Friday , 22 November 2024
Home / LifeStyle / Fashion / Beauty / Ada Apa dengan Motif Tenun Indonesia?
Aneka kain tenun tradisional Indonesia. {Foto Mario Ikada)

Ada Apa dengan Motif Tenun Indonesia?

Jakarta, NextID – Indonesia memiliki 17.491 pulau. Bisa dibayangkan kekayaan yang dimiliki negeri ini, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Mulai dari adat istiadat, seni budaya, tradisi, alam dan lingkungan, hingga bahasa dan suku bangsanya. Ehm, tak heran jika dunia melihat negeri ini sebagai sorga dunia, atau mutu manikam yang gemerlapan.

Kekayaan itu salah satunya berkaitan dengan gugusan tenun motif tiap daerah. Setiap dusun, kampung, desa hingga kota dan provinsi memiliki motif, warna atau nuansa tersendiri. Uniknya lagi, setiap motif dan warna punya filosofi dan peruntukan, atau fungsi masing-masing. Salah ditempatkan atau salah penggunaan maka akan mengundang berbagai pertanyaan.

Ini punya cerita tersendiri lagi. Pertanyaannya, apakah nilai nilai luhur ini masih berlaku, dan tetapkah dipertahankan? Atau, sudah tergilas zaman? Bagaimana sikap para generasi penerus terhadap salah satu kekayaan negeri yang berupa motif tenun etnik Nusantara ini? Apa saja usaha yang sudah dilakukan pihak terkait, instansi, juga rumah-rumah tenun terhadap pelestarian sekaligus pengembangan motif tenun etnik Indonesia?

Tentu bersusun tanya yang menyangkut soal ini muncul di permukaan. Yang pasti, sikap dan tindakan dalam pelestarian bagian dari kekayaan negeri ini menjadi tanggungjawab banyak pihak. “Ya, benar. Keberadaan kekayaan yang berupa tenun motif etnik ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Gimana enggak sih, mau kain, mau kebaya yang kita miliki ini nggak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa ini,” beber Rahmi Hidayati –  Ketua Umum sekaligus pendiri Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI), Senin (7/3).

Salah satu tenun etnik dari NTT. (Foto Mario Ikada)

Menurutnya, berpakaian santun dan tertutup itu punya pakemnya, dan itu berkaitan dengan masuknya Islam ke Indonesia. “Intinya berbusana itu harus santun. Untuk kain memang ada motif-motif yang tidak utuh di ketengahkan. Ini juga karena ajaran tertentu, tapi tetap cantik. Binatang misalnya, gak utuh sih dilukiskan di kain, namun ada bagian-bagian anggota tubuh yang bisa diperlihatkan,” ujar Mimi, penggilannya.

Saya membaca desertasi seorang perempuan di ITB soal sejarah kebaya, sangat menarik. Nah, kebaya kan nggak dapat dilepaskan dari helai kain. Wah ini bisa panjang lebar jika mau diungkap tuntas. Butuh penelitian lanjut,” tandas anggota Mapala UI, yang kesehariannya berkebaya dan berkain itu.

Kehebatan motif dan filosofi kain Indonesia ini akhirnya menggugah alam pikir dan rasa pengamat tekstil dunia, Yoseph Fisher. Ia mengatakan, negeri penghasil motif tenun terkaya di dunia adalah Indonesia. Betapa tidak, setiap titik, garis, persegi, pola desain seni motif punya makna yang dalam. Itu berarti keindahan motif etnik Indonesia memiliki nilai yang sangatlah tinggi. Itu sebabnya ketika lembaran kain itu dikenakan maka terpancar sebuah wibawa dan karakter tersendiri.

Sesederhana apapun desain sebuah gaun, maka terpancar nilai tersendiri. Karakternya muncul ketika apa yang dikenakan seseorang memiliki filosofi dan sejarah yang mengikuti kehidupan di mana ia berada. Bahasa tubuh tak dapat membohongi, mana yang memiliki nilai hebat atau sebaliknya. Mungkin itu pula yang mendorong dr. William Harvey mengatakan, “Saya mengaku belajar dan mengajar anatomi bukan dari buku, bukan juga dari ajaran filsuf tapi dari sehelai kain.”

