Jakarta, NextID – Pada 8 Juni 2022 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti (FEB Usakti) telah menyelenggarakan Webinar tentang dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian dunia dan nasional. Seminar secara resmi dibuka Prof. Dr. Asep Hermawan, Wakil Dekan FEB Usakti.
”Indonesia saat ini memegang presidensi G20 dan kami yakin Indonesia bisa membantu meredakan konflik ini. Situasi ekonomi dunia yang mengalami kesulitan ini adalah akibat perang yang belum berkesudahan di Eropa. Tugas Indonesia tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah, tetapi kalangan akademis dan swasta nasional juga. Peranan mereka tidak boleh diabaikan. Untuk itu FEB Usakti akan terus memberikan masukan antara lain melalui kajian ilmiahnya,” ujarnya.
Seminar diawali dengan paparan Dr. Darmansjah Djumala, SE, MA (Dubes RI untuk Austria 2017-2021). Diuraikan tentang aktualisasi politik luar negeri (polugri) yang bebas-aktif. Juga, alasan mengapa RI mendukung resolusi PBB tentang kecaman terhadap invasi Rusia ke Ukraina dan apa dasar keputusan tersebut. Dalam kaitan tersebut diuraikan peristiwa konflik kedua negara tersebut dalam konteks PBB dari sisi makro.
”Resolusi Sidang Majelis Umum PBB tentang kecaman pada Rusia adalah sesuai dengan amanat UUD 1945 dan prinsip bebas-aktif. Kepentingan Indonesia terakomodasi di dalam resolusi. Dukungan kepada resolusi ditentukan oleh kepentingan nasional, bukan mengekor kepada negara-negara Barat (Amerika Serikat, Uni Eropa, dan NATO). Atas dasar itu Presiden Jokowi mengundang Presiden Ukraina dan Presiden Rusia ke Bali guna menghentikan perang tersebut. Perang ini telah mengakibatkan bencana kemanusiaan dan berdampak besar pada perekonomian dunia,” begitu papar Djumala.
Prioritas Indonesia
Menurut Djumala terdapat 3 prioritas Indonesia konflik Rusia-Ukraina, yaitu penghentian kekerasan, solusi damai dan dialog, serta bantuan kemanusiaan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Mengingat tujuannya adalah untuk menciptakan perdamaian. Penghentian kekerasan adalah berdasarkan prinsip kemerdekaan, yakni merdeka dari rasa takut karena penindasan dan kekerasan.
”Sedangkan solusi dialog adalah belajar dari sejarah, yakni kemerdekaan dicapai dengan jalan damai dan dialog. Adapun bantuan kemanusiaan landasannya adalah prinsip keadilan sosial, yakni akses dan jaminan keamanan dan bantuan sosial. Ketiga prioritas ini telah dimasukkan dalam operative paragraf 3, 9 dan 14 Resolusi MU PBB tentang kecaman terhadap invasi Rusia ke Ukraina,” ujar Djumala lagi.
Dubes RI untuk Swedia merangkap Republik Latvia (2016-2020) Bagas Hapsoro, sebagai pembicara berikut, menjelaskan dampak ekonomi yang diderita Rusia akibat sanksi ekonomi negara Barat dan juga kerugian ekonomi Ukraina. ”Sanksi Barat melumpuhkan sektor perbankan dan sistem keuangan Rusia, sementara nilai mata uang rubel telah runtuh. Langkah-langkah tersebut termasuk upaya untuk membekukan US$ 300 miliar cadangan mata uang asing Rusia yang disimpan di luar negeri. Juga selain itu terjadi kenaikan suku bunga, ancaman inflasi, pertumbuhan ekonomi melambat,” papar Bagas.
Ukraina, menurutnya, juga menderita kerugian besar. Ukraina telah kehilangan hingga US$ 600 miliar sebagai akibat dari invasi Rusia, termasuk US$ 92 miliar kerusakan pada infrastrukturnya. Setidaknya 195 pabrik dan bisnis, 230 lembaga perawatan kesehatan dan 940 fasilitas pendidikan telah rusak dan hancur.
”Himbauan Indonesia untuk menyetop perang sangat beralasan. Bantuan kemanusiaan terutama kepada penduduk sipil Ukraina yang harus mengungsi karena negaranya sudah tidak aman lagi. Hancurnya bangunan tempat tinggal dan jalan menyumbang jumlah total kerusakan infrastruktur terbesar dengan kerugian besar, dengan 23.800 kilometer (14.788 mil) jalan rusak atau hancur,” begitu catatan Bagas.
Paparan terakhir dari Prof Dr. Tulus TH Tambunan, guru besar FEB Usakti. Disebutkan Rusia dan Ukraina adalah pemasok gandum ke Indonesia. ”Pada tahun 2018-2020 Indonesia adalah salah satu negara pengimpor tertinggi gandum Ukraina. Ketergantungan kita sangat besar,” ujarnya.
Indonesia juga merupakan net importir minyak mentah. Menurut data SKK Migas, produksi minyak mentah di Indonesia mencapai 700.000 barel per hari. Dengan demikian kenaikan harga minyak mentah US$1 per barel, akan meninggikan anggaran subsidi elpiji sekitar Rp 1,47 trilliun, subsidi minyak tanah Rp 49 milar, beban kompensasi BBM kepada Pertamina Rp 2,65 triliun,” begitu catatan Prof Dr. Tulus.
Ketiga nara sumber sepakat, saat ini diperlukan kesungguhan, baik Rusia maupun Ukraina untuk berusaha mencari titik temu. Para pembicara juga berpandangan, provokasi pihak luar juga telah mengakibatkan perang menjadi tidak berkesudahan.
Para peserta webinar pada umumnya mendukung peran yang diambil Indonesia yang secara terus-menerus mengingatkan masyarakat internasional untuk menghormati kedaulatan, integritas wilayah dan hukum internasional negara lain. Para peserta webinar juga meminta supaya diintensifkan perundingan untuk mencari jalan keluar, penyelesaian secara damai dan tidak melupakan elemen kemanusiaan di dalamnya.
”Sebagai Presidensi G20, Indonesia terus berkomunikasi dan berkonsultasi secara intensif dengan seluruh anggota G20. Karena tata kelola G20 sebenarnya didasarkan pada konsultasi sekaligus kerja sama,” kata Djumala.
Beberapa peserta meminta contoh konkrit Indonesia dalam memediasi konflik internasional. Bagas memberikan contoh peranan Indonesia dalam Pertemuan Jakarta Informal Meeting (JIM I dan II), di Bogor tahun 1988 dan 1989. Ketika itu Indonesia memfasilitasi pertemuan antar faksi politik yang bertikai di Kamboja. Hasilnya adalah kesepakatan damai antar kekuatan politik di Kamboja yang ditandatangani di Paris.
”Peranan Indonesia lainnya adalah menjembatani konflik antara Kamboja dan Thailand, Jakarta pada tahun 2011 dan memediasi pertentangan antara Filipina dengan MNLF tanggal 23 Februari 2013,” ujar Bagas.