Saturday , 13 December 2025
Home / Business / Dapur Moci’s Bali – Perpaduan Cianjur dan Bali
Dapur Moci's Bali identik dengan Hilda Safitri. Perempuan asal Cianjur ini tengah berdoa. Dia mukim di Bali sekitar 20 tahun. Ist

Dapur Moci’s Bali – Perpaduan Cianjur dan Bali

Jakarta, NextID – Hobi yang menghasilkan nilai ekonomi berujung pada pekerjaan yang mengasyikan. Betapa tidak, selama bekerja selain damai sukacita dirasakan, ide dan gagasan inovatif terus tumbuh dan berkembang hingga  terobosan-terobosan untuk cita-rasa, estetika barupun didapat. Rasa puas itu semakin tebal ketika resep baru disukai banyak orang.

Apakah itu sifatnya untuk komersial, maupun sebatas kreasi campur mencapur bumbu untuk dihidangkan di tengah meja makan keluarga. Kenyataan itu setidaknya sudah menorehkan bukti, kreatifitas seseorang mampu menghidupi sebuah kehidupan. Apalagi di tengah lawatan Covid-19 yang tak seorangpun tahu kapan berakhir.

Campur mencampur bumbu masakan ini keluar dari Dapur Moci’s Bali, yang dikelola Hilda Safitri, perempuan hebat asal Cianjur, Jawa Barat, yang sudah mukim di Bali selama 20 tahun.  Dapur Moci’s Bali berlokasi di daerah Sidakarya, Selatan Denpasar.

Hidangan khas Dapur Moci’s Bali yang dinamakan tahu pletok. Ist

Yang menarik kegigihannya dalam mengarungi hidup. Ayam belum sempat berkokok, dia sudah melaju menuju pasar, belanja kebutuhan untuk meracik berbagi menu. Puluhan tahun ia sudah menekuni bisnis makanan. Herannya, justru di tengah tekanan covid-19, ide meracik menu semakin membumbung tinggi.

“Untuk makanan yang disukai para milenial tetap kami sajikan. Misalnya bakso, ayam panggang, mie ayam. Yah, standar begitulah dengan harga yang pantas pula, tapi terobosan untuk cita rasa baru juga tetap dilakukan,” sibak Hilda yang berputra dua dan seorang putri.

Lantas apa yang membedakan Dapur Kuliner Moci’s dengan segudang dapur makanan yang ada di Pulau Dewata itu. “Tentu ada ya. Bali itu dikelilingi laut. Ikan bakar salah satu pilihannya, namun yang membedakan adalah dari sambalnya. Sambal yang kami sajikan adalah paduan antara sambal matah khas Bali dengan sambal goang (mentah),” bebernya.

Perempuan jebolan dari Sekolah Tinggi Teologia ini pun melanjutkan ceritanya. ”Cianjur tanah asal saya punya karedok, gurame pesmol. Nah, bumbu pesmol ini saya padukan dengan bumbu bali yang disebut gurami nyatnyat. Jadi dua rasa menjadi satu, tinggal bagaimana meracik ukuran bumbu yang dipakai sehingga rasanya lebih legit,” sibaknya bersemangat.

Daya Beli Merosot

Seperti kenyataan yang bisa disaksikan bahwa berbagai bisnis di Bali mati suri. Bahkan dari beberapa pihak mengatakan Bali bagai kota mati selama Covid-19 melanda. Bisa dipahami karena pulau di ujung timur Jawa itu memang sebagian besar hidup dari pariwisata. Daya beli masyarakat setempat pun sudah pasti payah, walau tak dapat dikatakan tiarap.

Hidangan favorit milenial “cuanki” yang mantap. Ist

Dalam menjalankan usaha kulinernya, Hilda mengakui itu. Hebatnya, justru dalam keadaan minus pembeli atau pelanggan kulinernya itu justru ide-ide Hilda muncul. Ia mengaku hanya berpikir simpel saja, Tuhan Maha Besar. “Semua kejadian pasti ada maksud Yang Maha Kuasa. Jika kita hanya mengeluh, apalagi diam kok kayak tidak mengakui kedaulatan-Nya. Walau memang tidak mudah. Sebab saya juga harus menafkahi beberapa staf yang membantu usaha ini,” ujarnya.

“Saya bersikap, yang mau pulang kampung silahkan, yang mau tinggal dengan saya oke saja. Asal mau hidup prihatin, tapi ide untuk menu-menu baru terus menghujani benak saya. Hikmat Ilahi itu luar biasa. Puji Tuhan,” cerita Hilda yang akrab disapa dengan Bu Cici atau Ruth.

Menurut Hilda lagi, kunci penting agar usaha tidak kolaps adalah tetap tegar, dan penuh semangat. Terkadang kalkulasi ekonomi di kesampingkan dulu. Itu sebabnya, selama Covid-19, plus lawatan Omicron ini, berapapun order tetap dilayani dengan baik. “Kami antar kok ke pemesan, jika memang itu yang dikehendaki pelanggan, karena memang tidak boleh kumpul-kumpul. Jadi semua makanan harus fresh. Nah, inipun dibutuhkan menu yang bisa disesuaikan,” sibak oma dengan satu cucu itu.

