Jakarta, NextID – Surga di bawah telapak kaki ibu. Begitu pepatah yang selalu terdengar. Ada lagi contoh padanan kata dengan memakai kata ibu: ibu jari, ibu kota, kasih ibu. Dari ungkapan itu tersirat dalamnya peran atas kehadiran seorang ibu. Seorang perempuan yang mengemban tanggung jawab atas kelangsungan kehidupan keluarga, hidup bermasyarakat bahkan hidup berbangsa dan bernegara. Jelas kenyataan ini, menjawab bahwa kodrat perempuan itu tak semata hanya menyusui dan melahirkan.
Terbentuk baik atau buruknya hidup bermasyarakat seseorang, ditentukan dari rumah. Tak salah jika meluncur kalimat yang akrab di telinga, bahwa semua dimulai dari rumah. Kesadaran di awal atas hal ini maka Sisie Andrisa Macallo bersepakat dengan pasangan hidupnya, Didik Metrajaya bahwa pendidikan untuk tiga orang buah hati mereka menjadi perhatian khusus, baik pendidikan formal, mau pun non formal.
“Semua dimulai dari awal. Ketika mereka kecil dalam membentuk mental dan paradigma berpikir pasti melalui contoh. Maka saya membacakan buku ke anak-anak. Kisahnya variatif, dan itu dilakukan dalam waktu yang tidak singkat. Terus-menerus. Ketika itu dengan membaca mereka bisa memantau hal-hal yang mereka suka karena masih usia anak,” urai Sisie.

“Itu kami lakukan secara natural saja, kok. Memang kami perlengkapi kebutuhan mereka, dalam arti antara lain buku-buku diadakan, yang diperlukan dilengkapi. Di hari libur sama-sama ke toko buku. Mereka boleh memilih bacaan yang mereka suka. Yang humanis sajalah,” lanjut perempuan yang berprofesi sebagai notaris itu dalam memainkan salah satu perannya sebagai ibu dalam mendidik buah hatinya.
Usaha itu berbuah manis. Betapa tidak, putri pertamanya kini berprofesi sebagai calon notaris dan kini berada di negeri Kincir Angin (Belanda), mendampingi suami menyelesaikan studinya. Anak kedua, sudah bekerja di Pertamina dan si bungsu cantik masih kuliah di Universitas Indonesia di Depok. Kenyataan ini setidaknya bisa membuat perempuan berdarah Ujung Pandang – Minang ini bertepuk dada dan lega. Pantasnya ia sudah dengan ringan melangkah, yah tinggal menikmati hidup. Begitukah? Ini bincang-bincang dengan Sisie di kediamannya beberapa hari lalu.
Koleksi Kain
Seperti yang terlihat saat ini, namanya ada di beberapa komunitas yang cinta warisan negeri berupa tenun motif Nusantara, sekaligus menjadi kolektor kain-kain sejenis. Juga sejak komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia mulai menghembuskan kegiatannya seputar tahun 2015, nama Sisie bisa ditemui di antara sederet nama lain di sana.
Bahkan hingga kini ia menjadi pengurus di ikatan notaris wilayah Jawa Barat. “Termasuk saya menjadi mentor bagi notaris-notaris muda. Dengan begitu saya juga jadi tahu, apa sih sesungguhnya yang ada di pikiran mereka tentang pekerjaan notaris dan masa depannya,” imbuhnya.

