Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Beberapa tahun lalu masih terdengar ucapan, buku itu jendela dunia. Tetapi kini Tak lagi sering terdengar ucapan itu dalam perjalanan waktu. Pasalnya dengan membuka telpon genggam terkuaklah berbagai kejadian di dunia.
Tak dipungkiri jika teknologi menjadikan manusia bersahabat dengan dunia maya. Segala sesuatu informasi yang dibutuhkan segera didapat dari layar monitor tersebut. Saking akrabnya dengan sepotong HP maka orang yang berada di sekelilingnya terabaikan, dan kenyataan ini kembali memunculkan opini bahwa yang jauh diakrabi yang dekat terlupakan.
Sydney Harris mengatakan, ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa berpikir seperti manusia, namun ketika manusia bisa mulai berfikir seperti komputer. Betapa pun teknologi berkembang cepat dengan luar biasa, namun sisi-sisi kemanusiaan kita tetaplah yang terpenting.
Nilai-nilai silahturahmi memang sudah bergeser fungsi dan keberadaannya. Itu tak hanya terjadi di antara kerabat dan sahabat, namun juga di tengah kehidupan keluarga inti dalam artian ayah-ibu dan putra-putrinya. Mengerikan! Padahal seluruh kehidupan manusia tak bisa dilepaskan dari aspek cinta kasih. Sebab, idealnya manusia membutuhkan perhatian, cinta dan kebersamaan agar tak nyeleweng dari kodrat dan martabatnya.
Ihwal cinta dan saling memperhatikan merupakan unsur penghayatan dan pengalaman pribadi dibandingkan sekadar urusan perumusan dan pendefinisian. Saling berbagi dan memperhatikan inilah lalu muncul ide untuk menjaga lingkungan bersama bahkan menulis bersama. Ini terjadi antara penulis, dengan dua penggiat sastra: Rara Gendis Danerek dan Ayu Yulia Djohan.
Tiga perempuan yang berangkat dari disiplin ilmu berbeda namun memiliki kesukaan yang sama, menanam dan menulis puisi. Dua jalur pekerjaan ini mempertemukan di sebuah titik memperluas atau memperbanyak tanaman. Sungguh terlihat jelas, di tengah hijaunya lingkungan ada Tuhan yang mempersatukan para perempuan dalam ide dan pekerjaan yang akan ditaburkan ke lini kehidupan banyak orang. Bukankah banyak langkah dimulai dari satu langkah?
Antara Puisi dan Tanaman
Belum lama Ayu Yulia meluncurkan kumpulan puisinya yang diberi judul “Tarian Badai.” Dalam lembaran buku itu bisa dirasakan badai kehidupan yang dijalani ibu tiga anak ini. Salah satu pekerjaan sekaligus hobi yang ia tekuni adalah berkebun. Berbagai tanaman bisa ditemui di halaman rumahnya yang terletak di selatan Jakarta.
Terlihat ada berbagai tanaman hias, tanaman obat, dan juga tanaman koleksi. Apa yang dilakukan perempuan berdarah Riau ini di tengah kebun itu juga yang ia tuliskan pada larik-larik puisinya. Memang sih, jika seseorang ingin mengetahui lebih dalam pekerjaannya maka ia pun harus menghayati secara total materi yang dikerjakan.
Dengan menekuni lahan kebunnya, maka dengan asyik pula ia menuangkan dalam lembaran kumpulan puisinya yang berkenaan dengan keindahan tanaman. Bacaan dan tayangan soal tanaman hanya bernilai sebagai pedoman dan acuan untuk menjalankan usaha kebun sesungguhnya. Rasanya Yulia sadar penuh untuk membagi pengalaman membuka lahan tanaman harus lebih dulu mengantongi pengetahuan yang baik tentang itu. Setidaknya itu dapat dilihat dari hasil tangan dinginnya dalam bercocok tanam.
“Jika sudah bermain tanah, rasanya waktu begitu cepat berlalu. Saya sudah punya jadual akan lebih mengembangkan jenis tanaman obat. Semula aku bertukar jenis tanaman dengan beberapa teman dan tetangga, namun setelah tumbuh dan berkembang menjadi pecut diri untuk lebih rutin merawat tanaman,” begitu sibak Yulia di awal ketika dia melangkah untuk berkebun. Dan kini di halaman rumahnya penuh tanaman itu yang kini dikenal dengan “Omah Kampong Jatipadang.”
Tanaman Mengikat Pertemanan
“Dari bunga orang mempercayai sebagai hantaran, juga jembatan komunikasi antara yang fana dan tidak fana, di samping sebuah bentuk penghormatan, dan pasti merupakan rasa syukur. Saya merasakan sekali tanaman atau bunga adalah hadiah maupun obat untuk keberlangsungan hidup yang sehat,” begitu pendapat Rara Gendis Danerek.
Rara bercerita, ingin punya wadah kerja ideal dengan nama “Bunga Setaman.” Soal nama itu, dia panjang lebar membeberkan latar belakangnya. “Mengapa Bunga Setaman? Karena bunga hadir sejak manusia dalam kandungan hingga memenuhi panggilan-Nya. Begitu juga di Nusantara ini untuk memperingati banyak momen, bunga selalu dihadirkan. Apalagi yang sifatnya tradisi. Contoh, istilah ‘bunga 7 rupa’ yang selalu menjadi acuan utama,” ujarnya.
Gayung bersambut, cinta tanaman dan nyemplung menjadi penggiat sastra adalah mata rantai yang saling berhubungan dan mengisi. Apa yang dirasakan dalam keseharian berkebun dituangkan pula di lembaran tulisannya. Tak beda jauh dengan apa yang dilakukan Yulia. Menurut Rara, ilmu sastra selalu ada kaitannya dengan bidang manapun. “Termasuk bercocok taman,” tegasnya.
Bagi penulis sendiri, berkebun adalah berinovasi dan menciptakan nilai baru terhadap kehidupan agar tidak punah dari gelanggang pesaingan kehidupan. Secara tak sadar, mampu meningkatkan nilai positif bagi sesama, juga terhadap kehidupan dan alam semesta . Diharapkan juga bisa menjamin kebersamaan dalam menapak hari.
Usaha menjaga lingkungan tetap hijau itu sama artinya dengan mengakui kedaulatan-Nya. Itu alasan yang paling mendasar mengapa penulis memupuk rasa suka untuk bercocok taman. Dalam hal ini tanaman hias, tanaman obat, dan tanaman yang mulai langka ditemui.
Berkebun menurut penulis menjadikan hidup lebih berwarna. Contoh kecil, karena berbincang soal tanaman inilah maka kami dipertemukan. Tali silatuhrami itu terpilin. Saling berbagi informasi tentang tanaman , juga sastra bahkan juga yang berkenaan dengan wastra.
Bukannya tidak mungkin ada beribu ke sempatan di luar sana yang menanti untuk dijemput, tinggal bagaimana mengolah kekuatan enerji dari dalam diri untuk saling isi dan berbagi untuk sebuah tujuan yang positif. Sehat di alam dan penuh makna di lembaran demi lembaran buku. Yang pasti alam mempertemukan kami dalam silaturahmi tak sekadar di dunia maya.