Jakarta, NextID – Fotografi bawah laut sudah biasa kita nikmati via bidikan penyelam yang merangkap menjadi fotografer bawah laut, Tetapi menikmati keunikan biota bawah laut super kecil, masih langka di Indonesia, dan ternyata setelah terdokumentasi, “barang” itu unik-unik dan menarik.
Di Indonesia barulah Leksmono Santoso (Leks) yang mendokumentasikan dengan rapih lewat bukunya yang baru diluncurkan Sabtu malam (9/11) di Rumah Jawa Dua, Lebak Bulus, yakni “Indonesian Odyssey – Muck Diving Photography.” Ini bercerita soal fotografi bawah laut yang unik karena objeknya yang kecil-kecil. Peralatan kamerapun kudu spesial dalam menangkap objek secara makro.
Menurutnya, ukuran biota laut dari 2 mm hingga 15 cm. Kalau jenis ikan mulai dari 2 cm sampai 15 cm. Lain lagi jenis nudibranch dan spesies lain yakni 2 mm hingga 3 cm, sementara octopus dan udang matis relatif sama dengan ikan.
Leks yang sekaligus menjadi pelaku wisata khusus, jelas makin terpacu untuk berkontribusi lewat buku yang akan menjadi catatan sejarah itu, Untuk itu dia giat melakukannya, sembari memimpin tur bersama wisatawan mancanegara ke seluruh pelosok. Buku fotografi langka ini digarap bersama istrinya, Linda Hahn Santoso.
Leks mengawali usahanya sejak 1980-an selepas dari kuliahnya di NHTI Bandung. Kemudian bersama istrinya mengelola usaha perjalanan wisata khusus lebih serius ke daerah-daerah terpencil di Indonesia dan mancanegara. “Jauh sebelum mereka main di Indonesia Timur, saya sudah lebih dulu,” ujarnya bangga.
Bisnisnya ini karena khusus dan untuk orang-orang dengan minat khusus pula, Leks menamakannya “Redestin” – kepanjangan dari “Remote Destinations – Indonesia Eco-tour & Adveture Specialist, Dan, ini disambut meriah oleh konsumen yang rata-rata warganegara asing. Walhasil Leks menjadi yang terdepan di bisnisnya, dan dalam setahun bisa sampai membawa minimal 10 grup, dengan kata lain Leks jarang di rumah! Dan, dampak yang luar biasa pula, Roemah Jawa Dua terisi ribuan benda etnografi berkualitas!
Jelas ini membanggakan karena terbukti bisnis wisata jika dikelola serius maka hasilnya maksimal. Namun diakuinya ini berdampak, dia “diprotes” istri. Kompromi diputuskan, Lesks berkomitmen maksimal dalam setahun akan membawa 7 grup saja sehingga waktu bersama istri lebih berkualitas.
Dia bercerita soal destinasi yang berkesan ketika melakukan muck dive atau macro dive adalah Bitung di Sulawesi Utara, Laha di Ambon, dan Tulamben di Bali. Ini yang terkenal, namun sesungguhnya masih banyak spot lain yang belum diolah, mengingat sarana dan prasarana yang terbatas. Lokasi untuk muck dive, menurut Leks, umumnya dekat permukiman dan tidak memiliki karang yang indah, atau hampir dikatakan hancur. Hanya banyak sedimen, lumpur atau limbah manusia – seperti dekat dengan pelabuhan, kampung, atau dekat dengan gunung vulkanik.
“Mungkin faktor pengaruh dari limbah dan juga mineral serta sedimen maka makhluk-makhluk yang hidup di sekitarnya tumbuh karena faktor alam tersebut sehingga menjadikannya unik,” ujarnya.
Menurut Leks, hampir semua tempat memiliki kesan tersendiri. Tempat-tempat muck dive memiliki keunikan dan kesan tersendiri, sama dengan makhluk yang hidup di sekitar. “Berbagai spesies baru sering dijumpai sehingga kalau saya katakana destinasi yang baik, tergantung dari kemudahan dan banyaknya spesies yang ditemukan. Tidak mengherankan jika satu kali saat menyelam hanya menemukan 1-2 jenis. Ini belum termasuk kalau kita tidak mujur, Jadi faktor alam sangat menentukan, mulai arus, kejernihan air, musim dan sebagainya sehingga kita tidak melihat dan menemukan banyak spesies,” ceritanya.
