Sunday , 8 September 2024
Home / LifeStyle / Leisure / Art / Menulis itu “Cinta”
Buku-buku sastera Rini Valentina yang berbahasa asing. menjangkau wilayah yang lebih luas. Ist

Menulis itu “Cinta”

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Covid-19 melanda umat manusia, beragam kejadian juga menghimpit kehidupan. Pasti, suka dan duka silih berganti. Satu jawaban untuk menghadapi itu, bersikap dan berpikir positif. Dalam menyikapi setiap tantangan, besarkan keberanian diri sendiri. Lawatan Covid-19 dan “antek-anteknya” tak tahu kapan akan berakhir. Maka mengendalikan dan mengolah kemampuan, salah satu kunci untuk  dapat memperbaiki langkah hidup ke depan.

 Tindakan terobosan demi terobosan dilakukan banyak pihak. Melihat situasi yang tak nyaman ini mereka pun lantas mengharamkan berpangku tangan. Termasuk di dalamnya 3 perempuan penulis ini. Mereka bersikap sebagai respons terhadap situasi kini. Ehm, perubahan adalah kata yang asyik, namun perubahan itu sendiri memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Termasuk pengendalian diri yang mutlak harus disiasati. Betulkah demikian?

Kita simak pendapat dan langkah yang menyeret Anna Joen, Audi Jo dan Rini Valentina. Ketiganya penulis yang selalu mencari jawaban atas setiap persoalan dan tantangan yang dihadapi, dialami dan dikaji hari lepas hari. Tentu tak luput di tengah hempasan Covid-19 yang berdampak untuk penjualan buku. Penjualan memang  seret. Plus, penerbitpun tak lagi mudah melakukan kerjasama. Lalu?

Anna Joen, ”Penulis bisa kok hidup dari karya tulisnya”

Anna Joen berprofesi sebagai guru. Bisa dibayangkan kehidupan yang diresapi setiap hari. Tentu setiap pribadi berjuang dengan caranya masing- masing. Perempuan kelahiran Klaten 8 Mei itu berangkat pagi, dan pulang jelang senja. Lelah, dan waktu untuk menulis mepet. Tapi terasa ia mencari jawaban atas setiap tantangan. Bukti bahwa kegemarannya membaca dan menulis sejak remaja itu tak pupus. Alhasil sejak tahun 2016 ia memutuskan bergabung dalam lembaran buku antologi, pentigraf atau Cerpen Tiga Paragraf dan cerita mini. Di samping Anna juga berusaha keras untuk menyelesaikan novelnya yang diberi judul, Jingga Cinta Maya.

Anna Joen dengan novelnya, Jingga Cinta Maya. Ist

Ketika disinggung mengapa memilih menulis novel? Jawaban perempuan yang tergabung di Perempuan Berkebaya Indonesia, cabang Bogor itu, “Saya rasakan bisa mengeksplorasi imajinasi, cerita pun bisa banyak setting. Tokoh dan alur ceritanya bisa maju mundur. Saya suka membaca novel. Misalnya karya Tere Liye, Boy Candra dan Andrea Hirata. Saya nggak peduli siapa sosok penulis tersebut, yang saya garisbawahi adalah karya mereka. Tulisan Tere Liye itu sarat inspirasi bagi saya. Satu hal ya, saya sangat bangga jika bertemu apalagi bisa bicara dengan para penulis hebat,” begitu ia berkisah.

Ia mengaku di masa Covid ini sangat cocok untuk menulis karena dengan diberlakukannya Work from Home (WFH) banyak waktu luang.  Tambah Anna Jo lagi, banyak insipirasi muncul di tengah pandemi. Kenyataan ini adalah kesempatan emas baginya.

Anna memang gemar menulis. Itu  adalah bakat yang diturunkan dari sang Ayah. Sementara sang ibu selalu membacakan dongeng untuk putra-putrinya. Wah, memang ya segala sesuatu itu berawal dari rumah. “Hingga sekarang saya tidak lupa lho ibu selalu membacakan dongeng Timun Emas dan Si Kancil ke saya. Mungkin berangkat dari situlah saya kok merasa akrab dengan dunia literasi,” kenangnya.

Anna sangat merasakan, menulis itu sama artinya dengan mengajar diri untuk menuangkan inspirasi dengan baik. Beragam imajinasi tumpah ruah dalam satu karya tulisan. Itu yang paling dirasakannya. Ia pun berpendapat menulis itu 90% adalah keterampilan dan sisanya adalah bakat. “Bener deh, WFH karena pandemi merupakan kesempatan emas untuk saya bisa menulis. Saya merasakan ada sisi-sisi positif, yaitu saya bisa menulis lebih konsen,” kembali ia menegaskan.

