Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Tenun bermotif etnik Badui, batik motif sekar jagat, dan kain motif Betawi. Semua itu yang disuguhkan desainer Kinto Wardani pada pergelaran busananya di Plenary Hall JCC, pada 4 April lalu. Dia menjadi salah satu pengisi acara di Indonesia Fashion Week 2024 yang digelar khusus di sana.
Sekitar 9 busana diperagakan “Nine Round by Kinto Wardani” siang jelang sore itu Menurut Kinto Wardani, persiapan yang dilakukan lebih kurang 2 bulan. Tak butuh waktu lama untuk mempersiapkannya, namun hasilnya asyiek untuk disimak.
Memang sih, pekerjaan yang dilakukan dengan suka cita akan memberi kesan dalam bagi yang menyaksikannya. Pendapat itu dibenarkan oleh perempuan asal Malang yang kini berdomisili di kota kembang itu. “Sesuatu yang menyenangkan bagi saya ketika dimampukan untuk memadukan banyak unsur, untuk melahirkan sesuatu yang harmoni,” jelasnya dalam kiprah karirnya.
Perempuan berlatar belakang arsitek jebolan sebuah Perguruan Tinggi di kota Malang itu lantas mengemukakan corak pemikirannya, mengapa sampai tertarik “nyemplung” di dunia fashion. Menurutnya antara lain, karena ia ingin menghasilkan sesuatu karya yang berbeda dari yang lain, dengan cara memadukan kesan selaras antara bentuk, rupa dan warna.
Menurut Kinto, perpaduan itu ternyata tak hanya sebatas fashion namun juga dalam mendesain, patchwork, patung, craft, aksesori, hingga interior bangunan. Ehm, mumpuni nih! Rasanya kenyataan ini akan dialami seseorang di kala memeluk rasa dan karya dengan sejuta cinta.

Mengekpresikan cinta terhadap dunia fashion memang dibutuhkan kecermatan dan kebijaksanaan. Betapa tidak, karya busana Kinto mengetengahkan motif etnik beberapa daerah di negeri ini, namun kesan futuristik dan nilai moderen itu tetap disiasati, maka kesan yang lahir adalah sebuah suguhan busana yang harmoni.
Deretan yang disuguhkan menyiratkan paduan antara kepekaan rasa seni, ketajaman membaca pasar dan kekuatan wastra Indonesia. Hal itu diakui lewat kalimatnya. “Saya memang hadir dengan motif batik sekar jagat. Dalam motif ini berpadu pula berbagai motif batik. Untuk unsur Betawi saya terapkan selendang yang menjuntai di dada. Memang itu khas Betawi namun ada bagian-bagian pola pada gaun tertentu yang terbuka.”
Lanjutnya, “Bagaimanapun itu salah satu upaya untuk menarik perhatian para muda dalam memilih gaun, dan agar mereka bisa memahami bahwa motif-motif kain kitapun bisa membuat tampilan menjadi segar dan futuristik,” tutur Kinto yang menjadi anggota Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) sejak 2015.
”Kemerdekaan” dalam berkarya yang tak dibatasi oleh ras dan agama tentu akan melahirkan karya-karya yang jitu. Selain itu dapat mengoptimalkan sepenuhnya bagian kekayaan seni budaya bangsa ini, berupa wastra. Helai demi helai kain yang digunakan pasti mengandung kisah dan kekayaan filosofi di mana kain itu dibuat atau ditenun. Ini saja sudah memberi daya tarik tersendiri.

Nah, lepas dari “kekuatan” helai kain, mencintai sebuah profesi adalah suatu proses aktualitas diri yang bisa memicu orang melahirkan tindakan produktif dan kreatif. Itu yang terkesan dalam perjalanan karir Kinto di ajang fashion negeri ini. Dua mata uang yang ia “mainkan” dengan elegan lewat karya-karyanya. Mempertahankan keindahan kain, sekaligus mengembangkannya.
Mengapa Tenun Badui
Dalam banyak rancangannya Kinto mengetengahkan kain tenun Badui. Menurutnya, ada kesederhanaan dalam tenun Badui, baik itu bahan dan juga motif. Di mata Kinto, tiap warna ada keindahan. “Saya kagumi pengrajin Badui itu mampu mencuatkan harmoni dari setiap helai kain yang ditenun. Itu yang mendorong saya untuk menerapkan tenun mereka di setiap karya busana saya. Base rancangan saya ya tenun Badui,” tegasnya.
Sungguh pun begitu ia mengaku bahwa ia bukanlah seorang pengamat kain yang baik, namun yang pasti Kinto tetap bangga dengan karya anak bangsa. Mode atau desain kain-kain kita hebat. Wastra terus dikenal dan mendunia. Dari mulai kebaya, kain-kain hingga aksesori pelengkap busana.
Dalam menggarap karyanya tentu Kinto punya target. Antara lain agar orang Indonesia bangga mengenakan wastra Indonesia dalam keseharian atau ketika masuk dalam rutinitasnya. “Dengan begitu keragaman wastra kita akan terlihat. Banggalah akan budaya bangsa,” tandasnya.
Menurutnya kini di kalangan perempuan dewasa mulai membuka mata akan adanya cara berbusana yang lain, (tidak jadul, red). Sementara untuk kawula muda mulai ada ketertarikan mengenakan wastra kita. “Walau mungkin masih malu-malu. Saya akan terus semangat mensosialisasikan wastra ini melalui karya-karya saya,” janjinya.
Hidup dalam peradaban modern di era globalisasi informasi yang menggilas dunia, tak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual, jam terbang yang tinggi, keterampilan, atau multi bakat. Sebuah penelitian mengatakan bahwa dalam kesuksesan masih diperlukan keahlian membina hubungan antar manusia budaya, atau human relationship. Nah, kepandaian membangun hubungan antar manusia ini merupakan bagian dari budaya dan seni yang didasari akar budaya itu sendiri.

Kinto lewat gaun-gaun dan setelan padu padan busananya mempertontonkan akar seni-budaya Indonesia. Keindahan akan menjadi gerbang, menjadi warna sekaligus menjadi jaminan bahwa budaya bangsa ini luhur dan tinggi. Keindahan sebuah budaya menjadi “taman” yang hidup dan mampu menghidupi sebuah bangsa.
Hari ke depan, tentu diharapkan peragaan busana sejenis tak hanya di panggung peragaan namun juga di banyak komunitas kalangan para muda khususnya, karena merekalah yang akan memegang tongkat estafet negeri ini. Melestarikan budaya sekaligus memagari budaya bangsa dengan hal-hal yang positif.
Seni memang tak mengenal batas. Sesungguhnya manusia dituntut untuk menciptakan keindahan. Seperti kata John Kets, “A thing of beauty is a joy forever” dan itu dihadirkan Kinto Wardani lewat panggung busananya yang etnik moderen dan menawan.