Thursday , 21 November 2024
Home / LifeStyle / Fashion / Life & Love / “Manusia untuk Kemanusiaan”
Helena (foto kiri) dengan balita dan Harry Premiadi (foto kanan) di suatu aksi sosialnya. Ist

“Manusia untuk Kemanusiaan”

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Bicara kemanusiaan tentu bagaikan garis lazuardi yang tak berujung, atau seperti rel kereta api yang tak ada titik temunya. Mengingat di kolong langit ini pasti masalah selalu silih berganti, yang pada akhirnya memburai berhasta-hasta pendapat. Makanya sah-sah saja keberadaan itu lantas memunculkan pendapat, orang terganggu bukan karena masalah yang ada, tetapi oleh pendapat mereka tentang masalah itu.

Mengamati kejadian kemanusiaan, jujur saja tak ada kata finis, seakan musim yang terus berganti. Sebut saja kejadian kemanusian yang terdedah belakangan ini. Mengerikan! Dor sana dor sini. Tewas satu jiwa. Selanjutnya masalah bergulung-gulung bagai asap yang diterbangkan angin tak bermusim. Kejadian itu tentu menyedot perhatian dan enerji manusia.

Eko Jalu Santoso dalam bukunya The Art of Life Revolution menulis, jangan pernah berhenti lama dan diam diri dalam sebuah keadaan, karena lama-kelaman Anda akan tergilas dan mati. Berarti memang perubahan itu harus terjadi, setidaknya di lingkungan kita berada. Perubahan pastinya akan memberikan pandangan dan berjuta harapan, bahkan berhasta-hasta kesempatan baru yang lebih baik. Itu memang pilihan hidup, dan memperjuangan pilihan hidup adalah memperjuangan keyakinan hati.

Bicara keyakinan hati tak bisa ditanggalkan dari nilai-nilai spriritual. Bekal melakukan kegiatan kemanusiaan yang utama bukanlah sekadar kekuatan fisik, atau modal material, namun terlebih mental, emosi dan kekuatan jiwa.  Tetapi, lebih kuat lagi memiliki kesadaran hidup untuk berbagi itu merupakan kehendak-Nya.

Bermodalkan itu maka kesadaran untuk berbagi menjadi pemerhati yang pada akhirnya membuat orang bertumbuh menjadi lebih besar, berani berbagi menghadapi tantangan dalam usaha memberi untuk sesama.

Memberi dalam Keterbatasan

Sehari 24 jam, setengah dari waktu itu digunakan untuk melayani sesama. Itu yang dilakukan oleh Harry Premiadi (57). Selama belasan tahun berbagi kepada umat, ia tak memberlakukan metode yang ribet. “Saya berkomunikasi santai dan ringan saja. Komunikasi saya lebih mendahulukan kepada kasih Tuhan, sesuai dengan kepercayaan atau agama orang yang saya hadapi. Jika Hindu banyak menyinggung tentang Sang Ida Hyang Widia atau Sang Hyang Yesus.

Prem (kanan) dalam aksi nyatanya kepada yang butuh bantuan. Ist

Jika muslim ya, tentang Nabi Isa. Itu dulu saja. Jika mereka dikuatkan dengan kasih Allah, maka jiwanya akan terisi dulu. Kejahatan itu terjadikarena jiwanya kosong,” tegas ayah dari dua putra dan satu putri itu.

Pendekatan komunikasi yang dilakukan Prem, demikian ia lebih akrab disapa dengan cara mengunjungi siapa yang butuh sentuhan. Terlebih ketika orang yang dituju sakit. Menurutnya, keadaan seseorang sering kali membuatnya rentan secara mental, maka dibutuhkan komunikasi yang ringan dan universal namun tetap menjurus kepada keagungan Tuhan.

“Tak ada satu masalahpun yang luput dari bidikan-Nya. Maka, memang 100% kita harus bersandar kepada Ilahi, total. Saya juga melayani kaum marjinal, anak-anak dari kalangan kurang mampu, total mengandalkan Dia,” tegasnya.

Lelaki asal Jember yang lama berdomisi di Bali mengakui, ia terjun ke dunia pelayanan ini karena dorongan nurani, plus ketulusan hati. Mengingat hingga kini tidak ada sponsor pasti dalam kiprah aksi sosialnya itu. Makanya sebaliknya untuk berbagi di tengah masalah kemanusiaan ini  ia dan istri yang seorang tenaga pengajar itu sering merogoh isi kantong dalam- dalam.

“Jika pelayanan  atau langkah berbagi ini tidak didasari oleh kepedulian, niscaya semua tak akan bertahan hingga saat ini. Jujur saja, dalam berbagi kepada sesama saya tak terikat waktu. Jika ada yang membutuhkan sandang, pangan atau kursi roda misalnya dan itu memang ada saya langsung bertindak,” lanjut Prem menyibak sebagian cara kerja sosialnya ini.