Inilah buah=buah pemikiran Anna Joen. Ist

Kisah Anna menulis dilakukan sejak remaja. Kembali menulis itu tahun 2016 dan lebih terkonsentrasi. Kini ia telah menghasilkan 5 buku, terdiri dari 4 antologi dan 1 novel. Seperti kebanyakan orangtua, ingin jejaknya diikuti oleh putra-putrinya, yaitu menulis dan lebih banyak membaca.  

Ternyata kenyataan bicara lain. Ada rasa masgul di benak Anna, karena apa yang ia alami semasa kecil dalam soal membaca, tak lagi sepenuhnya bisa diterapkan dalam kehidupan anak-anaknya. “Dulu, mereka suka membaca. Tetapi setelah bertumbuh dewasa kegemaran itu hilang,” ungkapnya.

Eranya memang sudah berbeda. Minat menulis semakin jarang karena beranggapan dari menulis belum bisa memenuhi kebutuhan hidup, tapi Anna tak sependapat dengan pandangan seperti itu. Ia yakin penulis itu bisa hidup dari hasil tulisannya. “Itu buktinya penulis Andre Hirata, Asma Nadia. Luar biasa bukunya laris,” Anna memberi contoh.

Anna lantas menjelaskan, sejak muncul Permen No.23 tahun 2015, tentang penanaman budi pekerti melalui gerakan literasi sekolah maka hal itu menumbuhkan gerakan membaca dan menulis serta berpikir krtitis melalui berbagai sumber. Sejak itu, menjamur seminar tentang gerakan literasi dan hadir bergulung-gulung komunitas penulis.

Mengapa ada GLS karena berdasarkan laporan PISA (Program for Int Student Assessment), Indonesia berada di urutan 62 dari 70 negara. Dengan kata lain, literasi Indonesia 10 terendah di dunia. Waduh, miris ya. Gerakan itupun, menurutnya, belum mampu mendongkrak  masyarakat Indonesia untuk cinta baca dan tulis. 

Sikap guru mata pelajaran IPS ini ke depan akan tetap terus menulis dan melahirkan lembaran demi lembaran buku. Semoga, karena segala sesuatu dimulai dari diri sendiri. Banyak langkah, dimulai dari satu langkah. Bukan begitu Anna Joen.
 
Rini Valentina, Go Internasional

“Kontribusi penulis untuk kehidupan tidak kalah dengan para penyumbang medali emas di ajang Olimpiade. Maka sudah seyogianya ada perhatian pemerintah yang lebih serius. Saya menemui kenyataan kok, pihak asing lebih menghargai karya sastra kita. Makanya, saya go international lebih dulu. Baru go nasional, tentu karena alasan tertentu,” ujar Rini Valentina. Tahun 2017 Rini mulai konsen menulis. Tak tanggung-tanggung dalam waktu bersamaan dengan tujuan agar penulis global punya wadah menulis maka dengan seorang rekan dari Cianjur ia mendirikan  Yayasan Asih Sasami Indonesia dan Rini sebagai ketua.

Rini Valentina dengan putranya, Valentinus Bimantara Gusti Wijaya. Ist

Impian itu tak hanya seloroh, karena rentang waktu singkat itu ia berhasil menulis 13 buku pribadi. 14 antologi international, 2 buku kompilasi dengan penulis Chili dan India. Juga, 1 buku terjemahan cerita karya penulis Serbia yang sudah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa, termasuk Indonesia. Duh, jadi buku yang berhasil diterbitkan melalui yayasan yang dimotorinya itu mencapai jumlah yang fantastis, 31 buku!

Di tahun 2022, berkat kerja hebat, kembali ia berhasil menerbitkan buku. Betapa tidak, dalam gawean ini Rini bertindak sebagai, penulis, editor, sekaligus penterjemah untuk puluhan buku antologi puisi penyair yang berasal dari beberapa negara. Kerja keras tentu dengan target jelas. So, tunggu dulu,  kerasnya ini tentu memicu berbagai pendapat, walau ditelan namun kemudian dicerna dengan positif. Termasuk ketika ada pertanyaan yang meluncur untuknya, ”Siapa kamu kok berani muncul sebagai antologi international. Toh, kamu bukan siapa-siapa. Jika seorang mengaku anthologist seharusnya ia seseorang yang sudah memiliki gelar sastrawan Indonesia.”

“Dendam” positif pun tertanam dalam dalam hidup perempuan kelahiran 14 Mei itu. Ehm,  karya-karya yang dilahirkan menjawab pertanyaan itu. Bahkan dengan kegigihan dan konsep kerja yang jelas itu, Rini mengaku mendapat kepercayaan dari beberapa pihak dari dalam dan luar negeri. Salah satunya dari majalah digital “Grihaswamini” di India yang menunjuknya sebagai duta besar sastera (istilah popular di kalangan sasterawan) atau istilah umumnya semacam koresponden sastera.

