Friday , 14 November 2025
Home / LifeStyle / Leisure / Art / Antara Budaya dan Ekonomi Ada Jiwa dan Darah
Ulos mangiring koleksi Gerai Kalpataru ini usianya kurang lebih 100 tahun, namun tetap menarik ketika dikenakan sebagai selendang. (GI)

Antara Budaya dan Ekonomi Ada Jiwa dan Darah

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Jiwa dan cinta kasih melalui ulos mangiring. Ini berkisah tentang sejak di dalam kandungan seorang ibu manusia Batak telah diberi tenun ulos. Ulos yang berarti kain itu  diberikan oleh nenek kepada cucu pertama yang masih dikandungan. Juga ketika sang cucu telah lahir, dan jenis ulos yang diberikan adalah ulos mangiring.

Adapun tujuan ulos ini diberikan agar kelak ketika sang cucu lahir selamat, dan  bertumbuh menjadi manusia yang berhasil dalam hidupnya. Ada tertulis, bahwa jiwa kita sudah ditenun sejak dalam kandungan ibu. Itu juga yang tersirat pada adat budaya Batak, antara lain dari tenun ulosnya.

Motif ulos mangiring  mengandung makna kesuburan, keharmonisan dan persatuan. Motif berbentuk garis-garis yang saling beriringan menunjukkan bahwa sebuah kerjasama,  keharmonisan dan persatuan itu sangatlah penting dalam kehidupan berkeluarga. Tentunya juga dalam bermasyarakat.

Ulos mangiring juga melambangkan cinta kasih, di samping mengandung nilai sosial dan budaya. Masyarakat Batak pada umumnya menggarisbawahi bahwa cinta kasih adalah dasar adat batak yang dalam bahasa batak, “Holong do mangalap holong, jala holong do ondolan ni adat Batak na uli i.”

Pemberian ulos mangiring dari opung boru (nenek) kepada para cucu sebagai rasa kasih sayang dan berharap ke depan, cucu menjadi sosok yang sukses dan panjang usia. Ist

Mengacu pada kekuatan makna ulos maka sejak di kandungan hingga kembali kepada-Nya,  manusia Batak tak pernah lepas dengan tenun ulos. Beberapa tahun silam ulos seakan memiliki pakem yang demikian keras sehingga tidak bisa dikenakan atau digunakan pada banyak kesempatan. Paradigma itu bergeser karena tenun yang satu ini tak hanya mengisi ruang hidup manusia Batak menurut adat dan budaya, namun juga diperjalanan hari telah menjadi bagian hidup sosial masyarakat luas, bahkan “milik” umat diberbagai belahan dunia.  

Berbagai terobosan dilakukan agar ulos tetap lestari namun juga mengalami inovasi. Baik dari cara  menenun, pewarnaan, menerapan motif hingga ukuran. Tenun yang satu ini tak lagi hanya ditemui berupa selendang atau perangkat pengantin, namun juga kelengkapan interior seperti bantal kursi, taplak meja hingga gorden, telah banyak ditawarkan. Memang soal ini masih ada perdebatan. Diluar selendang atau kain, itu tak lagi bisa dikatakan ulos. Karena tenun ulos itu ada pakemnya. Mulai dari ukuran, motif hingga rumbai-rumbai di ujung kain. Fil

osofi rumbai itu jika rumbainya tebal dan banyak maka segitulah rezeki yang diperoleh para penenun atau yang memakai. Penenunan ulos di jaman dulu itu sangat unik, begitu menurut pendapat Torang Sitorus – budayawan yang juga kolektor ulos. “Dulu ulos ditenun di halaman beratapkan langit. Lagi menenun tibs-tiba hujan dan petir datang. Mereka gulung semua tenunannya dan istirahat,” ujarnya.

Motif garis yang menyambung dari ulos mangiring mengartikan kasih sayang itu tak akan pernah putus. (Foto Martha Sinaga)

“Tapi ketika melanjutkan kembali tenunan tersebut, motif tetap saling mengkait, tetap terkesan harmoni dan motif yang mengandung tali kasih tetap tertera. Benar-benar penenun melakukan pekerjaan dengan hatinya. Jika mau ditelusuri lagi, proses penenunan ulos Batak sangat unik dan menarik,” tegas Torang yang Desember mendatang buku barunya akan siap edar.

Tak Menghilangkan Nilai Kesakralan

Majunya pendidikan dan pengetahuan tentang mode dan desain interior tentu berpengaruh terhadap tenun yang satu ini.  Kenyataan ini ditangkap oleh kreator di bidang tersebut, maka lima tahun terakhir sentuhan ulos hadir dan ditarik ke permukaan, mengisi gaya hidup masyarakat.

Itu bisa dilihat di sektor ekonomi. Sentuhan gaya ulos ada di berbagai rumah mode, galeri hingga pertokoan bertaraf international. Bukti bahwa ekonomi kreatif pun telah menggunakan ulos sebagai aksen kuat pada setiap karya yang dimunculkan.

Ulospun menjadi lambang persahabatan dan kehangatan dalam kehidupan sosial. (Foto Mario Ikada)

Tentu saja dalam  sebuah proses karya seni akan menimbulkan pro dan kontra, mengingat tenun ulos memiliki pakem. Katakanlah, motif dan warna ulos menentukan peruntukkannya. Jika dahulu warna tenun batak tersebut terdiri dari tiga warna, hitam, merah dan putih maka kini garapan ulos muncul dalam kemasan seturut dengan kebutuhan pasar.