Belasan tahun terjun ke dunia sosial, pasti suami dari Ni Putu Ariami merasakan bahwa kesenjangan sosial bagaikan jurang yang menganga. Ia lantas memberi contoh, mal tak pernah sepi. Mobil mewah berseliweran di jalan raya, resto mahal marak menjamur. “Nah, ini kan indikasi bahwa banyak orang yang hidupnya berlebih. Tapi di sisi lain banyak pemulung, anak terlantar, pengemis, sampai anak-anak yang tak sekolah karena tak ada biaya. Ini yang menyedihkan banget. Apa kita tak buka mata bahwa mereka adalah bagian dari generasi penerus,” ungkap Prem.

Kenyataan soal kepedulian terhadap sesama ini rasanya memang “racun” yang terus bertumbuh. Apalagi setelah teknologi  digunakan bagai memperbudak sebagian umat. Simpel saja, ketika telpon genggam digunakan untuk membantu penyelesaian tugas atau pekerjaan, itu okelah. Tapi, kenyataannya alat itu yang kini menguasai alam hidup manusia, sehingga manusia tak lagi punya empati kemanusia lain atau lingkungan. Budek dan tuli hati.

Jadi tak salah jika Hellen Keller dalam bukunya menulis,” Lebih baik aku buta namun lewat hati aku bisa melihat, dari pada orang yang punya mata sehat namun buta hati.” Dan memang apa yang dikatakan perempuan penerima penghargaan Nobel itu, kini terbukti.

Dalam perjalanan hari, pekerja sosial yang juga pengajar ini semakin merasakan bahwa kesenjangan itu semakin terkuak lebar. Menanggapi kemiskinan ini semakin terkotak-kota. Justru dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku agamis. Menebar janji melayani sesama melangit. Langkah optimis seakan ingin membantu, namun apa yang perlu dibantu di depan mata, dianggap angin lalu.

Aktifitas Prem lain dalam aksi sosialnya. Ist

“Saya bicara seturut ajaran yang saya yakini ya. Memberi itu bagian dari realisasi kasih. Memberi tak hanya bersifat materi, namun perhatian dan sederet cara positif lain bisa dikategorikan dengan ajaran kasih. Itu memberi,” tandasnya Prem.  

“Lebih jauh lagi jangan konon hanya menabur kata-kata di atas mimbar. Berdoa hanya untuk orang yang ada di depan mata, atau berkarya setelahnya karya dijual konon untuk melayani kaum yang terpinggirkan, namun jika ditelusuri masuk ke kas sendiri. Ini lebih parah. Lalu di mana fungsinya kita sebagai kitab yang terbuka. Di mana? Jubah agama sering dipakai untuk kepentingan diri atau sekelompok manusia,” ujarnya.

Setiap insan sudah memiliki nilai existing value. Nilai ini idealnya harus terus diperbarui dan nanti akan menjadi kekuatan tersendiri saat terjun ke dunia sosial kemanusiaan. Fase-fase dalam mendudukkan fungsi di pemerhati sesama tentu masalah esensi inovasi dari perubahan diri, mutlak dibutuhkan.

Memiliki cita-cita menjadi pelayan kemanusia itu sangatlah mulia, dan itu menjadi bagian dari kemenangan hidup seseorang yang memang terpanggil untuk melayani. Kenyataan bicara bahwa semangat orang luntur, karena tidak digunakan dan sebaliknya bukannya aus karena  akibat dari terlalu banyak digunakan.

Rahasia kehebatan Gandhi bukan terletak pada tiadanya kelemahan atau kecacatan insani, tetapi pada kegelasahan jiwa, usaha gigih yang tiada henti dan semangat keterlibatan dalam masalah-masalah kemanusia dunia, demikian tulis antropolog India, N.K. Bose.

Dalam memberi tak usah menunggu menjadi orang kaya. Kalimat ini selalu muncul di beberapa kalangan pekerja sosial yang memang dengan sungguh hati menjalankan panggilan jiwa di arena melayani sesama.

Keberadaan itu juga dibenarkan oleh Helena Sri Hartini kelahiran 1974, yang kurang lebih empat tahun terakhir nyemplung di pelayanan anak dan para lansia. Menurutnya, anak dari kalangan tidak mampu harus mengambil hak dalam mengenyam pendidikan sebagai mana mustinya. Itu sebabnya ia meringankan langkah mengusahakan agar anak-anak yang tak sanggup mengikuti ujian di sekolah mengambil paket pendidikan sesuai yang dibutuhkan agar mereka memiliki ijazah resmi. Tak urung Helena membuka rumahnya mengajar anak anak sesuai dengan kebutuhan mereka. Ehm, kerja nyata. Prespektif baru memberdayakan kecerdasan emosional yang diberikan Tuhan kepadanya.