Nah, apa yang dicari perempuan yang punya hobi membaca dan traveling ini? Tidak Lelah-kah dengan setumpuk tanggungjawab dan kegiatan. Lantas bagaimana ia mensiasati waktu? Ketika disinggung kiat menerapkan cara kerja antara profesi dengan hidup berorganisasi. “Diawal berkerja itu kan sudah ada rule hukum yang disepakati. Nah kesepakatan itu dijalankan bersama. Ya itu saya lakukan” jawab Sisie.
Mengikuti kegiatan Sisie, apalagi jika tidak harus menjaga kesimbangan untuk mengendalikan kecerdasan luar dan dalam atau inner power. Perempuan aktif idealnya harus mampu menyelaraskan antara hati dan pikiran secara harmonis. Keharmonisan itu ujungnya menciptakan karakter bekerja yang baik.
Tentu diharapkan hasilnya akan dapat dinikmati banyak orang. Sebagaimana yang ditulis Gilgerte Beaux dalam buku motivasi bekerja, bahwa karakter seseorang lebih penting dari pada inteligensinya, karena karakter yang kuat akan memberi kesempatan kepada seseorang untuk meraih keberhasilan.
Tak ia pungkiri bahwa di atas segalanya, keluargalah yang diutamakan. Untuk bisa menciptakan semua itu ia memposisikan diri menjadi tiang doa, sahabat dan oase adem bagi semua anggota keluarga.
Kantung Sendiri
Sesungguhnya kualitas diri, keberhasilan dan damai sukacita bisa dijumpai dalam setiap dinamika kehidupan. Itulah keberhasilan yang hakiki. “The ultimate meaning” atau makna tertinggi dari sebuah kehidupan. Kebahagiaan itu dirasakan ketika menyukuri apa yang dialami. Itu juga dibenarkan oleh Sisie. Ia bersyukur karena dalam kiprah pekerjaannya selalu mendapat support dari suami dan anak anak.

“Itu saya syukuri. Dengan saya bekerja, saya punya penghasilan. Ketika ingin sesuatu tidak perlu merepotkan suami dan anak anak. Saya punya penghasilan sendiri. Terlebih dengan saya bekerja, artinya membuka peluang pekerjaan juga bagi orang lain, sebab saya membutuhkan asisten untuk membantu menyelesaikan pekerjaan. Di samping itu, jika saya ingin memiliki sesuatu, ingin berbagi kepada sesama bisa dilakukan sendiri,” begitu antara lain alasan mengapa hingga saat ini Sisie masih bekerja menjadi seorang notaris. Yang pasti juga membuka ruang network dan aktualitas diri, begitu-kan Mbak Sisie.
Mandiri ya? Itu konkritnya. Kemandirian itu akhirnya mendorong ia melahirkan ide, baik ketika menjalankan tanggungjawab profesi, maupun dalam hidup berorganisasi. Tak bisa disangkal bahwa ide-ide gemilang itu nyantol di hati dan benak orang yang memiliki kekayaan spiritual. Lebih jauh, kenyataan ini dapat ditransformasikan menjadi budaya, sikap dan mental dalam bekerja. Sisie pun tak lepas mengalami hal itu. Ia dapat memilih pekerjaan sekaligus kegiatan di luar profesi yang sudah ditekuni belasan tahun.
Terkesan Sisie membangkitkan enerji kreativitas, antara lain dari sikapnya yang mau mendengar, juga terbuka terhadap masukan. Ia bertumbuh dari sesi mendengarnya itu. Sejauh ini tanggungjawab profesi tak membatasi untuk sikapnya sebagai pemerhati kain-kain tenun Nusantara. Itu bisa dilihat dari berbagai corak warna, bahan dan tahun penenunan di koleksinya.
“Duh, saya membeli bukan karena saya punya uang banyak lho. Tapi jika semua hilang atau punah apa yang bisa kita tinggalkan untuk anak cucu,” jelasnya dalam pengadaan lembaran kain dan tenun dari berbagai daerah yang berada di deretan koleksinya.
Nah, dalam pengadaan kain-kain bernilai tinggi ini ia mengaku merogoh isi kantung sendiri. Itu yang dimaksudkan untuk memenuhi keinginan dengan bekerja maka tak perlu merepotkan keluarga. Kain-kain indah itu dibeli dari para kolektor atau sengaja dijual oleh yang empunya karena satu alasan. “Terkadang sulit dapatkan yang asli karena sudah aus, maka ada yang replika, saya beli. Setidaknya motif masih bisa saya dapatkan,” sibaknya sambil memperlihatkan sebagian koleksinya.

