Jakarta, NextID – Keluh kesah, bingung, bahkan depresi hinggap dan sering menetap dalam kehidupan masyarakat di masa Covid ini. Tak hanya itu, tak sedikit yang menemukan jalan buntu. Mau berbuat apa dan dimulai dari mana, membingungkan. Tapi tunggu dulu, bagi sosok yang gigih, dan pekerja keras, tentu tak menyerah begitu saja terhadap keadaan.
Alhasil, mereka yang gigih untuk terus berusaha dan menjaga keseimbangan diri otomatis asap dapurpun akan tetap ngebul. Mereka “tidak kalah” dengan keadaan yang tidak menguntungkan ini. Covid hadir, justru memicu lini berpikir. Berpikir yang simpel namun hasilnya tidak sesimpel apa yang mereka lakukan. Yang semula biasa-biasa saja akan menjadi bisa. Itu yang dikisahkan Edwin Yehezkiel. Lelaki muda yang mengisi pundi-pundi dari hasil garapan dapur lauk-pauknya.
Sementara itu ada Fransiska Devi Junardy yang tadinya hanya hobi lalu menjadi rutinitas yangpunyanilai ekonomi. Devi lantas menghadirkan berbagai snack dengan beragam cita rasa. Ada pula Helena Sri Hartini yang mengaitkan bisnis minumannya dengan resep leluhur, yang segar dan sehat. Minuman legenda ini diracik dari pawon rempah “Mak Yo,” di bawah tangan dingin perempuan aktif itu.
Pertanyaan yang muncul, sikap dan terebosan dari mereka ini seberapa besar bisa membantu ekonomi keluarga di tengah masa sulit ini? Lalu,hasil kerja mereka mengapa menjadi “penting” untuk diri sendiri dan orang lain? Apakah dengan sikap berani ini maka mereka ada di jajaran orang yang memiliki kesenangan mengumpulkan uang. Sebab, bukankah orang yang berbahagia antara lain adalah orang yang bisa mengumpulkan uang, sekaligus menggunakannya dengan tepat dan bijak. Yuk, simak penuturan ketiganya.
Komunikasi melalui Cita Rasa
Menurut Edwin Yehezkiel yang menerapkan lebel “Yezz” pada usaha kulinernya itu, menjelaskan, berbisnis lauk-pauk, berupa suiran ikan cakalang, sambal ikan roa, usus ayam garing yang dilumuri rempah dedauan, hingga chees stick, tak lagi bisa sepenuhnya melakukan tes pasar. Tetapi, harus “bermain” dengan nalar bisnis dan rasa.
“Uang sulit di awal, ruang gerak untuk berjualan juga terbatas karena diberlakukannya peraturan tak boleh ngumpul, nggak boleh buka resto atau tempat makan. Nah, di sisi lain orang butuh makan. Maka “komunikasi“ keadaan seperti ini yang saya sikapi. Bikin makanan yang bisa dikonsumsi keluarga. Cita rasa yang netral karena banyak orang suka ikan. Nah saya pilih ikan cakalang asap dan ikan roa. Ikan kan sehat dan pengadaannya pun tidak ribet,” bebernya.
Ia berpikir keras harus bisa menciptakan rasa dan aroma yang beda untuk makanan yang disajikan. Menurutnya kecerdasan dalam sebuah sajian makanan saat ini sangat dibutuhkan. Mengingat orang mengeluarkan dana juga tak mudah, walau itu kebutuhan primer untuk makan misalnya. “Saya harus terima resiko, jika profitnya sangat tipis. Hanya saja keberadaan itu justru membuat saya berpikir terus dan terus. Bertumbuh dalam bisnis kecil memang harus semakin kuat. Kecerdasan emosional dalam mengatur usaha kecil itu mutlak banget,” imbuh lelaki jebolan Universitas Bina Nusantara itu lagi.
Edwin yang memang mengambil jurusan Marketing Komunikasi di masa kuliah itu berpendapat bahwa komunikasi di antara sesama rekan, keluarga, sangat dibutuhkan di awal membuka usaha ini. Ia menyadari, komunikasi itu penting untuk menjalankan usaha sesuai dengan target yang ingin dicapai. “Dari komunikasi yang baik itu, akhirnya kita bisa mendapatkan informasi. Apa sih yang dibutuhkan konsumen, dari situ baru bisa memetik hasil,” ujarnya.
Di tengah Covid ini kita nggak selalu bisa bicara harga, tapi bagaimana produk atau materi yang dijajakan bisa tembus pasar dulu. Saya melihat, jika itu terjadi maka kebuntuan akan menemukan jalan terang,” tegas Edwin yang dalam waktu dekat siap menebar beberapa cita rasa yang diharapkan bisa menembus selera para muda.
Ketika disinggung soal kuantitas penjualan hasil racikannya. “Huh, smooth sih, namun PO selalu ada. Itu yang saya syukuri. Saya memang tidak siap stok ya. Semua serba fresh. Diusahakan begitu, sebab pengiriman tak hanya di Jabodetabek, namun juga ke Bali, Batam, Yogya, dan Lampung. Nah, itu dibutuhkan packaging yang solid. Ada sih beberapa hari yang kosong, dalam artian tanpa order. Tapi, harmonisasi ada dan tiada itu ya harus disikapi,” demikian Edwin menyikapi usaha makanan yang berjalan 2 tahun ini.