Helena mengajar anak-anak dari keluarga ekonomi lemah di rumahnya. Ist

“Rasanya iba banget melihat mereka tak punya ijazah bukan karena bodoh tapi karena tak mampu bayar uang sekolah, tak mampu beli HP atau beli pulsa. Saya mengajar mereka bukan karena saya punya banyak waktu, namun justru dalam keterbatasan waktu saya.Sungguh saya haru bisa mengatur jadual belajar mereka dan apa yang dibutuhkannya untuk belajar,” urainya.

Dengan ringan hati, di hari tertentu ia menuju beberapa rumah singgah anak di kawasan tertentu atau ke panti lansia, dan itu rutin dilakukan. Sama halnya dengan Prem, untuk aksi berbagi ini Helena  mengaku menggunakan uang pribadi. “Terkadang saya cubit suami, karena seberapa besar saya sanggup menanggulangi kebutuhan sekolah anak-anak ini, namun puji syukur hingga hari ini semua berjalan dengan baik. Pokoknya mereka bisa ikut belajar, itu bekal mereka nanti,” ujarnya, dan pikiran itu juga yang membuatnya tetap  optimis melangkah . 

Melayani tak Kenal Waktu

Kisahnya lagi, tak jarang Helena mendapat telpon di malam hari ada lansia yang sakit. Ada yang mendesak membutuhkan pangan. Kenyataan itu menurutnya menjadi ‘badai’ tersendiri.  “Apapun masalahnya harus dihadapi,” tegasnya.

“Yang menguatkan saya adalah Tuhan sudah memenuhi kebutuhan saya. Anak-anak saya bisa sekolah dengan baik, suami dan saya bekerja dengan baik, lalu apa yang bisa saya berikan untuk sesama. Saya tak berpikir dalam memberi atau melayani sesama harus dapat ini dan itu, tidak. Yang saya harus lakukan ya, saya lakukan. Dan Tuhan pasti menyertai. Cinta Tuhan mengalahkan semua rasa takut saya. Itu saja,” jelas Helena yang aktif dalam pelayanan di mana ia beribadah dengan keluarga.

Menurutnya walau ia berada dalam satu organisasi besar, namun apa yang dilakukan sama sekali tak dilandasi kepentingannya. Dia katakan pelayanan kemanusiaan dirasakan sebagai kebutuhan bukan lagi keinginan. “Untuk yang saya butuhkan dalam perjalanan membantu sekolah anak-anak kurang mampu ini saya hanya berdoa dan terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Setulus dan sebersih hati ini. Tuhan pasti menjawab dan saya bisa tetap melangkah,” tuturnya.

Helena dalam aksi sosialnya yang total. Ist

Baik Helena mau pun Prem menyadari bahwa dibutuhkan banyak pihak untuk melakukan hal sejenis. Sekecil apapun itu, mengingat yang membutuhkan uluran tangan pun semakin banyak. “Bisakah kita bayangkan saudara-saudara kita yang jauh dan sedang kesulitan itu membutuhkan pertolongan. Aduh, perih rasanya,” tutur Helena.

Ke mana pun kita melangkah akan selalu dihadapkan dengan kemiskinan. Baik itu kemiskinan materi atau kepapaan hati. Banyak atau sedikit kenyataan itu akan mempengaruhi mental diri untuk konsisten dalam tujuan dan tindakan menolong sesama.

Visi hidup nan agung itu apa sih? jika tak berputar pada nilai spiritual yang universal. Tentu hal itu mencangkup pada keadilan, kejujuran, cinta kasih, disiplin yang diramu dengan kejujuran hati. Selanjutnya menumpahkan semua itu dalam hidup keseharian. Tentu tindakan kongkrit adalah kunci penting dalam ejawantah sebuah pelayanan, alias tak hanya di ujung lidah. Sementara diketahui lidah tak bertulang.

Berani jujur dengan diri sendiri adalah modal utama ketika seseorang memutuskan terjun untuk melayani sesama, meningkatkan kekayaan spiritual, mengendalikan ego pribadi, dan menggunakan kemampuan plus talenta untuk tujuan mulia dalam mencetak nilai positif di kehidupan. Tantangan kan? Nilai akhir itu urusan yang Memberi Hidup.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Theodore Roosevelt bahwa selalu ada keuntungan di balik semua tantangan, kegagalan atau kecewaan, perjuangan.

About Gatot Irawan

Check Also

Yang Bermagnet di Honda Culture Indonesia Makassar

Makassar, NextID – Langsung saja ke sasaran, di Special Display Area di ajang Honda Culture Indonesia di …

Leave a Reply