Jakarta, NextID – Berbagai pilihan manusia bebas menerapkan gaya hidupnya. Yang pasti untuk menjalani hidup minimal keindahan rasa, alam pikir dan perbuatan yang sejalan akan menjadi gerbang kehidupan yang merenda hasil yang bisa dinikmati diri sendiri, dan tentu juga orang lain. Adalah nama seorang pengiat sastra, Ayu Yulia. Di tengah carut-marutnya kejadian yang menyesakkan dada di negeri ini, perempuan kelahiran 1968 itu muncul lewat buku kumpulan puisinya, ”Tarian Badai.”
Asyik juga nih, menari di tengah deru badai. Tentu dibutuhkan kekuatan untuk berpijak dengan kuat, helaan nafas yang teratur, dan kekayaan bidikan yang tepat, agar tak jatuh melakukan gerakan di tengah badai.
Ehm, multi tafsirkan? Bukankah memang demikian jika menyimak bahasa sastra lama yang berupa puisi ini. Mengapa ibu dari dua putra dan seorang putri ini memilih judul seperti itu. Sesungguhnya, alasan itu sudah dijawab Yulia ketika bedah bukunya – “Tarian Badai” – berlangsung pertengahan Agustus 2022 di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Tentu saja di buku setebal 118 halaman itu, Yulia mengungkapkan rasa gundah, cinta, masgul, sukacita, dan harapan kepada Sang Khalik. Semua rasa itu yang kemudian dicerminkan sebagai “badai.” Badai jiwa dalam menata kehidupan itu lantas dimuntahkan ke dalam puluhan judul puisi. Cerdas kan?
Menyampaikan berbagai kejadian itu dalam bahasa kalbu yang justru multi tafsir. Apakah ini lantas bisa dikatakan sebagai puisi prosa atau segudang istilah, silahkan saja. Namun benang merah kehidupan itu ia renda menjadi sebuah karya yang patut disimak, dipelajari dan ditelaah dalam kurun waktu, tentu.
Simak saja, puisinya yang diberi judul
“Merengkuh Hati”
Ada kalanya hati
punya alasan
yang tak dimengerti
namun harus diterima (halaman 12)
Puisi prosa yang simpel kan. Yulia tak heboh harus mencari kata yang “mlintir,” tekuk-menekuk atau kata bersayap, yang terkadang hanya sang penyair dengan Tuhannya yang paham. Yang tak dimengerti, namun harus diterima…..
So, manusia adalah makhluk sosial. Manusia tak bisa hidup sendirian, kebutuhan terhadap orang lain adalah manisfestasi kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Itu harus diterima seperti yang dikatakan Yulia jelas menggarisbawahi kodrati manusia yang memang harus menerima kenyataan dalam hidupnya. Badai kan?
Mari kita lihat halaman 74.…..
Kau tegur aku dengan cubitan-Mu
sakit bukan kepalang
Namun membuatku sadar
hanya pada-Mu
harusnya cinta tertuju…
Dia memang segalanya. Ini makna dasar eksintensi dan inti pemahaman Yulia atas kebesaran-Nya. Dan itu menjadi landasan hidup manusia. Cinta kepada-Nya adalah potensi paling luhur yang dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan. Cinta memang merupakan inti kehidupan manusia dan seharusnya menjadi kompas manusia dalam tatanan kehidupan.
Mengutip para filsuf fenomologis tentang cinta antara lain, Max Scheler. Cinta adalah memberikan diri seseorang kepada sesuatu keberadaan yang total, karena itu cinta menyikapi esensi keberadaan manusia dan karena alasan inilah cinta merupakan suatu aspek pengetahuan fenomenologis. Katanya, sesungguhnya cinta yang sejati adalah Tuhan.
Rasa cinta yang ada kepada Sang Pencipta, kepada lingkungan dan kehidupan sehari-hari disyukuri dan dituangkan dalam larik-larik puisinya. Dalam kepekaan yang dimiliki Yulia, ia lantas mempunyai kemerdekaan, ketulusan, keindahan bahkan keinginan berbagi yang disampaikan dalam pemenuhan kata-kata. “Badai Indah”
dalam tarian itu disuguhkan Yulia dalam larik puisi pendek-pendek, mudah dicerna dan kuat untuk diingat.
Dalam beragam kehidupan, selanjutnya dialirkn menjadi bait-bait puisi. Yang lain, soal kepekaan akan problema hidup dilihat sebagai urusan penghayatan dan pengalaman hidup, dan Yulia terkesan tak heboh dengan perumusan dan pendefinisian dalam merenda kata untuk menjadi bait-bait karya puisinya.
Jika tanaman tumbuh, bertunas dan mengeluarkan kelopak indah di tangannya, maka tak beda jauh dengan langgam karya puisinya yang muncul di gemuruh badai kemanusiaan di ranah Pertiwi. Bagaimanapun badai hidup adalah memandang segala yang baik dan indah dari-Nya. Menarilah terus di tengah badai hingga tak lagi mampu melakukannya. Bukan begitu Yulia? (Martha Sinaga)