Sunday , 8 September 2024
Home / LifeStyle / Leisure / Art / “Orangtua adalah Guru Terbaik!”
I Putu Bagus Sastra Vedanta W menerima penghargaan dari Jean Couteau, pengamat seni asal Prancis yang sudah lama mukim di Bali. Ist

“Orangtua adalah Guru Terbaik!”

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Di tengah pandemi Covid-19 berwarna kejadian mengusik alam pikir manusia, dan kenyataan itu hinggap di benak semua orang. Hanya saja kisahnya tak menimbulkan rasa cemas, takut, kuatir dan sejenisnya. Seperti yang dirasakan banyak insan di tengah sengatan Covid-19.

Waktu berjalan kuamati seorang bocah yang selalu asyik dengan corat-coret sapuan lukisan. Suatu pagi kuamati ia melukis barong, pagi yang lain bermain dengan warna-warna buah-buahan. Perjalanan hari, disimak ia duduk menekuk lutut mengamati dua lukisan yang tak lain adalah lukisan sang ayah.

Okelah, si kecil berusia 10 tahun ini bernama lengkap I Putu Bagus Sastra Vedanta W, putra sulung pasangan I Made Bakti Wiyasa dan Ni Made Hartini. Jika dilihat dari mana asal mereka rasanya tak terlalu istimewa jika Sastra tertarik berkesenian. Karena seloroh banyak orang mengatakan DNA manusia Bali sudah mengandung unsur seni yang tebal.

Sastra (depan tengah) dan teman-teman memamerkan hasil lukisan, disaksikan oleh Ni Made Hartini (kedua kiri). Ist

Asah Kepekaan
So wait, pepatah  kuno mengatakan,”Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Apalagi maknanya jika belajar itu tak kenal batas. Pendidikan itu adalah proses yang tak kenal batas. Dan sebuah proseslah yang pada akhirnya menentukan hasil akhir. Nah, proses pembelajaran Sastra dimulai sejak usia 1 tahun, begitu cerita sang ibu yang akrab di panggil Hartini. Sastra yang kini duduk di kelas 4 SD itu sudah diasah kepekaannya melalui musik.

“Dan dia suka. Itu bisa dirasakan dari bahasa tubuhnya. Umur 2 tahun dia sudah suka coret-coret kertas. Dia suka lihat CD Ogoh-ogoh, musik tradisional. Pelan-Pelan Bapaknya mengarahkan sesuai dengan usianya. Menyediakan pinsil warna untuk Sastra menggambar, dan sikap itu ternyata merangsang pertumbuhan Sastra untuk terus menggambar,” kenang Hartini.

Sastra bersama bapaknya – I Made Bakti Wiyasa tengah mendiskusikan sesuatu yang berkaitan dengan seni. Ist

Pernyataan sang ibu tak meleset dengan penuturan Sastra sendiri, hingga duduk di kelas 4 SD ini ia telah berhasil menyabet prestasi lewat kanvasnya.  Itu tak lain karena sering melihat Bapaknya menggarap lukisan. Sastrapun tak menyanggah, ia selalu diikutsertakan dalam sederet kegiatan yang berhubungan dengan seni lukis. “Bapak selalu mengajak saya ke museum lukis dan lomba melukis. Juga jika Bapak melukis di alam, banyak mengajarkan saya kok,” tandasnya.

Dasar Melukis

Wah ini namanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pasalnya, Made Bakti memang jebolan Seni Lukis, ISI Yogyakarta. Maka sah-sah saja jika ia menerapkan teknik dasar melukis yang benar terhadap putranya. Walau baik Bakti maupun Hartini mengaku tidak memaksakan kehendak kepada anaknya dalam menyukai disiplin ilmu yang diminati. “Saya hanya memberikan porsi-porsi dasar melukis yang harus diketahui oleh Sastra. Saya mencoba mengikuti interesnya dia,” tegas Bakti.

Menarik, karena daya kreatif yang menonjol sudah tentu dibutuhkan dalam karya seni, walau Bakti cukup menyadari untuk anak menjadi orang berguna kelak bukan semata karena ia menjadi seniman. “Yang pasti sebagai orangtua saya berharap Sastra nanti mampu membangun daya kreatif dan merawat tunas peradaban. Otak kanan-kirinya balance,” harapan Bakti.

Setuju. Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali. Makanya orang bijak mengatakan, pendidikan itu merupakan jiwa sebuah bangsa, karena melewati setiap generasi. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup tapi pendidikan adalah hidup itu sendiri.

