dengan warna biru dongker yang menyiratkan kedamaian alam Danau Toba dengan biru airnya. Keterkaitan satu dengan lain ini bisa dilihat kuatnya Dalian Na Tolu (Tiga Tungku) manusia Batak itu sendiri.
Hangoluan, Tois Hamagoan
Jalinan jiwa yang kuat ini bisa dilihat dari peribahasa yang berlaku untuk masyarakat Batak pada umumnya, “Hangoluan, Tois Hamagoan” (perlu kesantunan untuk bertahan hidup, kesombongan hanyalah membawa pada kehancuran). Melalui peribahasa ini kembali diingatkan bahwa tentunya tim kecil kami harus terus berlanjut melakukan pengembangan sekaligus pelestarian ulos ke depan. Banyak langkah dimulai dari satu langkah. Pasti langkah itu adalah langkah kita bersama, untuk Indonesia nan kaya.
Langkah semangat ini terasa atas perhatian para sahabat. Mauliate godang (terima kasih banyak) kepada Ibu Sri Agung Handayani, Ibu Intan Vidyasari, Bapak Brian Gomgom, dan Bapak Fransiscus Soerjopranoto. Benang-benang kekayaan negeri berupa ulos Batak akan memintal semangat kita untuk melestarikan, juga mengembangkan hingga warisan ini sampai di ajang heritage dunia non benda di Unesco nantinya.
(penulis adalah pemerhati dan pekerja seni dan budaya)