Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Kasih adalah anugerah dalam diri manusia yang dihadiahkan Allah. Maka kasih itu tiada fungsinya jika tidak digunakan dengan tepat dalam kehidupan nyata. Kasih yang tulus idealnya harus operasional dan difungsikan dalam kehidupan nyata. Maka tak berlebihan jika kasih dan perhatian adalah dasar dari kreasi dan kinerja manusia.
Nah, bukankah kasih itu bicara hati. Sementara hati adalah muara berbagai niat yang ada, hidup bahkan berkembang dalam pribadi manusia itu sendiri. Maka, dapatlah dirasakan bahwa kasih adalah daya hidup dan potensi yang menghidupkan. Rasa kasihlah yang mendorong seseorang untuk berbuat dan berkarya untuk dirinya dan sesama. Itu sebabnya, orang bijak mengatakan bahwa jika mau melihat Tuhan maka lihatlah sekelilingimu.
Sebagaimana nyatanya, kasih itu adalah perwujudan yang paling konkrit dari kebebasan untuk melayani sesama. Karena kasih itu berpusat pada hati maka menyenangi sebuah pekerjaanpun tak lagi dapat direkayasa. Semua dilakukan dengan tulus. Dalam realitas keseharian muncul tiga nama yang menabur kasihnya terhadap sesama. Mereka adalah, Berry Akihary, Reynold Andree Luntungan dan Harry Premiadi.
Rentang waktu puluhan tahun mereka abdikan dirinya untuk sesama. Bagi anak-anak berkebutuhan khusus, terhadap anak anak yang hidupnya di tengah keluarga yang berekonomi lemah. Bahkan mereka hadir di tengah keputusasaan banyak orang yang menghadapi kehidupan ini. Sungguh, kasih dan cinta itu membebaskan mereka dari sikap memilih. Pasalnya, sebelum melangkah Tuhan sudah memilih mereka bekerja untuk kemanusiaan ini.
Pertanyaannya, apakah terjun ke dunia pendidikan dan sosial kemanusaan ini mereka lebih dulu membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing. Jawabnya, ya! Bahkan dengan kesungguhan dan perjuangan atas panggilan yang berdasarkan cinta kasih ini mereka sudah berada di jenjang strata dua, dan ada yang sedang dalam menyelesaikan tesis doktoralnya.
Di tengah berkecamuknya negeri ini, di tengah kunjungan Covid-19, John Kets mengatakan keindahan hidup manusia tak semata sebuah harapan, namun sesuatu yang juga harus diusahakan. “ A thing of beauty is a joy forever,” tandas John Kets.

Menangani Anak-Anak Berkebutuhan Khusus
Adalah Reynold Andree Luntungan (46) yang di tengah menyelesaikan desertasi doktoralnya terus mendalami soal pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Di samping itu, diapun berbenah untuk sekolah dan yayasan untuk anak-anak tersebut. Ayah dari dua orang putri ini berkisah, terjun ke dunia pendidikan anak berkebutuhan khusus dibutuhkan konsentrasi penuh.
“Mengurusi warga negara berkebutuhan khusus (WNBK) dan anak berkebutuhan khusus ( ABK) membutuhkan kepedulian mutlak. Sampai dengan hak dan perlindungan mereka perlu diterapkan dengan benar. Kenyataan itu juga akan menstimulus keberadaan kita. Sejauh apa panggilan jiwa dan talenta kita yang bisa diterapkan menghadapi mereka, atau sejauh mana karunia Tuhan yang kita dapatkan bisa digunakan untuk mengajar mereka agar bisa hidup wajar dan mandiri,” pernyataan Reynold yang juga Ketua Yayasan Epiginosko Indonesia itu.
Puluhan tahun ia menjadi pendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Karir yang dimulai dari menjadi guru di sebuah sekolah di bilangan Jakarta Selatan, kemudian membuka ruang belajar untuk anak-anak tersebut di teras rumahnya. Dan sampai kini ia menjadi Koordinator Sekolah Ramah Anak Berkebutuhan Khusus “Epiginos Indonesia.”
Mengapa ia memilih jalur Pendidikan di ABK, ini jawabnya. ”Saya melihat banyak peserta didik yang membutuhkan layanan ini namun jumlah sekolah dan pengajar tidak memadai. Ternyata di negara kita saat ini WNBK sangat banyak. Jika tak ditangani akan menjadi beban warga keluarga bahkan negara. Setelah saya terjun ke dunia pendidikan sejenis maka saya melihat banyak peserta didik yang tertolong. Itu sebabnya saya siap menjadi mitra pemerintah untuk berkolaborasi memikirkan dan mencari jalan keluar untuk hal ini.”
Lebih lanjut Reynold menjabarkan, pendidikan dan pelatihan untuk WNBK tujuannya membangun kualitas hidup mereka secara terpadu, sehingga mereka nanti bisa berkarya mandiri. Tentu saja hal ini perlu dukungan semua pihak, terutama dari pemerintah.
“Bukti kongkrit masih minimnya rumah belajar berkebutuhan khusus atau semacam BLK untuk menolong para WNBK/Disabilitas, yang selama ini hanya di kota-kota besar bisa ditemui. Hal ini harus dipecahkan oleh banyak pihak terkait,” begitu harap Reynold yang untuk membekali diri mengikuti pendidikan ini rajin mengikuti berbagai pelatihan.
Jika mampu memaknai sebuah kecerdasan maka setidaknya kita bisa menciptakan peluang kerja. Nah, peluang yang ditangkap oleh Reynold antara lain, memperhatikan kelanjutan hidup anak-anak berkebutuhan khusus. Yaitu dengan cara membuka ruang-ruang belajar di bawah naungan Yayasan Epiginos Indonesia yang dipimpinnya.