Hanya orang yang keras yang mampu berjalan sekalipun dalam kekerasan. Nah, salah satu pribadi itu ya, Rini. Ia berkisah, di tengah pandemi ini, justru daya tulis-menulisnya lebih cespleng. “Gerakan atau aktivitas di luar sana terbatas maka ya sudah, saya menulis , menulis dan menulis. Ternyata waktupun tetap tidak cukup untuk menulis,” sibaknya dengan derai tawa.

Sejak kecil ia bermipi memiliki sebuah wadah untuk menulis. Jelang remaja impian itu semakin kental. Taklah berlebihan jika Rini yang besar di kota Samarinda itu punya mimpi kan? Walau untuk mewujudkan itu nggak mudah. Bahkan sangat tak gampang, tapi itulah yang terjadi.

Karya Rini Valentina yang lain, juga berbahasa asing. Ist

Sebuah Yayasan Asih Sasami Indonesia didirikannya dan telah mendapat pengesahan pada 17 September 2021. Yayasan ini  khusus bergerak di bidang Seni Budaya dan Sastra. Dengan pengesahan yayasan oleh notaris maka bisa dibayangkan bahwa Rini mendapat cambuk tanggung jawab lebih besar dan harus lebih produktif melahirkan karya-karya sastra ditingkat yang lebih mumpuni.

Memang ia paham akan makna komunikasi dan bagaimana menggunakan komunikasi untuk dipahami banyak pihak. Seperti yang dikatakan T.S. Mattews bahwa komunikasi itu adalah sesuatu yang mudah. Susahnya adalah ketika tidak menyebutnya dengan perkataan yang tidak mudah.

Sebagai penggagas, sekaligus editor, Rini menyajikan larik-larik  pada bukunya yang tak hanya bisa dicerna, namun juga merenda ikatan sesama penulis lintas negara. Ini yang afdol. Mengingat masih-masing negara punya kekuatan etnis dan karakter lokal dalam habit menulis. Di sini terlihat ia melakukan sebuah komunikasi, tidak sekadar menyampaikan pesan kepada pihak lain, tapi sekaligus berinteraksi antara satu orang dan orang lainnya, satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ujungnya, melahirkan sebuah gerakan aktivitas positif.

Dari apa yang sudah dikerjakan penulis yang memiliki nama Rini Asih Sasami Valentina ini dapat ditangkap langkah selanjutnya. Menulis dengan skala yang lebih lebar, dalam artian ia masuk dalam jajaran penulis mancanegara. Nyatanya dari beberapa negara sudah mengajukan permintaan atas puisi yang ia tulis dan kumpulan buku yang sudah diterbitkan.  

Tak sepenuhnya salah jika mau dikatakan Rini terjun bebas dalam usaha penyebaran buku ini. Pasalnya, buku-buku yang sudah diterbitkan diberikan dengan gratis. Pertanyaannya, bagaimana dengan dana cetak dan biaya operasional? Apalagi di lawatan Covid membuat ekonomi bagai sabut yang terapung di tengah samudera.

“Nah, inilah keajaiban itu. Terkadang saya merogoh bajetcetakdaridapur, juga memasukan proposal ke berbagai instansi dan beberapa pihak, toh lama jawabannya. Tetapi,  jawabku Tuhan yang menjadi  lumbung itu. Ada saja rezeki yang datang. Yang pasti saya tidak putus semangat. Penghargaan dari penulis puisi dan penyuka sastra luar negeri itu benar- benar menyemangati dan memotivasi saya,” tegas ibu dari Valentinus Bimantara Gusti Wijaya.
 
Kritik dan komentar yang pernah dilontarkan atas keputusannya menjadi anthologist dan editor di lahan sastra dijadikan Rini menjadi mesin pemicu untuk berlari lebih cepat dalam berkarya. Ia mengenal dirinya dengan baik, maka akan lebih mudah melakukan sebuah perubahan sikap. Benar sih, orang paling tidak bahagia salah satunya adalah mereka yang takut dengan perubahan. Perubahan itu terjadi membutuhkan kemampuan diri untuk membagi hasil dan manfaatnya bagi diri sendiri dan orang lain. Tetap sukses, Rini. Bravo!

Audi Jo, “Masukan kurikulum 1980”

Audrey Gelma Helena Joris adalah juga perempuan penulis. Ia memilih singkat untuk nama penanya, Audi Jo. Pokoknya sama indahnya kan?   Perempuan berdarah Ambon kelahiran 26 Mei ini semula bergabung di bawah sebuah atap penulisan, tapi karena ulet dan punya dedikasi terhadap dunia tulis dan baca akhirnya mampu membuat “payung” sendiri dengan komunitas  penulis yang beragam.  