Itu sebabnya berbagai gradasi warna bisa ditemukan saat ini. Termasuk ulos mangiring. Kini bisa dijumpai dengan bauran putih, hitam dan oranye. Hanya saja motif yang berkembang tidak dikenakan pada acara khusus atau acara adat istiadat. Memang akhirnya
motif ulos mangiring pun dewasa ini bisa ditemukan lewat warna yang elegan dan bisa dikenakan dalam banyak kesempatan. Namun tenun ulos mangiring yang asli dan utuh tetap dipertahankan kesakralannya, dan mengisi kehidupan budaya dan adat masyarakat Batak.

Terobosan pangsa pasar ekonomi kreatif saat ini,  menggiring motif-motif ulos ditenun dengan benang emas menjadi helai songket atau benang katun sehingga helai tenun bisa lebih ringan dan nyaman ketika dikenakan. Sah-sah saja sentuhan aksen motif ulos hadir dengan desain jas, gaun malam, atau stola mengikuti perkembangan rotasi dunia mode yang fashionable.

Hilang sudah pandangan bahwa tenun ulos adalah tenun yang kaku. Apresiasi insan mode dan penenun dalam melahirkan karya wastra untuk memperkaya dunia fashion dalam dan luar negeri tetap tak menghilangkan nilai cinta kasih yang tertera di motif-motif ulos. Ya,
ulos dahulu, kini dan nanti tetap hadir di tengah kekuatan Dalian na Tolu. Horas.

Kekuatan Ulos di Mata Mereka

Mendengar dan meresapi komentar berbagai pihak tentang ulos, memantik rasa memiliki yang semakin tebal. Alasannya? Simak saja apa kata mereka tentang tenun yang satu ini.

Ni Ketut Ayu Sri Wardani Ist

Ulos itu spesifik. Budaya suku Batak yang sangat kental. Ulos digunakan di setiap upacara adat. Mulai dari bayi hingga manusia Batak tutup usia. Itu luar biasa. Bahkan, saya amati di upacara kecilpun ulos tetap berperan. Dan memberi ulos itu juga harus tepat waktu, dan tepat peruntukannya. Juga tepat pula siapa yang memberi kepada siapa. Itu yang membuat saya tertarik dengan ulos Batak.

Saya tidak tahu persis apakah di negeri kita ini ada daerah yang sedetail itu memposisikan kain tenunnya. Jika di Bali, bebas saja mengenakan kain. Mau dikenakan ke mana atau kapanpun, walau memang acara adat itu selalu ada, namun untuk mengenakan atau memfungsikan kain tidak sedetail suku batak. Itu yang saya kagumi dari tenun ulos batak. (Ni Ketut Ayu Sri Wardani – inisiator dan pendiri Toba – Bali Art Project dan Pendiri Komunitas Seniman Pertiwi Negeriku)

Garis-garis kuat pada setiap tenun ulos itu yang membuat saya tertarik lebih jauh untuk mencari tentang sejarah pembuatan ulos. Jaman dulu ulos itu dikenakan untuk menghangatkan tubuh, menguatkan tali persaudaraan dan menghormati sesama. Tiga tungku itu yang mendorong saya untuk membolak-balik sejarah tentang ulos. Plus, pewarnaan yang dulu katanya dari darah dan debu, dan mengeringankannya hanya dari sinar mentari. Luar biasa ya.

Edwin Yehezkiel (Foto Martha Sinaga)

Tiga warna putih-hitam-merah mempunya makna kuat untuk ulos hadir sebagai kekayaan leluhur negeri ini. Kini ulos digarap lewat warna indigo dari orang-orang yang menghargai lingkungan. Mereka membuka kebun tanaman indigo khusus untuk ulos, itu tambah menarik lagi. Lalu saya mulai kumpulkan ulos-ulos klasik ulos memang menarik! (Edwin Yehezkiel – pelaku ekonomi kreatif dan seni)

Pada dasarnya tenun dari setiap daerah di negeri ini saya kagumi. Maka jika ada waktu tugas ke daerah saya sempatkan untuk ke lokasi penenun, karena dengan begitu saya tahu persis cerita yang dipintal melalui benang-benang. Nah, untuk pembuatan ulos memang detail. Saya masih bertanya terus nih, mengapa setiap motif ulos selalu ada titik dan garis. Titik berbentuk bunga, garis membentuk sebuah motif yang diinginkan. Mote-Mote yang digunakan tiga warna hitam putih dan merah. Pertanyaan ini yang terus bergulir justru membuat saya konsen ingin mempelajari ulos.

Katakanlah ulos bintang maratur, motif yang ditenun seperti gugusan garis membentuk piramid. Ternyata maknanya adalah ketika ulos diberikan si penerima diharapkan akan mendapatkan kehidupan yang sukses, cemerlang bagai bintang di angkasa dan berkelip indah. Ini yang saya suka dari maknanya itu. (Nadia Wisatayanti – pemerhati seni dan pencinta wastra )

Nadia Wisatayanti (Foto Martha Sinaga)

About Gatot Irawan

Check Also

Mitsubishi Destinator Raih Predikat Car of The Year dari Gridoto Award 2025

Jakarta, NextID – Sejak diluncurkan pada Juli 2025, Mitsubishi Destinator, sebuah model Family Premium SUV …

Leave a Reply