Wednesday , 17 December 2025
Home / LifeStyle / Leisure / Art / Ellyati Nafis: “Kebayaku Beraksen Melayu”
Ellyati Nafis atau suka dipanggil Etty itu juga mengoleksi batik klasik dan kuno.. (Foto Mario Ikada)

Ellyati Nafis: “Kebayaku Beraksen Melayu”

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Mengaktualisasikan diri dengan kerja nyata itu penting. Pasalnya, sekecil apapun sebuah karya akan tetap bermakna, apalagi jika dilakukan dengan ketulusan, ketekunan dan kreatif. Bukankah kita dikaruniai inspirasi yang pada akhirnya dapat menyikapi hidup dengan cara antara lain melakukan terobosan-terobosan? Kenyataan itu tentu membuat daya kreatif terajut tajam.

Adalah sosok Ellyati Nafis yang sejak masa remaja sudah suka dandan dan mendandani sang mama juga anggota keluarga. Baik itu untuk tata kelola busana atau pun memoleskan kosmetik dekoratif. “Ayah saya seorang tentara, maka ibu harus selalu hadir di sampingnya, ketika mereka menghadiri berbagai acara. Nah, yang mendandani ibu itu ya saya. Padahal ketika itu usia saya masih remaja. Masih pelajar SMP. Begitu juga dengan teman-teman dengan senang hati saya mendandani mereka,” ucapnya membuka cerita.

“Dan, kegemaran itu terus berlanjut hingga saya dewasa, bahkan hingga kini,” ujar Etty – panggilan akrabnya,sosok yang tergabung di Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) ketika ditemui di kediamannya siang hari.

Ini yang namanya jatuh cinta karena kebiasaan. Sering melihat, lantas terjadi aksi dan menghasilkan sebuah karya. Ibu dengan sepasang putra dan putri ini terkesan cinta berat dengan dunia fashion spesifiknya: kebaya. Ia selalu hadir berkebaya di layar medsos, di beberapa perkumpulan, juga di  komunitas. Etty selalu tampil akrab dengan pola kebaya. Ceritanya,  sebelum covid-19  melanda negeri ini ia memiliki 2 butik, khusus menyediakan kebaya. Dua butik itu bisa ditemui di  Plaza Indonesia dan Sarinah Thamrin.  Kini, ia memasarkan kebaya di kediamannya.

Etty menerapkan pola kebaya Melayu yang identik dengan “tekukan kain” di bagaian depan kebaya. (Foto Mario Ikada)

Hingga kini ia tak menyanggah jika penjualan tetap stabil. Bahkan banyak yang gandrung dan menjatuhkan pilihan pola yang sama seperti yang sedang dikenakan ketika ia beraktivitas. “Ada lho yang minta saya melepas kebaya yang saya kenakan, karena mereka suka. Yah, karena pas ukurannya, ok saja,” ujarnya.

Etty menambahkan di tengah Covid pun ia terus berkarya, bahkan lebih terarah. Perempuan yang mengaku sangat menyukai dunia busana itu terus berupaya memproduksi kebaya, di kediamannya yang dibantu dengan 4 penjahit. Permintaan pun tak pernah surut, bahkan ada juga  order datangnya dari pihak tertentu yang akan  menggelar prosesi perkawinan. “Hajatan itu berlangsung di luar kota  loh, tapi mereka memesan 40 kebaya untuk dikenakan pada resepsi pernikahan itu, saya kerja cermat. Tepat waktu selesai,” tegasnya.

Belum lagi,ia “rajin” mengikuti perlombaan di berbagai acara yang digelar oleh kantor atau perusahaan tertentu. Etty lantas memberi contoh, “Setiap tahun ada acara resmi digelar oleh Nostalgia Oil Company. Saya pasti dapat orderan 50 sampai 60 kebaya. Agustus tahun lalu ulang tahun Kota Jakarta saya juga mendapatkan pesenan 20 kebaya. Yah, iklan itu berjalan dari mulut-ke mulut, dan banyak yang cocok maka order pun mengalir,” ujarnya tersenyum.

Di samping itu, dalam kaitan usaha untuk  mengiklankan karya-karya kebayanya Etty yang asal Palembang itu-pun sering mengikuti ajang perlombaan mengenakan kebaya. Mulai dari ajang perlombaan kebaya Kartini sampai  lomba make up dekoratif yang diselenggarakan oleh Tiara Kusuma. “Eh, kok ya saya keluar sebagai Juara Harapan I. Itu menyemangati saya unruk terus berkiprah di dunia fashion dan tata rias dokoratif hingga kini,” tegas penyuka warna putih itu dengan mimik serius.

Tak dapat disangkal bahwa otak, kecerdasan, pikiran, dan pengetahuan, belumlah cukup untuk melahirkan karya yang berguna bagi banyak orang so, bagaimana pun bekerja itu butuh hati. Mungkin itu sebabnya mengapa Aristoteles mengatakan bahwa belajar tentang pikiran dan ilmu pengetahuan tanpa belajar untuk memperkaya hati sama dengan tak belajar apa-apa. Klop!

Aksesori klasik Palembang pemanis kebaya koleksi Etty. (Foto Mario Ikada)

Bekerja dengan hati ini paling tidak bisa dilihat dari bagian tindakan Etty ketika ia akan melakukan foto dengan kelompoknya yang diberi nama kelompok Marita. “ Suatu hari saya akan melakukan pemotretan ke luar negeri dengan kelompok saya ini. Mulai dari kain, kebaya, dan aksesori saya persiapkan betul. Cara memakai kain dan kebaya saya beri tahu di awal,” kisahnya.