Tahun 2000 SM

Jika orang bisa mempelajari anatomi tubuh dari sehelai kain, tentu betapa hebatnya makna lembaran demi lembaran kain bagi kehidupan manusia. Sesungguhnya, sekitar 2000 sebelum masehi (SM) pakaian mulai dibuat dengan cara ditenun. Manusia belajar menggunakan kumparan untuk memintal benang dari serat tanaman.

Ulos Ragi Hidup dan Ulo Kasih Sayang, usianya sekitar ratusan tahun. (Foto Mario Ikada)

Perjalanan yang sangat panjang dalam peradaban manusia, hingga muncul pengertian dan peruntukan kain-kain ditenun dan benang dipintal. Muncullah motif demi motif yang dilatarbelakangi alam sekitar mereka ketika itu. Budaya dan tradisi dalam hasil karya penenunpun kental terasa untuk karya yang dihasilkan. Semakin sarat “pesan” tradisi dan adat istiadat yang diterapkan untuk sehelai kain maka semakin pelik proses yang dilakukan.

Contoh, tenun ikat Flores. Proses tenun harus melewati 20 tahapan, dan so pasti itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Belum lagi filosofi yang tertera di helaian kain tersebut. Motif tenun etnik Maumere, Manggarai, Ende, Sukka, atau Sabu menyiratkan hubungan antara sesama masyarakat atau pemerintah setempat. Itu dapat dilihat – misalkan – dari motif belah ketupatnya. Arif kan?

Mengamati sekaligus berupaya untuk lebih jauh memperkenalkan motif  kain-kain NTT ini, Florencia Krisantya membuka ruang edukasi seputar pengetahuan tentang motif-motif etnik di sana. “Jadi para pencinta kain tidak hanya membeli, lalu mengenakan saja. Tapi setidaknya mau memahami makna dari filosofi melalui motif di kain itu. Nah, dengan begitu sama artinya kita mempelajari kearifan lokal yang menjadi bagian kekuatan untuk hidup berdampingan, menjaga, memperkenalkan, sekaligus melestarikan apa yang kita miliki,” ujarnya.

“Jangan setelah motif kain kita dicolong desainnya, baru berteriak heboh dan heboh lagi. Usaha untuk terus memperkenalkan motif-motif NTT ini, saya selalu mengenakan kain NTT dalam berbuasana di banyak kesempatan. Ayo, jika bukan kita, mau siapa lagi yang care. Saya miris jika melihat orang asing lebih bangga mengenakan motif etnik kita ketimbang bangsa ini sendiri,” begitu pendapat piskolog itu lagi.

Jiwa di Kekayaan Negeri

Bagi pencinta kain, atau setidaknya figur yang suka blusukan tentu banyak yang bisa dilihat, dirasakan dan dimengerti. Selanjutnya dipelajari untuk kemudian ditelaah lebih jauh. Bicara soal itu  maka dibutuhkan pemahaman yang dimulai dengan rasa suka. Dari rasa suka muncul kreativitas, dan kreativitas akhirnya mampu mengubah gaya dan tujuan hidup.

Inilah ‘gaya hidup’ yang menghargai kekayaan yang dimiliki para pendahulu. Bukankah nilai manusia adalah semahal tujuan hidupnya? Dunia kreatif seakan tak terbatas dan menyentuh setiap kehidupan pribadi. Kreativitas itu memudahkan kita mengungkapkan rasa cinta, salah satunya lewat mencintai warisan leluhur yang berupa kain-kain ini.

Didorong oleh rasa cintanya itu anggota dari Perempuan Berkebaya Indonesia yang juga bekerja di sebuah instansi pemerintah, Nadia Saladin justru menyimpan kain tenun motif etnik dari suku-suku pedalaman. Motif etnik suku Sasak di NTB, misalnya. “Mungkin perjalanan hidup saya pindah dari satu kota ke daerah yang lain mengikuti tugas orangtua dan itu dalam kurun waktu yang lama. Nah, di situ saya menemukan keragaman dari berbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari adat-istiadat, seni tradisi bahkan ritual keagamaan. Setiap dusun, atau daerah yang saya kunjungi punya motif tersendiri yang khas. Saya excited banget. Dari helai kain itu saya kok nemuin jiwa dari  bangsa negeri ini,” urainya.

