Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Kini memang harus menciptakan peluang pekerjaan atau mengembangkannya menjadi sebuah pekerjaan. Pilihan dan pertanyaan itu sering menggeliding di berbagai lapisan masyarakat. Tak luput di tengah kehidupan para muda. Kenyataannya kini untuk generasi milenial sampai generasi Z tak sedikit yang mengambil keputusan untuk bekerja sendiri, tentu dengan sarana penyangga kerja yang mumpuni.
Selanjutnya, waktu, tempat dan cara kerja ditetapkan sendiri sesuai dengan kebutuhan berkarya yang akan menghasilkan uang. Walau memang tak mudah untuk berdiri tegak di kaki sendiri. Apalagi di awal usaha yang dijalankan, kesulitan pastilah dirasakan. Hanya saja jika memilih cara ini maka mau tidak mau harus mau mengalahkan diri sendiri.
Itu tantangan yang tak ringan. Bukti bicara kok, banyak yang gagal menggapai mimpi, salah satunya karena tak mampu menguasai diri. Sebaliknya bagi para muda yang tekun, pekerja keras, dan konsisten dalam disiplin ilmu yang sudah dipilih, pasti berbuah manis dan itu banyak contohnya.
Nah, tipe para muda yang kedua ini rasanya perlu diintip. Mengapa dengan persaingan kerja dan karya yang ketat dewasa ini mereka bisa kokoh mempertahankan profesi? Setidaknya hal itu bisa dilihat dari karyanya yang terus bergulir di tengah masyarakat luas.
Apakah ini yang dimaksudkan oleh motivator Eko Jalu Santoso (The Art of life Revolution), bahwa perspektif baru untuk mengubah hidup menjadi seorang pemenang adalah memberdayakan kecerdasan emosional dan spiritualnya.
Ya, bicara soal pemenang sebuah nama muncul di benak: Yuniar Arya Pradipta (30 tahun). Dia jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang mengambil program studi komunikasi visual. Arya, begitu sapaannya, kini telah 6 tahun bergabung di agensi Yearbook Abankirenk di Yogyakarta.
Dari masa freelance sedari masih kuliah, dia telah “dimatangkan” oleh pengalamannya dalam melakukan pekerjaan sambilan. Maka tak heran jika jam terbangnya kini mampu memposisikannya untuk dipercaya mengerjakan orderan dari berbagai pihak.
Berjalannya waktu lelaki muda asal Bojonegoro itu semakin merasakan disiplin ilmu yang ditekuni berkembang pesat. Masuk kantor hingga jam kantor usai dirasakan begitu cepat. Pasalnya, pekerjaan Arya menumpuk terus, sebagaimana yang dialaminya ketika menyelesaikan desain untuk pameran temporer “Narawandira”- Keraton, Alam dan Kontuinitas Yogyakarta yang kini sedang berlangsung hingga Agustus mendatang.
Maka tak salah nih untuk mengetahui pemikiran seniman muda yang satu ini. Tentu seputar soal desain grafis, di tengah maju pesatnya komunikasi visual dan komunikasi marketing. Belum lagi kedua disiplin ilmu itu telah bisa dipersatukan dengan cepat. Apalagi jika tidak menerapkan bantuan alat-alat berteknologi canggih dewasa ini.
Peluang Besar
So, apakah benar dengan begitu maka pekerjaan manusia tergilas dengan mesin. Lalu mengapa Arya tetap memilih dan berpendapat bahwa sentuhan manusia pada sebuah karya desain grafis itu lebih disukai dan itu dipilihnya. Berikut bincang-bincang dengannya di tengah ajang pameran tersebut.
Tanya/T: Mengapa memilih profesi ini? Ke depan apakah menjanjikan?
Jawab/J : Selain karena minat saya di senirupa, profesi desain grafis memang menjanjikan. Baik untuk berkantor maupun untuk kerja freelance, bahkan banyak tenaga freelance di luar, bekerja hingga bisa mendirikan studio sendiri.
Untuk saya sendiri, memang awalnya memilih freelance namun karena saya lemah di manajemen, waktu dan komunikasi, maka kemudian saya memutuskan memilih bekerja di kantor. Dengan begitu bisa fokus mendesain. Untuk seorang yang bekerja secara freelance tentu harus memerlukan skill manajemen waktu dan komunikasi yang baik.
Untuk saat ini, selain faktor skill, peluang untuk bekerja freelance juga lebih besar, karena banyak tersedia website untuk portofolio, walau kenyataan bicara bahwa pekerjaan freelance masing- masing dihantui munculnya “AI” (Artificial Intelegence).
Hanya saja bagi saya sentuhan kerja manusia itu lebih oke. Itu tak tergantikan, karena hasilnya terasa lebih alami. Bisa dilihat dari desain-desian yang bagus. Saya rasa dalam desain tetap dibutuhkan sentuhan manusia. Mengapa, karena sentuhan artistik dari manusia tak tergantikan karena terasa lebih alami dan tidak asing bagi yang melihat atau dalam menikmati karya tersebut.