Apa yang dituturkan Hilda terkesan masa Covid-19 ini justru mengasah kepekaannya dalam berbisnis. Mulai dari menu baru yang  harus muncul hingga soal kemasan. Mulai dari ketepatan waktu pengantaran hingga soal packaging yang harus prima, mengingat rasa kuatir calon pembeli harus tak hinggap atas makanan yang dipesannya.

Makanan “Tahan Banting”

Bali sejak lama menjadi lahan berbagai jenis bisnis. Hilda membenarkan hal itu. Kuliner, fesyen, benda seni, pariwisata, tontonan seni dan budaya, ajang gelar ritual untuk turis dunia tumpah ruah di Bali.  Lalu Covid-19 muncul, dua tahun lebih semua senyap. “Ini, sesungguhnya bukan hanya Bali, tapi karena saya puluhan tahun hidup di Bali maka dampak itu sangat terasa. Saya hanya berpikir simpel, makanan? Ya makanan, tetap dibutuhkan,” ceritanya.

Baso khas Dapur Moci’s yang terjangkau dan enak. Ist

Kenyataan itu membuat saya putar otak, bagaimana menyajikan citarasa yang sehat namun harga tergapai semua kalangan. Itu tidak mudah. Sebab, ada bahan-bahan makanan yang melonjak bahkan tak ada di pasar Bali. Lagi dan lagi Tuhan itu luar biasa. Justru karena himpitan ekonomi ini saya berdiri tegak dalam bisnis kuliner. Tentu juga dengan resep baru,” tegas Hilda yang semula mendapat keterampilan masak-memasak dari ibunya.

Merambahnya resep tak hanya untuk makanan yang sifatnya lauk-pauk, tapi juga hinggap di snack hingga minuman. Terkesan Hilda ingin menembus kejenuhan para konsumen dan kebekuan suasana karena tekanan Covid-19. Contoh, kopi dari era penjajah hingga zaman milenial tetap digandrungi. Bahkan aroma rempah yang satu ini mampu merogoh isi kantong dalam-dalam jika itu menjadi suguhan di kafe-kafe besar. Aroma kopilah yang dijual.

Hilda menyingsingkan lengan menggarap bahan kopi untuk kue atau snack pilihannya. Asli rasa pahit kopi yang diterapkan. Pilihan lain minuman dengan nuansa pelangi yang dibumbui susu, hadir dengan ukuran gelas besar.  Bidikan mata calon pembeli menjadi sasarannya, di samping rasa yang dihadirkan tentunya.

“Melepas stress itu kan dengan banyak cara. Ada dari tanaman, namun juga keindahan meja makan bisa digunakan untuk mengatasi stress. Aroma makanan yang segar juga bisa membantu suasana hati dan berpikir lebih rileks. Sekali lagi tak mudah, untuk menghadirkan menu demikian butuh materi yang prima, dan dengan harga harus terjangkau. Balik lagi, terkadang dalam usaha kita tidak mengambil malah memberi,” tutur Hilda sambil tertawa berderai.

Persembahan yang sempat hit tempo hari karena hanya 9K. Ist

Makan untuk Hidup

Satu  di antara hal terindah dalam hidup adalah, cara kita harus teratur menghentikan apapun yang sedang kita lakukan dan mencurahkan perhatian kita untuk makan (Luciano Pavarotti). Memang sih hidup bukan hanya untuk makan, namun yang pasti makan untuk hidup. Hidup yang sehat jiwa dan raga maka tak salah jika harus selektif dalam memilih makanan.  Maka tak salah jika orang bijak mengatakan bahwa makanan adalah simbol cinta ketika kata-kata tak lagi memadai, dan banyak orang meyakini bahwa cinta tumbuh dari meja makan.

Tentu saja bicara makanan tak lepas dari nilai-nilai sehat. Membaiknya dunia pendidikan maka orang lebih selektif memilih menu makanan. Mana makanan yang sekadar enak dan mana jenis makanan yang membuat sehat. Makanan pun tak lepas dari pemenuhan emosional tertentu, kebiasaan daerah tertentu misalnya bisa dilihat dari sajian makanannya.

Budaya dan adat istiadat setempat tak bisa dipisahkan dari jenis makanan yang dihidangkan. Yang pasti makanan bisa menjadi “akun bank” karena pilihan makanan yang benar akan menjadi investasi yang baik pula. Bahkan filosofi lama mengatakan, rumah belum dapat dikatakan rumah jika belum menyajikan makanan yang benar karena itu akan berdampak untuk selarasnya pikiran dan tubuh dalam menciptakan hasil usaha atau kerja ke depan.

Bagaimanapun makanan untuk tubuh tidaklah cukup tanpa  memperhatikan jiwa. Hilda setuju dengan pendapat ini. Itu sebabnya, ada waktu -aktu tertentu yang ia tidak hanya memberi label harga pada porsi kulinernya namun juga membagikan hasil usahanya itu kepada kalangan tertentu yang membutuhkan makanan di masa sulit seperti ini.

Jika memang belum bisa memberi makan 100 orang maka berilah  kepada 1 orang dan ia akan hidup. Bukan begitu Bu Hilda Safitri? (Martha Sinaga)

About Gatot Irawan

Check Also

Hino Perkuat Filosofi Layanan via CS Contest 2025

Tangerang, NextID – PT Hino Motors Sales Indonesia (HMSI) kembali menggelar Customer Satisfaction (CS) Contest …

Leave a Reply