Dari Tiada Menjadi Berkat
Sejak tahun 1999 nama Berry Akiary (47) tak pernah hilang dari melayani orang-orang yang kerasukan setan, kecanduan narkoba, kehilangan ingatan karena stress, berbagai penyakit dan masyarakat yang kurang mampu kehidupan kerohaniannya. Itu tak mudah karena dibutuhkan kesabaran dan mampu membaca kebutuhan awal agar komunikasi yang baik dapat terjalin. Pendekatan yanh masif mau tidak mau harus dilakukan dengan benar dan tepat.
Hal itu diakui oleh ayah dari tiga putra ini. “Dalam menjalankan misi kemanusiaan ini tentu saya minta kekuatan kepada sang Maha Kuasa. Itu yang terpenting. Yang saya hadapi adalah jiwa. Bukan benda mati yang bisa diperbaiki dan dibentuk sesuai harapan dengan cepat. Kembali lagi semua karena karunia Tuhan, saya bisa menjalaninya hingga saat ini,” sibak Berry yang juga sedang menyelesaikan desertasi di tingkat magisternya.
Nah, soal rasa mengasihi sesama harus dimiliki mereka yang terjun ke dunia sosial, ke dunia pelayanan, tanpa itu sepertinya nol belaka. Bagaimana tidak, mengasihi itu harus utuh dan universal. “Tidak mengenal perbedaan suku, wilayah, ras, agama dan status. Yang ada adalah ketulusan tanpa pamrih. Apalagi di era lawatan Covid-19 ini, rasa kemanusiaanlah yang harus di ketengahkan. Sebab jangakauan kami sampai di bawa kaki gunung. Siapa yang mau memperhatikan mereka di masa sulit ini. Maka tim saya membawa sembako dan obat-obatan yang memang sangat dibutuhkan,” tegas Berry
Menyangkut soal kemanusiaan ini, maka tiada hari tanpa blusak-blusuk ketujuan yang harus dibantu.
Itu tak menjadi penghalang baginya, walau kesibukkan rutinitasnya karena ia tercatat sebagai bagian dari jajaran kerja di Lembaga Alkitab Indonesia Jakarta. Ketika panggilan jiwa itu datang maka tak ada yang bisa menghalanginya, karena keberadaan manusia di dunia ini membawa fitrah-fitrah tertentu yang harus diikuti.

“Bukankah tubuh ini adalah harta bagi jiwa. Tugas kita adalah menjaga hati, sikap dan tindakan agar terpadu dengan baik dan bisa dirasakan bagi sesama yang membutuhkan. Saya menyadari penuh, jika seseorang yang mencintai Tuhan maka dimensi rohani merupakan wilayah dari kekuasaan Tuhan.
Melihat hentakan kerja Berry ke depan, luar biasa. Dijabarkan di sini dalam melayani soal kemanusiaan ini tidak akan selesai, namun dengan santai ia berkomentar, “Tenang saja, dan jalani. Jika Tuhan yang sudah atur, semua ada jalan keluar terbenar.”
Yup. Berry tak meleset berpendapat begitu karena adakah sehelai rambut yang gugur tanpa kehendak-Nya? Sekalipun yang dihadapinya adalah orang orang yang bermasalah berat dalam hidupnya namun ujud cinta sesama yang dipahaminya menyiratkan bahwa iapun mencintai sang pencipta-Nya.
Sentuhan itu Perlu
Tahun 2016 ia mulai melakukan sentuhan kepada banyak orang. Ia pahami bahwa di luar sana banyak orang yang membutuhkan sapaan yang menguatkan jiwa. Komunikasi ringanpun dimulai. Hal itu dimulai Harry Premiadi (57) – Koordinator Petra Peduli – Bali, justru melalui layar medsos. “Di luar sana banyak jiwa yang membutuhkan konseling. Singkat cerita saya pernah dipertemukan dengan seorang ibu asal Hongkong,ia mempunyai dua orang anak. Suaminya bekerja di sebuah hotel namun sang suami punya kelainan. Dari perilaku itu, akhirnya keluarga ini harus berhadapan dengan hukum.”
Kenyataan itu membuat sang istri ingin bunuh diri, dan mau melompat dari lantai 23 ketika anak anak mereka sedang sekolah. Waktu itu tepat ada video call, dan saya bicara kepadanya, karena hikmat Ilahi, dia urungkan niatnya lalu menangis sejadi-jadinya. Puji Tuhan, setelah didampingi beberapa waktu ia sadar penuh bahwa bunuh diri adalah perbuatan keji dan tindakan itu pasti tidak dikehendaki Allah. Kini atas kehendak-Nya juga ia sudah ikut melayani di gereja,” ujar Prem, demikian ia sering disapa.