T: Munculnya generasi Z bagaimana menyikapinya?
J: Harus lebih bijak menyaringnya, serta diperlukan role model yang bisa menginsiprasi generasi Z untuk giat berkarya dan produktif, karena dengan derasnya era sosial media seperti saat ini akan banyak menyita waktu kita. Akibatnya justru kita tidak produktif dalam berkarya maupun untuk menambah ilmu pengetahuan. Menjadi tugas bagi generasi milineal untuk memberikan contoh yang positif, lewat karya maupun membuat konten edukatif untuk dikonsumsi oleh generasi muda selanjutnya.
T: Yang didesain itu event, buku atau film?
J: Kebanyakan desain saya cover buku, lebih spesifik buku tahunan. Sedangkan untuk pekerjaan di jalur freelance, saya lebih banyak mengerjakan logo dan branding. Untuk saat ini, porsi saya di tempat kerja lebih kecil. Kebanyakan tugas saya adalah lebih ke supervisor desainer untuk mengerjakan desain dan ilustrasi serta meng-QC pekerjaan desainer dalam hal estika.
T: Dalam usaha mengasah kepekaan untuk desain grafis apa yang dilakukan?
J: Sering saya ditanya tentang hal itu. Kunciku hanya satu, membentuk taste yang bagus, baru kemudian belajar software yang dibutuhkan. Yang sering saya lakukan adalah sering mengamati karya yang bagus dan indah, dengan sering melihat karya yang indah dapat membentuk taste yang bagus juga. Dengan keadaan itu maka dalam berkarya akan lebih mumpuni, walau misalnya mengoprasikan software belum sampai ke titik expert.
T: Apakah perkembangan desain grafis di negeri ini cukup pesat?
J: Dengan akses internet yang lebih cepat tentunya perkembangan pun menjadi pesat, karena ilmu pengetahuan lebih cepat dan mudah di akses. Mencari pekerjaan sebagai desainer desain grafis pun sudah tersedia banyak di internet. Faktor lain, yang menunjang adalah device yang mumpuni. Sekarang banyak tersedia dan lebih terjangkau. Software untuk menyelesaikan karya grafis juga banyak.
T: Adakah saran untuk generasi penerus agar tetap bertahan dalam persaingan global?
J: Tetap update dalam hal teknologi yang mendukung pekerjaan. Saat ini banyak tersedia artificial intelegent yang dapat mempermudah pekerjaan kita dalam dunia desain grafis. Baik untuk membantu komunikasi maupun estetika. Dengan begitu, bisa bekerja lebih cepat, fokus dan efisien.
Cita-cita Kecil
T: Ketika kecil apa cita cita Arya?
J: Saat itu saya suka dinosaurus, jadi ingin jadi paleontologis, namun karena sering minta digambarkan oleh ayah tentang apa yang Arysaya baca maupun lihat, lama kelamaan jadi suka menggambar.
T: Kok betah di Yogya?
J: Dari kuliah saya di Yogya maka atmosfir berkesenian di Yogya semakin saya sukai dan di sini banyak relasi. Sempat sih satu tahun di Malang, dan beberapa bulan di Semarang, namun akhirnya kembali ke Yogya lagi. Bagi saya kota ini sudah sangat familiar.
T: Konon jika ingin cepat maju maka hijrahlah ke Jakarta atau ke Bali?
J: Bisa ya, dan bisa juga tidak. Memang di kota-kota besar tersebut membuat kita memiliki banyak kesempatan dan relasi, namun hal yang paling utama dapat membuat diri kita maju adalah diri kita sendiri. Terlebih dengan ilmu pengetahuan di mana kita dimudahkan untuk berkomunikasi dengan siapapun tanpa batasan jarak dan waktu.
Ukuran Sukses
Pemikiran yang penuh dedikasi dan kecerdasan tentu akan melahirkan karya yang berkarakter. Karya yang berkelas dalam estetika tentua akan mampu menyampaikan pesan. Ditunjang dengan teknologi maka akan menghasilkan perangkat kerja yang canggih. Lengkaplah jalan menuju sukses itu, tinggal bagaimana seseorang bisa menaklukan diri sendiri dan memperisai diri dalam persaingan ketat.
Bermimpilah. Mimpi lagi, dan selalu memimpikan mimpi-mimpi nan baru. Seperti yang dikatakan Douglas Mallock, jika kau tak dapat menjadi pohon meranti di puncak bukit, jadilah semak belukar di lembah yang indah. Kalau bukan rumput hijau maka semak belukar pun jadilah. Nilai itu bukan kalah atau pun menang, namun jadilah yang terbaik untuk dirimu sendiri. Gitu kan Yuniar Arya Pradipta?