“Tepat seperti yang sudah ditetapkan, mereka tinggal mempersiapkan sandal atau sepatu warna standar hitam dan coklat. Begitu juga misalnya menyetrika kebaya, bagian kain yang harusnya disetrika lurus ada yang meleset, maka waduh saya ulangi sampai benar-benar lurus. Itu saya lakukan bukan hanya kepada orang yang mengenakan gaun yang saya jahit namun juga berlaku untuk diri sendiri,” lanjutnya.

Tampil Beda

Sejak didengungkan bahwa “Kebaya Goes to Unesco,” maka desain kebaya muncul di berbagai tempat penjualan, bagai jamur di musim hujan.  Mulai dari mal hingga penjualan yang sifatnya online. Harga tentu bersaing, tinggal pilih sesuai kebutuhan dan selera. Pertanyaan yang muncul, apa yang membedakan desain garapan Etty dengan yang lain? Mengapa juga ia bisa bertahan, karena ceritanya menjahit  kebaya ini dilakukan jauh sebelum muncul berita kebaya akan  didaftarkan ke Unesco sebagai Heritage Indonesia non benda.

“Saya mendesain kebaya tentu punya kekhasan. Contoh, bagian pinggul ke bawah saya terapkan pola paduan jahitan yang jika dikenakan tidak H Line namun A line, sehinggi bagi yang berpinggul besar tetap terlihat proposional, dan bagian atas tetap diterapkan pola lidah di kanan kiri bagian dada. Sentuhan kebaya Melayu tetap saya terapkan,” beber Etty.

Kekuatan tenun lurik diterapkan pada pola kebaya. (Foto Mario Ikada)

Itu belum termasuk aksen yang diterapkan. Semisal untuk kebaya Betawi diberi aksen bordiran di ujung bagian depan  mengarah ke bawah, aksen etnik lain “bermain” dengan paduan jenis kain. Lurik dengan tenun yang berasal dari berbagai daerah. “Kalaupun jenis kain sama, namun warna kain yang berbeda,” tegasnya. 

Aksen cantik dan eleganpun bisa dilihat dari beberapa desain yang digarapnya. Ia optimis dengan kerapian, plus aksen pola yang up to date, juga memperhatikan waktu pesanan sesuai kesepakatan, ehm,  pelayanan yang baik membuatnya yakin tak akan terimbas hanya karena persaingan.

Puluhan tahun ia menekuni usaha di jalur tata kelola busana kebaya ini.  Kepekaan menembus pasar di jenjang tertentu membutuhkan kejelian akan perjalanan fashion yang demikian cepat. Maka selera calon pembeli harus dipahami benar. Sungguh bahwa  kreaktivitas mampu meningkatkan kualitas hidup, karena kreaktivitas membuka cara berpikir yang lebih luas.

Peninggalan Leluhur

Di samping gencar mempertontonkan karya desain kebaya Etty juga memperlihatkan bagian dari koleksi aksesori klasik dan etniknya. Hal itu kembali mengingatkannya bahwa sejak dulu para seniman aksesori di negeri ini telah melahirkan karya yang solid.

Semisal, peniti emas, bros dan anting hingga cincin yang diukir dari emas dan bertahtakan beberapa jenis permata. Memang berkesan kuno, klasik, sekaligus etnik. Justru itu memperlihatkan betapa tingginya nilai seni yang dimiliki manusia terdahulu antara lain bisa dijumpai di dunia fashion.
Kain, sarung, dan selendang yang tersusun rapi di deretan koleksinya tak lepas dari pemberian para orangtua, dan neneknya. “Nenek turun ke ibu, dan ibu diberikan ke saya,” itu penjelasannya tentang asal-usul sebagian aksesori berdesain etnik yang dikenakan siang itu sebagai pemanis penampilannya.  

Etty dengan kebaya panjangnya yang khas. (Foto Mario Ikada)

Tentu saja pengalaman hidup mendorong seseorang lebih banyak ide, kreatif dan imajinasi.  Sebagaimana yang Albert Enstein katakan nalar hanya membawa Anda dari A ke B, tapi imajinasi bisa membawa Anda dari A sampai ke mana pun.

Berangkat dari pola kebaya panjang Melayu, rasanya akan menjadi kekhasan Etty. Hingga saat ini ia melangkah optimis dengan gaya kebaya seperti itu. ”Dengan berkebaya itu perempuan Indonesia terkesan lebih anggun, rapi dan santun. Di pola kebaya panjang itu juga yang saya rasakan, maka saya akan tetap bertahan sekaligus mengembangkannya dengan cara tetap mengikuti perkembangan fashion,” janji Etty optimis.

Sah- sah saja sih, jika keistimewaan talenta yang dimiliki membuat seseorang melangkah dengan optimis. Dengan demikian dalam berusaha tak hanya menjadi pelaksana namun juga penentu tindakan. Tindakan itu pula berbuah manis yang bisa membuat penampilan orang lain menarik. Bukankah itu sebuah karunia yang patut disyukuri?

About Gatot Irawan

Check Also

BAIC Indonesia bersama DEXC Racing Uji Ketangguhan BAIC BJ40 PLUS di IRRA 2025

Majalengka, NextID – Lintasan panjang, hujan deras, lumpur pekat, hingga special stage yang menguras ketahanan menjadi …

Leave a Reply