Jakarta, NextID – Berhasta cara yang bisa diterapkan untuk mempertahankan kekayaan warisan negeri yang berupa seni tenun, dan itu memang sudah bisa dirasakan manfaatnya. Dari berbagai daerah di bumi pertiwi ini motif etnik tenun sudah dikenal luas dalam dan luar negeri.
Hanya saja sebaiknya jangan puas dulu dengan berbagai upaya tersebut, mengingat masih berlapis-lapis kekayaan kain di bumi tercinta ini yang belum naik ke permukaan. Masih dibutuhkan kerja keras, yang konsisten, dan penelitian yang terus-menerus agar pelestarian sekaligus pengembangannya berjalan selaras.
Keseimbangan upaya mewarisi dan fokus dalam usaha mempublikasikan kepada generasi penerus pastinya akan memberikan lompatan besar untuk mewujudkan impian bersama, warisan itu memang milik kita.
Apa pengalaman mereka seputar hal ini. Apa juga artinya warisan yang berupa kain tenun motif etnik ini bagi perempuan perempuan aktif tersebut. Inilah kata mereka.
Tuti Rusdiono: Tenun Itu Sarat Komitmen
Sejak lama Tuti Rusdiono mengenal baik kain tenun bermotif etnik negeri ini. Rasa memiliki atas salah satu kekayaan negeri itu tertanam bermula dari orangtuanya yang dalam keseharian mengenakan kain-kain sejenis. Spesifiknya batik.
Setelah menikah, ia mengikuti karir sang suami untuk mengunjungi negara-negara di Asean. Ini yang membuat kecintaannya atas kain itu terasa lebih kental. Akhirnya, tak hanya tenun bermotif etnik Indonesia yang ia kagumi namun juga motif dari beberapa negara Asean. Tuti Rusdiono yang juga anggota DPR Komisi IX itu lantas menyebut bahwa Laos, Burma, dan Thailand memiliki tenun yang motifnya punya kemiripan dengan motif etnik tenun Indonesia.
Sejauh ini Tuti memiliki tenun bermotif etnik hampir dari seluruh daerah di Nusantara. Ia menjelaskan, kain-kain itu didapat dengan cara membeli di antique shop, butik atau dibeli dari penenun setempat.
Mengapa Tuti begitu cinta kain-kain bermotif etnik tersebut? “Itu dikerjakan dengan tangan. Mulai dari pembuatan alat tenun, memintal benang, hingga mencelup kain. Kerja ini membutuhkan sentuhan hati secara total. Semua dengan komitmen, ketelitian dan kesabaran. Dedikasi mereka luar biasa, dalam uasaha menciptakan sebuah karya seni tenun. Itu semua tersirat dari hasil kerjanya, ” sibak Ketua Kebaya Foundation itu.
Berdasarkan itu rasa cintanya terhadap karya anak bangsa semakin tebal. Alhasil di deretan koleksinya bisa ditemukan kain tenun motif etnik Nusantara yang berasal dari Aceh, Padang, Palembang, Jawa, Madura, Bali, Lampung, Ujung Pandang dan Sulawesi. Tentu saja NTT-NTB, Tapanuli tak ketinggalan. Tuti menghimbau generasi muda untuk lebih memahami, mengembangkan dan mencintai lebih dalam lagi karya yang diwarisi generasi terdahulu.
Novi Juliani: Bangga Indonesia
Rutinitas sebagai perempuan pengusaha di Lampung tak mengurangi niatnya untuk menjaga NKRI. Itu dia lakukan antara lain dari sikap dan tindakan yang terus menerus memperkenalkan kain tenun bermotif etnik Indonesia dibanyak kesempatan. Novi Juliani, nama itu memang akhir-akhir ini semakin sering terdengar karena ia terpilih sebagai wakil dari kelompok Tegak Lurus dengan Joko Wi untuk wilayah Lampung.
“Di banyak kesempatan saya memilih mengenakan kain-kain Nusantara. Sungguh, bangga jika mengenakan kekayaan yang berasal dari kearifan lokal. Rasanya sulit untuk diungkap dengan kata-kata. Ketika saya mengenakan tenun dari negeri ini jati diri semakin jelas. Saya bangga sekali menjadi orang Indonesia,” tegas Novi yang selalu dalam postingan akunnya di medsos tak pernah sepi dengan nuansa cinta negeri.
Maka ia berpendapat untuk mempertahankan sekaligus mengembangkan motif etnik tenun ini banyak komponen masyarakat dan instansi terkait yang idealnya mengambil peran dan tanggungjawab. “Seperti batik misalnya, ketika perangkat negara mengenakan batik atau tenun ikat dalam banyak kesempatan, otomatis itu menularkan keinginan kepada masyarakat luas untuk melakukan hal yang sama. Ke depan diharapkan kenyataan seperti ini sebaiknya diberlakukan untuk motif- motif yang belum naik ke permukaan,” begitu Novi berpendapat.
Seperti banyak pihak dalam kaitan promosi kain tenun etnik Indonesia ini Novi pun selalu tampil dengan gaya dandanan dan riasan Indonesia. Bersanggul walau secara ”ringan” namun sentuhan wanita timur tetap bisa dirasakan. “Saya cinta negeri ini. Saya hidup di negeri ini, maka saya berpikir simpel saja, tampilanpun berkarakter Indonesia,” demikian Novi yang juga kolektor kain tenun bermotif etnik negeri ini.