Dia memberi contoh ada dari Indscript Creative, ada lagi dari Womens Christian di berbagai tingkat usia di kota kembang, Bandung.  Sungguhpun begitu, bukan berarti  semua oke-oke saja di saat ia mulai merintis. Mengingat, dunia baca di negeri ini dan di tempat di mana ia berada masih seperti dulu yaitu suam-suam kuku.

Audi Jo mengharapkan instansi pendidikan mau menyisipkan kembali kurikulum 1980-an, di mana ada pengajaran sastra dan budi pekerti. Ist

Kenyataan itu mendorongnya berkomentar, para pemuda sekarang animo menulisnya kurang. Mereka lebih suka memilih bermain game. Sementara untuk usia antara 20 -35 diajak menulis komentarnya, ”Saya nggak bisa menulis dan nggak tahu mau menulis apa,” dan saat di usia 40-an, alasannya, “Saya sudah tua, mau nulis apa?”

Mendengar penjelasan Audi, helaan napas menjadi lebih panjang. Jadi nggak salah ya jika daya baca di negeri ini berada di urutan 10 terendah di dunia. Horor banget. Maka diharapkan wadah pendidikan kembali memasukkan kurikulum 1980-an di mana ada materi sastra dan budi pekerti.  Tetapi mungkinkah itu? Tentu ini tugas banyak pihak, mulai pemerintah dan instansi terkait, dan komunitas buku dan baca yang terus bergerak tanpa lelah.

Audi yang ternyata dulunya berprestasi di dunia olahraga cabang bela diri kempo punya kiat khusus untuk menarik minat baca dan tulis di komunitas yang ikut di kelas E-booknya. “Jika karya tulis mereka dibukukan, tentu akan punya kebanggaan tersendiri ketika melihat karyanya. Hanya saja ini tidak mudah karena menyangkut bajet. Buktinya, daya beli buku itu berkurang, apalagi di tengah Covid ini. Tapi jika itu gratis di online,  kuantitas pembaca meningkat terus,” begitu  penjelasannya.

Tentu Audi harus menyelaraskan antara pikiran dan sikap hati agar komunitasnya tak pupus semangat untuk menulis. ”Sebelumnya saya berada di payung Indscript Creative maka pihak merekalah yang mencetak buku-buku ini. Buku saya pribadi barulah 3 yaitu Buku Elektronik atau E-Book Shop judulnya, Benito, Rindu Semilir di Pastel Town, dan Positano.”

Hingga kini, menurutnya, komunitasnya sudah menghasilkan 40 E-book, dan sebelumnya telah telah terbit 19 antologi. Keluhan Audi soal mencetak buku, kembar siam dengan para pencinta buku lainnya yaitu selama kehadiran Covid-19 semakin sulit untuk mendatangkan para donatur. Sebaliknya, karena daya beli berkurang maka penerbitanpun menjadi lambat. “Dari dulu saya menulis buku elektronik. Toh itu tetap kena imbasnya. Nah, seperti yang saya katakan jika buku elektronik itu gratis maka pembacanya cukup signifikan,” sibak Audi yang berlatar belakang pendidikan sekretaris dan manajemen itu.

Buku pribadi Audi Joe judulnya, Benito; Rindu Semilir di Pastel Town; dan Positano. Ist

Menulis itu tentu membutuhkan cinta. Plus, perlu volume kasih dan ketenangan yang selaras. Bagaimana pun untuk bertahan dalam sebuah kesuksesan tentu ada kiatnya. Yaitu, harmonisasi  antara rancangan kerja dan tindakan. Kerja keras untuk menghasilkan sebuah karya butuh hembusan nafas semangat dan alam pikir positif.

Apalagi dunia tulis bukanlah dunia pilihan utama yang ditekuni generasi penerus. Tidaklah pesimis namun kenyataan bicara demikian. Keseimbangan antara enerji dan fokus, disertai kalimat penuh makna dalam dunia komunikasi literasi wajib hukumnya. Apalagi jika tidak agar pesan yang diemban sampai ke tujuan.

Sebagaimana pendapat dari novelis John Grisham yang sangat terkenal di eranya, “Penulis itu menjadi penting karena mampu menciptakan rangkaian kalimat penuh makna.” Sungguh, kreaktivitas membuat seseorang mampu menciptakan sebuah karya. Setidaknya itulah yang dialami oleh 3 perempuan penulis ini. Bukankah karya itu adalah keberhasilan dan kebahagiaan yang sesungguhnya?

About Gatot Irawan

Check Also

Pendaftaran Kumpul Bikers Honda Terbesar di Indonesia Telah Dibuka!

Jakarta, NextID – PT Astra Honda Motor (AHM) bersama jaringan sepeda motor Honda mengajak bikers …

Leave a Reply