Menurut Prem, perlakuan yang ditujukan kepada orang-orang yang depresi dan sejenisnya saat ini lebih banyak penghakiman. Tanpa ada solusi yang dapat memberikan jalan keluar yang benar atas sebuah persoalan yang mereka hadapi, tentu akan menambah keruh suasana. Tak dipungkiri bahwa Prem pun menemui banyak orang menjadi depresi karena adanya tekanan ekonomi dan kenyataan itu menempati peringkat yang paling atas. ”Yah, akibatnya tekanan ekonomi ini orang menjadi frustasi. Sering ditemui kok, masalah rumah tangga muncul karena disulut faktor ekonomi tadi,” tegasnya.
“Saya melayani orang dengan latar belakang berbagai agama, status, dan sosial. Mengapa banyak yang krisis iman saat ini? Wong pemimpin agamanya hanya menjanjikan harapan palsu. Dikatakan nanti akan ada berkat, ada mujizat, pendapatan akan berlipat kali ganda jika menyumbang ke rumah-rumah ibadah. Mereka tidak mendapatkan seperti yang dijanjikan maka frustasilah jadinya,” kisah Prem lagi.
Menurutnya, memberi sentuhan itu harus tak lepas dari apa yang sudah dimateraikan di kitab suci. Lepas dari itu berarti sudah melenceng. Manusia sosial semua membutuhkan sentuhan. Sentuhan itu bukan semata-mata dari materi, harta benda, atau terlebih uang. Dari komunikasi yang baik dan jujur pun sudah merupakan sebuah penguatan.
“Semisal begini, untuk menguatkan mental, kita harus berkunjung. Dalam berkunjung haruslah sedikit bawa buah tangan, mie instan, gula kopi atau sembako, mungkin juga sedikit uang. Sebelum Covid hal ini saya lakukan, ada kerjasama dengan sahabat di NTT dan Menado dan setelahnya bikin laporan transparan. Namun di era Covid ini semua menjadi sulit, maka kami break dulu. Menjangkau jiwa-jiwa yang “hilang” itu sudah tugas saya, dengan sukacita saya melakukan hal itu,” begitu Prem membeberkan kisahnya.
Perjalanan menjangkau jiwa-jiwa yang tersakiti, yang kecewa, yang tertanam akar pahit dalam hidupnya bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Prem merasakan dan mengakui hal itu. Semua membutuhkan waktu dan kesungguhan. Apa yang dilakukan tanpa tendensi dan kepentingan pribadi tapi setulus-tulusnya untuk menebar kebajikan dan kebaikan. Apa yang ia lakukan adalah ajaran murni tanpa “ragi yang mengkhamirkan adonan.”
Makna ketulusan dari sebuah kasih itulah agaknya yang membuat soal cinta kasih sesama dan Sang Pencipta selalu didengungkan, sekaligus dianjurkan. Bahkan beberapa tahun terakhir hukum cinta kasih ini dibuat sebagai senjata untuk menghadapi krisis-krisis peradaban dunia. Saat ini nilai cinta kasih itu sudah ditanggalkan orang, yang dipertebal adalah nilai materi yang ujungnya menimbulkan egoisme, individualisme serta merestui banyak cara untuk mencapai tujuan.

So pasti semua tindakan itu akan mencabik-cabik keharmonisan dalam jiwa umat manusia. Maka sangat jitu jika Erich Fromm mengatakan, peradaban moderen telah membentuk manusia dan lingkungan berjalan layaknya otomatis yang menghasilkan uang, dan itu kehilangan nilai-nilai cinta kasih dan kemanusiaannya.
Tentu di era yang kisruh ini dibutuhkan sikap dan cara pikir seperti tiga nama di atas. Mereka bekerja karena memang mereka harus bekerja. Untuk hasil yang akan diraih dari pekerjaan itu tentu sudah ditakar oleh yang Maha Kuasa.
Pribadi yang dilengkapi putihnya nurani, akan dimampukan melakukan inovasi dalam melayani sesama. Keyakinan bahwa hari kemarin adalah masa lalu yang harus disempurnakan, sementara masa kini menjadi jendela usaha untuk masa depan. Kesinambungan seperti ini tentunya menciptakan kehidupan yang indah karena dimampukan untuk saling memperhatikan dan menolong sesama.
NextID What's Next ?