Hobi traveling juga tak dengan cuma-cuma dilakukan, namun sekaligus menyerap ilmu. Betapa tidak, diakuinya jika berpergian ia tak mengurungkan niat untuk masuk keluar desa dan pedusunan. Ketika menemukan penenun atau pembatik, kain dibeli dan ia menyerap pembelajaran budaya dan seni dari sang penenun yaitu kisah di balik sehelai kain. Menarik!
Di beberapa helai kain terlebih batik tulis yang menjadi koleksi Sisie tertulis nama putra-putrinya; Rizkya Metrisa dan Amanda Trishana Mahira. Memiliki hati yang mau berbagi karunia dalam diri ini adalah salah satu cara menyukuri karunia-Nya. Kenyataan itu berlaku dalam langkah hidup perempuan yang punya hobi mengumpulkan pelengkap interior rumah berupa keramik.
Ia berkisah ingin mengabdikan dan berbagi pengetahuannya untuk sesama perempuan. Sebagaimana yang dikatakan tentang usaha para perempuan Indonesia, salah satu dengan mengembalikan busana etnik Indonesia yakni kebaya.
“Saya melihat bahwa kebaya sebagai heritage negeri kita. Ini sebuah agenda dan tugas besar kita bersama. Kebaya kembali ditarik ke permukaan. Kita sama-sama berusaha melestarikan dan mengembangkannya. Kenyatan ini seperti membeli memori, sekaligus tantangan untuk sebuah pelajaran panjang. Mengapa ada kebaya encim, atau kebaya Kartini. Mengapa di era penjajahan para ningrat Belanda memakai kebaya dengan hiasan renda, selalu putih, kerah kebaya berdiri . Dan mereka mengenakan dengan manis. Padu padan ditetapkan kain panjang batik tulis,” beber Sisie.
“Nah, sementara batikpun punya kisah tersendiri. Ada batik pesisir, batik pedalaman, batik Pekalongan yang identik dengan bunga, dan lain-lain. Semua menjadi menarik, tapi kita semua perlu kerja keras, untuk mengungkap itu agar masyarakat luas juga paham. Apa sih sebenarnya yang dimiliki bangsa ini. Prihatin ya, saat ini pembatik itu yang sudah tua-tua. Bagaimana dengan generasi penerus. Ini kan menjadi pe-er kita bersama dan dipecahkan bersama,” suara Sisie tertahan.

Visi Jadi Saksi
Banyak manusia yang mempunyai keinginan agung yang menguasai hatinya. Mereka tentu hidup di erah perjuangan masing masing. Mereka “menang” dan namanya dikenang hingga detik ini. Dalam bukunya, The Art of Life Revolution mengatakan, esensi kemenangan adalah memiliki impian, mengubahnya menjadi aksi kehidupan dan lebih penting lagi memiliki kesediaan hati berbagi dengan orang lain.
Impian indah Sisie ingin turut melestarikan tenun etnik negeri ini, lebih spesifik lagi batik-batik tulis dengan ragam keklasikannya. Terlihat susunan rapi koleksinya, tentu saja rata-rata batik tulis premium. “Kadang saya hanya mendapatkan motif kunonya saja, karena yang asli sudah ada di pemiliknya. Nah, replikanya saya koleksi, yang penting tak punah atau hilang sama sekali.” Kembali suara Sisie tersendat karena haru, butiran bening menetes dari pelupuk matanya.
Mungkin inilah yang dikatakan “visi pribadi” dan hasrat yang terdalam yang paling bernilai dari diri seseorang, dan itu menguasai hati, mendominasi alam pikir dan langkah hidup yang menghidupi lingkungan sekitarnya.
NextID What's Next ?