Bahagianya Sastra dan anak-anak ketika bisa melukis secara bebas dan dilakukan bersama teman-temannya. Ist

Rasanya kenyataan itu seyogianya memicu sikap para orangtua menjadi guru terhebat bagi putra-putrinya. Itu dibenarkan oleh Hartini dalam mendidik anak-anaknya yang berbakat ini. “Saya sebagai ibu kok merasakan ada hal positif atau berkah di tengah tekanan Covid ini. Sastra lebih banyak dibimbing oleh Bapaknya untuk melukis, dan kebetulan pamannya itu fotografer. Sastra punya banyak waktu untuk bertanya dan belajar bersinergi dengan pamannya, dan itu membuatnya happy, walau karena Covid ia jadi tidak bisa sering bertemu teman sebayanya, namun kami mencoba mengarahkan Sastra kepada hal-hal yang dia suka,” sibak Hartini.

Bakti menegaskan, dalam hal pendidikan anaknya, pihaknya mencari sekolah yang punya kegiatan plus. Semisal, sekolah tersebut sering menggelar lomba, termasuk lomba melukis. “Dengan adanya kegiatan ini hobinya semakin terasah dan fokus, walau mungkin ia masih melakukan drawing yang sederhana. Melukis animal, vegetable, binatang liar, namun saya sudah bisa melihat keseriusan anak seusia itu,” tuturnya.

Kini Sastra punya wawasan yang cukup luas, mungkin itu sebabnya dengan mudah ia bisa bercerita, menganalisa karya seni yang ia lakukan sudah baik. Ia belajar bikin video sendiri. Kadang-kadang ngajari adiknya melukis. Bahkan beberapa kali ia mengajar anak-anak SD dan SMP.

Di usia 2,5 tahun ia sudah melukis burung hantu. Bakti dan Hartini pun kaget melihat hasil lukisannya. Tak meleset apa yang dikatakan sang ayah, karena Sastrapun mengaku, ia suka melukis buah-buahan, binatang, relief dan wajah sang ibu. Itu ia lakukan di usianya sekarang ini.

Punya Studio

Pada usia 3,5 tahun Sastra sudah memiliki karya cukup banyak dan mengikuti pameran sebagai peserta termuda di ajang pameran Seni Rupa Bali Festival tahun 2014. Keseriusan sang putra mendorong Made Bakti membangun studio untuknya.

Salah satu lukisan Sastra dikagumi. Ist

“Itu dia yang minta. Dan dia juga sudah menggunakan professional art material. Jika dia memang ingin mendalami seni rupa modern silahkan saja. Sastra saat ini memang tidak meninggalkan akarnya, seni naturalnya. Dari menggunakan pinsil HB, 9B sampai yang terlunak. Kini ia sudah melakukan dengan baik, ” celoteh Bakti yang bermukim di Tabanan.

Menurut Bakti, berbagai pameran telah diikuti Sastra. Di antaranya, mengikuti kompetisi internasional kategori anak-anak di Bali, baik lokal maupun non lokal. Dan dia lolos Titian Art Prize di usianya ke 7 tahun 2017. Pada 2019 Satra lolos pameran di Galeri Nasional Jakarta – menyambut Hari Anak Nasional dengan kurator, Asikin Hasan. Sebelumnya, cerita Bakti, pada tahun 2013 Sastra mengikuti pameran lintas budaya juang di Taman Budaya Bali di usia 3 tahun lewat karyanya lukisan Ogoh-ogoh. Disusul tahun 2015 ikut pameran lukisan Anak Indonesia-Cina di Bali.

Lepas dari usaha yang dilakukan pasangan ini, kenyataan di luar bicara lain. Saat ini dunia pendidikan banyak yang menyediakan sarana bagi anak, namun tidak mengajarkan bagaimana menggunakannya dengan benar, padahal pendidikan itu adalah sebuah proses panjang. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup tapi pendidikan adalah hidup itu sendiri. Anak berhak untuk mendapatkan pelajaran apa adanya secara natural, dalam arti hak masa bermain anak tidak hilang karena ia harus mengikuti setumpuk peraturan di tengah dunia pendidikan.

Sesuatu yang diajarkan secara natural maka jika anak bertumbuh dewasa, ia akan tahu bersyukur atas apa yang dimiliki. Ayah, ibu dan keluarga adalah guru terbaik bagi anak. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer katakan, “Jangan tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya yang sama sekali tidak mengenal prinsip, apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.”

About Gatot Irawan

Check Also

Anak Indonesia Menjadi Pemenang Utama pada Ajang TDCAC ke-17 di Jepang

Jakarta, NextID – Kabar gembira dari ajang Toyota Dream Car Art Contest (TDCAC) ke-17 tingkat global yang …

Leave a Reply