Ketika disinggung ke depan citarasa seperti apa yang akan hadir. Sejauh ini, menurutnya, pembeli yang doyan rasa natural itu sudah jelas ada. “Itu dari kalangan personal otomotif, keluarga pekerja, ada juga jajaran profesional. Mereka memilih citarasa yang sudah saya siapkan selama ini. Tapi, tentu saja inovasi itu harus terus dilakukan. Nah, itu tadi bahan dasar tetap namun diolah dengan bumbu-bumbu berbeda,” tegasnya.
Hobi Mencetak Duit
Kisah insipratif memang memberikan enerji ketika disimak, dipelajari dan dikaji. Contoh soal jika ada langkah optimis penuh kreativitas, karena memang sesungguhnya kreativitas itu tak ada limitnya dan menyentuh setiap sudut kehidupan pribadi. Kenyataan itu dialami oleh perempuan aktif, Fransiska Devi Junardy, yang bekerja di Martha Tilaar Innovation Centre (MTIC) sejak 2011. Betapahebohnya kan? Di luar ituhari-harinya tetap penuh terisi dengan hal-hal produktif, apa lagi di saat Covid menyatroni negeri ini.
Pada Sabtu dan minggu, di luar rutinitas kantor, ia bermain dengan bahan-bahan pembuat kue. Mulai dari kue yang beraroma lokal, prol tape, pastel tutup, hingga yang bercita rasa negeri sono, antara lain chocolate mousse, atau macaroni schotel. Yang menarik, apa yang dilakukan Devi begitu ia dipanggil, semula masak memasak kue ini adalah hobi, walau memang Ibunya gemar memasak. Mungkin saja aktivitas hebat itu turun ke sang putri.
“Nah, sebenarnya kisah ini sudah lama saya alami. Setamat studi di Australia, saya belum mendapatkan kerja. Waktu-waktu itu saya isi dengan mencoba berbagai resep kue. Lho kok bisa ya,” kenang Devi.
Hobi masak kue sempat terhenti karena ia harus kembali tinggal di Singapura untuk beberapa lama. Kembali ke negeri ini, lantas bergabung dengan sebuah perusahaan kosmetika lokal. Membagi waktu antara bekerja dengan meneruskan hobi tentu menemukan kesulitan. Tapi itu justru tantangan diri yang ia katakan harus bisa diatasi. “Toh awalnya pasar saya juga teman-teman kantor, dan orang orang dekat,” ujarnya.
“Lelah, pasti. Tetapi ada kebahagian dan kepuasan tersendiri, ketika hasil karya makanan yang diolahnya disukai pembeli. Saya percaya bahwa percaya diri adalah salah satu rahasia untuk bisa sukses. Itu yang terjadi pada saya. Teman-teman suka resep yang saya jual. Teman kantor juga banyak pesan, untuk rapat dan lain-lain. Kenyataan itu mengolah emosi saya dengan semangat positif,” Devi berkisah.
Di tengah himpitan ekonomi karena Covid-19 melanda, anehnya permintaan tak banyak menyurut. Hanya Devi tinggal menentukan mana jenis yang disukai, maka adonan ditambah dan mana pilihan tertentu. “Puji Tuhan, permintaan ada saja. Hanya saya tegaskan saya bisa memenuhi order hanya Sabtu dan Minggu. Ketepatan pengadaan order itu selalu menjadi catatan penting saya. Itu prioritas. Saat ini tak menutup mata, banyak sekali orang berjualan, tawaran snack itu bervariatif, tapi kembali lagi jika itu sudah rezeki maka akan tetap menjadi miliki kita. Saya optimis kok,” urai Devi.
Betapa indahnya orang yang memiliki hobi, dan hobi itu mampu menghasilkan uang. Aneka snack-nya yang dilabeli merek “Moon Snack n Dessert” tak putus dipesan orang. Maka Devi yang bekerja di kantoran selama 5 hari dalam seminggu, mau tak mau harus memakai tenaga asisten agar dapat mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memenuhi orderan.
“Nah, ini tantangan lagi di tengah Covid. Kita terkadang harus memantau pekerjaan kantor dari rumah. Di sisi lain, di Covid ini, asisten tidak dipekerjakan dulu. Maka pengaturan waktu yang tepat tak boleh meleset. Ibaratnya, ini kelenturan yang sangat dibutuhkan agar semua bisa terpenuhi, baik kantor dan pesanan. Semula saya agak keteteran, tapi kita harus menjadi pribadi yang penting hingga bisa survive untuk diri sendiri dan orang lain,” tutur ibu dari Chandrea Aeriel Darriana Joris itu.