Salah satu koleksi Nadia Saladin, songket NTB motif Subahnale. Ist

Alhasil, kini ia memiliki motif motif unik berbagai songket NTB, antara lain yang menarik Serat Penginang dan motif Subahnale. Perempuan jebolan University of Denver Colorado Amerika Serikat itu berharap agar lebihbanyak lagi orang yang memunculkan kekayaan kain etnik ini kepermukaan. Tentu dengan cara yang arif dan bijak.

“Saya berpikir simple sajalah. Kumulai dengan diri sendiri dulu, di samping selalu berharap banyak tulisan yang mengupas soal ini ke depan, walau para desainer kita cukup membanggakan tampil dengan karya mereka. Itu juga salah satu usaha hebat kok yang bikin kita bangga,” tandas Nadia.

Jiwa para penenun tentu nggak bisa dipisahkan dari karya tenunannya. Apalagi jika itu dilakukan bukan atas permintaan pasar. Sang penenun itu menenunnya karena dorongan hatinya maka kain yang dihasilkan memiliki nilai seni yang tinggi. Plus, ada filosofi dan bahasa jiwa yang tak dapat disanggah.

Cerita indah di helai kain inilah bagai pisau bermata dua. Salah satunya jadi buruan pedagang asing.  Mereka kemudian membawanya terbang ke negara masing-masing. Sementara yang di dalam negeri masih terlena dengan kecantikan kainnya. Makanya sering didapati berita ratusan mungkin ribuan kain kuno negeri ini yang telah hengkang ke benua lain.

Ulos, Tapis dan Grising Bali

Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa helai demi helai motif etnik mengandung makna yang sangat spesifik.  Kain tenun Batak yakni ulos Kasih Sayang, atau ulos Ragi Hotang biasanya diberikan untuk tanda kasih sayang kepada orang-orang terkasih. Dan, ulos Ragi Hidup yang dikenakan hanya pada acara adat penuh dan menutup jenazah di kala wafat. Pada acara adat, jenis ini mutlak harus hadir. Baik bagi orang yang menyelenggarakan pesta adat maupun para undangan. Pemberian tanda mata atau simbol adat maka uloslah yang digunakan.

Sama hal nya dengan kain Tapis di Lampung. Terbuat dari susunan benang kapas yang diberi sulaman benang emas. Dulu, digunakan untuk ritual tertentu, kini terlihat sudah digunakan pada banyak kesempatan. Terdapat motif kapal yang sebagai ungkapan perjalanan kehidupan manusia, juga penunjuk status sosial, apakah sebagai tokoh masyarakat atau tokoh adat.

Berbagai batik klasik dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. (Foto Mario Ikada)

Grising Bali. Satu satunya kain tradisional yang dibuat dengan tehnik ikat ganda. Motifnya dikatakan punya kekuatan magis, yaitu melindungi manusia dari berbagai penyakit. Hampir semua tenun etnik negeri memiliki kisah atau hikayat. Itu juga yang menarik perhatian Sitawati Ken Utami – Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia cabang Bogor. Mengapa ia menyimpan lembaran kain batik kuno peninggalan dari orangtuanya? “Flora fauna menjadi satu kekuatan motif batik-batik klasik. Ketika saya menikah motif itu juga yang menjadi pilihan,” tuturnya.

Setiap insan memiliki cara untuk menikmati sekaligus melestarikan kearifan lokal yang berupa helaian kain tenun ini, namun kebanggaan atas warisanlah yang mampu menimbulkan enerji untuk melestarikan sekaligus mengembangkannya. Keseimbangan enerji dan fokus juga akan memberikan lompatan besar yang tak terduga dalam mengupayakan pelestarian kekayaan leluhur. Lebih khusus lagi yang berbentuk seni tenun bermotif etnik Indonesia. (Martha Sinaga)

About Gatot Irawan

Check Also

Yang Bermagnet di Honda Culture Indonesia Makassar

Makassar, NextID – Langsung saja ke sasaran, di Special Display Area di ajang Honda Culture Indonesia di …

Leave a Reply