Nadia R. Wisatayanti: Pulang Tugas Membawa Kain.
Dalam usaha memiliki kain tenun motif Nusantara, ketika pulang tugas dari berbagai daerah Nadia R. Wisatayanti berupaya membawa helaian kain tenun bermotif etnik tersebut. Ia mengenang, dalam mendapatkan helaian demi helaian kain, ada yang sifatnya dibeli dari para penenun atau mendapatkan bingkisan dari masyarakat setempat.
“Itu sebabnya saya punya beberapa helai tenun yang biasa digunakan untuk acara adat setempat. Duh, itu rasanya sesuatu banget,” ungkap Nadia yang bekerja di Kementrian Keuangan.
Ia terkagum-kagum dengan motif tenun yang di setiap kawasan berbeda. Ada berbagai bunga, binatang kecil seperti satwa, cicak, beragam warna kupu, capung. “Menurutku itu motif yang cantik dan menyenangkan hati memandangnya. Dan memang itu pantulan dari negeri kita, memiliki beragam flora dan fauna,” ujar Nadia, panggilannya akrabnya.
Tak hanya itu menurutnya, kain-kain itu jika dikenakan bisa dilengkapi dengan beragam aksesori. Baik yang berasal dari kawasan setempat atau pun beda daerah. Jadi, satu penampilan bisa menampilkan berbagai cita rasa karya dari berbagai daerah asal. “ Ini unik menurut saya. Belum lagi kalau kita bicara alam laut. Negeri kita maha kaya,” tandasnya.
Saking kagumnya dengan pekerjaan para penenun negeri ini, semua kain yang dimiliki dijaga baik. Maka tak heran jika konsentrasinya pernah buyar karena salah satu kain dicuci oleh asisten rumahtangga dengan menggunakan mesin. “Benar-benar saya kecewa. Bukan hanya harga yang tertera, tapi cara mendapatkan sehelai kain itu juga punya cerita tersendiri. Saya membelinya dari mama-mama penenun di NTB , juga NTT. Atau para penenun di Sumatera Barat,” cerita Nadia sambil memperlihatkan beberapa koleksi yang disayanginya.
Martha Sinaga: Pertahankan Citra Bangsa
Banyak cara dalam usaha mempertahankan citra bangsa. Salah satunya dari langgam berbuasa yang santun. Sejak lama bangsa ini dikenal memiliki tata krama dalam mengolah penampilannya. Betapa tidak, masyarakat luas di bumi nusantara ini dalam keseharian telah mengenakan kebaya, sarung, atau kebaya dengan paduan kain panjang.
Tampilan mereka seperti itu bisa ditemui mulai dari acara resmi, di ruang ibadah, sampai di pasar. Itu sebabnya jika ditilik lebih jauh, kehadiran pola kebaya itu telah dikenakan masyarakat negeri ini dari Sumatera hingga Madura, Bali dan Indonesia bagian timur. Kenyataan ini tak lepas dari masuknya agama Islam ke negeri ini yang dalam berbuasana harus menutup aurat, tertutup, sopan dan santun.
Jadi, jika mau diungkap lebih jauh soal kecintaan perempuan negeri ini terhadap gaya tradisional dalam berbuasana dan kesantunan dalam memilih pola gaun itu sudah terpatri sejak dulu. Cinta Indonesia berarti memakukan citra yang baik pula. “Itu pasti dan harus,” begitu pendapat wartawati dan penulis senior Martha Sinaga.
Ia mengungkap, dulu di awal kerja ia telah menggunakan kebaya dengan padu padan kain tenun bermotif etnik. Hanya birokrasi kantor di mana ia bekerja tidak memperkenankan itu berlangsung. Tak diam hanya di situ dalam kegiatan keseharian Martha yang belakangan menjadi pekerja seni itu tetap mengenakan sarung dan kain bermotif Etnik Indonesia.
Martha tak menyanggah ia memang mengoleksi kain bermotif etnik ini. “Tak hanya yang sifatnya dikenakan sebagai pakaian ya, namun pelengkap interior rumah sayapun identik dengan motif-motif entik Nusantara. Wong itu kekayaan yang gak dapat dinilai dengan mata uang apapun. Motif etnik itu menurut saya adalah citra dan jadi diri bangsa ini,” imbuhnya.
Ia berharap walau sudah ada museum kain Indonesia, dan sudah muncul karya dari para desainer yang menggunakan tenun negeri ini, namun masih sangat dibutuhkan sponsor berkesinambungan yang berkonsentrasi agar pelestarian dan pengembangan motif etnik ini terus berlanjut. “Saya hanya mengelus dada jika mengetahui kain kuno kita dibawa ke negara orang. Jika semakin banyak pihak yang care terhadap kekayaan yang berupa tenun ini setidaknya hal itu bisa diminimalisasi,” demikian Martha.
Sama dengan penyuka kain Indonesia lainnya. Dia berharap generasi berikut lebih mencurahkan perhatiannya di dunia tenun, terhadap kain-kain tradisional karena itupun menjadi aset dan warisan negeri ini. Cintailah itu. (Edwin Yezz)