Sungguh, pengalaman hidup membuat seseorang lebih mampu menyerap pelajaran dan mengusai keadaan dengan baik. Di Covid ini harga masakan tidak ada yang berubah. Walau untuk pengadaan materi di pasaran harga membumbung. Maka, rasa optimis dalam bersaing yang sehat itu sangat dibutuhkan. “Walau orderan itu hanya satu, ya saya lakukan. Lho, itu berkat kok. Kita sehat saja di Covid ini sudah anugerah,” aku Devi yang murah senyum itu.
Ini sikap yang memang dibutuhkan banyak orang. Bukankah banyak langkah tetap dimulai dari satu langkah. Toh mengeluh tanpa berbuat, tak akan pernah ada hasilnya. Kata orang bijak, kita lebih besar daripada masalah yang kita hadapi itu. Maka, kita tidak boleh kalah dengan masalah yang kita hadapi.
Resep Leluhur Tembus Pasar
Ini menarik, resep leluhur Helena Sri Hartini menjadi ikon untuk berbisnis. Di tengah Covid-19 justru tak mengurungkan idenya untuk duduk manis dan diam. Dasarnya Helena memang suka bekerja dan melakukan banyak kegiatan. Apalagi di tengah Covid ini, racikan minumannya oleh lingkungan dan rekan dekatnya dirasakan lebih segar dan sehat.
Yang unik nama-nama racikan minumannya, Lemon Grass dan Kunir Asem, plus sepaket empon-empon. Jika disimak, apa yang dilakukan oleh Helena bisa ditemukan dibanyak tempat dengan merek produk yang berbeda. Tapi memang harus diakui racikan minuman sehat bermerek “Mak Yo” ini berbeda. Mulai dari cita rasa, kemasan yang pas, untuk sekali minum dan segar pula.
Uniknya lagi, perempuan asal Pati tersebut tidak gentar jika resepnya ditiru pihak lain. Dengan senang hati ia membuka isi dapurnya (resep), bahkan tak jarang ia juga mengajari orang yang ingin berjualan seperti apa yang ia jual.
Mungkin Helena yang juga aktif di sebuah partai politik itu berpikiran dalam hidup ini tabur tuai pasti terjadi. Tapi, bagaimana hitungan bisnisnya? “Nah, itu dia. Walau saya membuka resep racikan tetap saja order datang setiap hari. Itu yang membuat saya lebih yakin bahwa berkat dari Allah sudah ada takaran pasti. Orang dulu katakan dalam meracik makanan itu lain tangan, lain pula rasanya walau materi yang digunakan sama,” kata Helena yang juga juga nyemplung untuk mengajar anak-anak kurang mampu.
Ia lantas berkisah, minuman ini berkembang karena suatu hari ia membuat beberapa gelas untuk para tetangga, kemudian banyak yang merasa cocok. “Dari merekalah nama dagang saya itu. Di Jawa indentik dengan panggilan Mak. Maka saya gunakan kata ‘Mak.’ Sementara ‘Yo’ itu dari nama suami, Yohanes. Digandeng, jadilah Mak Yo,” jelas Helena tersenyum.
Menurutnya, apa yang dilakukan berguna bagi banyak orang, dan apa yang ia produksi memang membantu ekonomi keluarga. Produksinya, bisa mencapai 100 botol sehari. Semua melalui order. Di masa Covid ini, perolehannya di luar order bisa mencapai Rp 5 juta – Rp 6 juta per bulan. Selama Covid ini penuh tantangan. “Kita bukan hanya bisa membaca apa yang dibutuhkan pasar, tapi juga harus mampu terapi waktu. Dalam arti, membagi waktu antara kegiatan sosial , keluarga dan jualan. Nggak mudah memang,” jelasnya lagi.
Yang menarik, antara bisnis dan sosial berjalan seimbang. Helena sering membuat jamunya untuk kemudian dibagikan kepada beberapa pihak. Terutama orang yang terkena Covid. Menurutnya mereka harus mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat. Itu ia berikan dengan cuma-cuma alias tidak bayar.
Belajar tentang pikiran dan ilmu pengetahuan tanpa belajar untuk memperkaya hati, itu artinya sama dengan tak belajar apa-apa, kata Aristoteles. Apa yang ia lakukan dengan banyak memberi, ia mendapatkan banyak pelajaran di situ. Tak dipungkiri karunia hati nurani membuat seseorang semakin penting. Tanpa anugerah hati yang mampu memahami sisi-sisi kehidupan, so nothing. Bukan begitu, Helena?
Ia mengaku akan tetap melakukan terobosan bisnis minuman ini. Ia percaya, ke depan akan semakin banyak orang yang sadar ingin hidup sehat, maka pilihan makanan dan minuman pun yang sehat tentunya. Rasa optimis memang sangat dibutuhkan dalam menjalani usaha, namun kecerdasan otak juga harus selaras dengan hati. Dengan begitu diharapkan kesimbangan muncul dalam menata kehidupan sosial dan lahan usaha yang seyoganya juga harus terus berkembang.
Aktivitas yang efektif dan pribadi yang cerdas tentu akan mengubah kebuntuan menjadi peluang. Sebagaimana yang dikatakan William A. Ward, ”Belajarlah ketika orang lain tidur,bekerjalah ketika orang lain bermalas-malasan dan bermimpilah ketika orang lain berharap.” (Martha Sinaga)