Dari pengalamannya melakukan muck dive, semua biota laut sangat menarik. Mereka creatures – makhluk kecil yang aneh yang memiliki keunikan dan karakteristik berbeda. Ini menjadi tantangan untuk mengambil foto makro karena mereka hidup di lingkungan berbeda dan warna tubuhnya disesuaikan dengan habitat di mana dia tinggal. “Hampir semua makhluk ini memiliki kemampuan kamuflase dengan lingkungan agar terhindar dari predator,” ujarnya lagi.
Leksmono mengingatkan agar berhasil melakukan muck dive, peran muck dive guide sangat penting. Mereka inilah yang mengantar semua professional macro dive dunia dapat mengambil gambar yang baik berkat pemandu lokal khusus (muck dive). “Karena tidak semua dive guide bisa menjadi pemandu muck dive,” kisahnya.
Soal muck dive di Indonesia bagaimana petanya, Leks memaparkan, tidak terlalu banyak dibandingkan dengan dive operator konvensional. Ini karena keterbatasan pemandu, juga wilayah destinasi. Tidak semua destinasi diving dikembangkan untuk muck dive atau macro dive. “Kegiatan muck dive lebih banyak diminati oleh para pencinta photography macro umumnya. Jadi kalau kita ikut menyelam dan melakukan muck dive dan kita tidak membawa kamera, mungkin mudah bosan! Sebab, objeknya tidak melihat keindahan bawah laut dengan karang yang indah, namun melihat dan mencari makhluk kecil mungil yang kadang sulit dilihat dengan mata telanjang, harus dengan alat bantu barulah jelas. Jadi, muck dive itu sesungguhnya untuk penyelam yang berpengalaman cukup dan mempunyai hobi fotografi bawah laut, khususnya macro photography,” tuturnya.
Tantangan muck dive ini banyak, begitu menurutnya. Tidak setiap menyelam kita sontak menemukan makhluk kecil yang kita harapkan. Jadi harus ekstra sabar. “Setiap saat kita bertualang muter-muter dulu dan mencari makhluk eksotis yang kecil-kecil. Penyelam lebih banyak berdiam di satu titik jika menemukan objek foto dikarenakan setiap menemukan objek, diperlukan waktu cukup lama untuk mengambil objek foto makro tersebut,” kisahnya.
Menurut Leks, kemampuan teknik boyansi yang baik diperlukan saat melakukn kegiatan ini sehingga tidak membuat air keruh karena tidak memiliki keseimbangan boyansi, mengingat dasar lautnya terdiri dari sedimen dan lumpur. Sabar dan ketenangan diperlukan pada saat pengaturan dan pengambilan gambar karena objek kecil, juga arus dan objek bergerak diperlukan kemampuan dalam melakukan pengaturan peralatan dan lensa di bawah air dengan baik untuk hasil optimal.
Sarannya, ketenangan dan kehati-hatian diperlukan, mengingat saat pengambilan gambar kita juga wajib mengontrol dan mengecek kebutuhan oksigen karena kita mengambil gambar di bawah laut bukan daratan. Maka perlu perencanaan sebelum pengambilan gambar untuk keselamatan diri sendiri mutlak diprioritaskan. “Jangan asyik mengambil gambar ternyata oksigen kita habis dan fatal!”
Satu Setengah Tahun
Leks bercerita soal proses pembuatan buku yang memakan waktu 1,5 tahun lamanya. Ini justru menjadi menarik dan penuh tantangan karena dilakukan sendiri, mulai pengambilan gambar, desain, penulisan dan percetakan. “Ya, saya harus bulak-balik memeriksa, sembari saya juga menyelam untuk mengambil gambar lain,” ujarnya.
Tujuannya menerbitkan “Indonesian Odessey” adalah promosi pariwisata bahari, khususnya muck dive yang merupakan wisata menyelam yang dikategorikan masih kurang popular karena terbatasnya peminat. “Diharapkan dengan terbitnya buku ini, Indonesia akan terus dikenal sebagai destinasi muck dive terbaik di dunia seperti saat ini. Rencana pendistribusian buku ini via toko buku pilihan dan dive shop. Hasil penjualannya akan disumbangkan ke pondok pesantren dan yatim di Madura dan Pemalang,” ujarnya.