Jakarta, NextID – Mengamati cerita perjalanan keberhasilan hidup seseorang seringkali memantik berlapis rasa. Rasa simpatik, rasa takjub, rasa ingin mengalami hal yang sama. Yah, rasa yang senada dengan itu. Terlebih jika, sosok yang diamati menjalani hidup tidak ngoyo namun rezeki, kedudukan, kehormatan akhirnya menjadi bagian cerita diri. Siapa yang tak mau? Itulah Mbak Tuti Nusandari Roosdiono.
Sejak dulu ia selalu tampil menarik. anggun, elegan dan penuh senyum. Kata orang bijak, senyum itu bagian dari ibadah. Sebab hati yang gembira adalah obat. Padahal jika dilihat dari latar belakang, perempuan berparas “njawani” ini punya hobi olahraga, musik dan melukis.
Konon, seorang seniman terkadang cuek dengan tampilannya, walau tak semua seniman begitu. Kenyataannya yang mereka garisbawahi adalah ketika karya seni mereka dinikmati, dimiliki, dan dibicarakan publik – lepas dari penilaian suka dan tak suka, atau pro-kontra. Tuti, begitu akrab ia disapa, berangkat dari seni melukis, di samping mengantungi juga talenta di seni peran, yang kaitannya erat dengan budaya negeri ini.
Suatu hari perempuan aktif ini tidak hanya berkiprah dikarya seni kukis & seni panggung, tetapi masuk juga ke dalam ajang seni berpolitik. Nah, rasanya yang terakhir perlu disimak, karena menurut Tuti, dia menikmati berpolitik karena itu juga ada seninya. Maka seberat apapun kerjanya di lakoni dengan penuh percaya diri dan manikmati. “Berpolitik itu juga seni,” begitu pendapat Tuti yang juga pendiri Perempuan Berkebaya Indonesia & Kebaya Foundation.
Satu Panggung ke Panggung lain
Ngobrol dan bertukar pikiran dengan ibu yang memiliki dua putri serta lima orang cucu, atmosfirnya “nyantai” banget, namun sarat makna. Tuti berkisah mengenai hobi melukisnya. Sekitar tahun 1990-an, ia mulai belajar melukis bersama empat rekannya berguru kepada seorang Pelukis Handal. Saat mulai berpameran pertama kali di Executive Hilton Hotel lukisannya banyak digemari orang dan terjual. “Wah, di situ semakin bersemangat saya melukis. Senang banget rasanya,” kenang Tuti yang hingga kini kurang lebih 200 lukisan berhasil diselesaikan dan terjual.
Begitu juga ketika ia bergabung di kelompok Wayang Orang, Ketoprak maupun Sandi Bekso. Selain manggung di Jakarta, Tuti dan kawan sempat bermain wayang di Sydney Opera House, juga pernah di Istana Negara, dan juga di UNESCO Paris. Itu hanya sebagian kecil pengalaman perempuan kelahiran Salatiga 21 Agustus itu.
Dalam berkarya dan bekerja Tuti mempunyai motto “Do your best and let God do the rest.” Itu otomatis terbawa dan dalam berpolitikpun Tuti juga punya motto “Gotong royong – Guyup rukun – Tandang gawe.” Ini mengingatkannya kepada sikap dan tindakan Bung Karno saat berkunjung ke banyak negara. “Bung Karno menghapus kebekuan diplomatik dengan sentuhan budaya. Suasana menjadi cair dan sangat bersahabat ketika pembicaraan dimulai dengan kekayaan budaya dua belah pihak,” sebutnya.
“Suatu hari Mbak Puan Maharani menawarkan saya untuk bergabung dengan PDI Perjuangan. Saya terima tawaran itu,” Tuti membuka cerita awal mula terjun ke dunia politik.
“Saya sempat berpikir kala itu bahwa selama ini saya tak pernah bermimpi masuk ke sebuah partai dan menjadi salah satu anggota dewan. Hanya saja dorongan hati kecil berkata, jika dari sini banyak fasilitas yang bisa berbagi kepada masyarakat luas, mengapa tidak?” kisahnya berlanjut.
Waktu bergulir, langkah pasti pun mengayun. Keputusan telah bulat untuk bergabung dengan partai Kepala Banteng itu. Sejak itu nama Tuti Roosdiono bisa ditemui di Komisi 1 di periode 2014-2019, dan Komisi IX di periode 2019-2024 sebagai Anggota Dewan dari Fraksi PDI Perjuangan. Blusukan adalah sudah menjadi kebiasaannya, dan Tuti sangat menikmatinya.
Dengan itu pula berarti Tuti telah menjadi seorang politikus yg handal dari Dapil Jateng I, tanah kelahirannya dan tanah kelahiran Ibundanya. “Memeluk Asa di Tanah Asal,” begitu peribahasanya. Berbahagialah sosok yang bisa “pulang” dan membangun kota kelahirannya yaitu Kota Salatiga. Di samping juga termasuk kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal.
Mengikuti kisah Tuti dari ibu rumah tangga, seniman, lalu ke dunia politik asyik juga. Setidaknya semakin memahami, bahwa tak ada kata mustahil di kolong langit ini bagi sosok yang memang mau bekerja keras. Badai pasti menerjang namun bagaimana bisa tetap menari di tengah derasnya hujan. Begitu kan Mbak Tuti.
“Iya mbak, hidup saya seperti Air Mengalir, semua saya jalani dengan baik. Saya nikmati setiap tugas, dan saya syukuri setiap saat,” tutur perempuan yang masa kecilnya di Solo, Salatiga, Jakarta hingga ke Washinton DC ketika harus menyerap ilmu.
Di Amerika, Tuti diangkat anak oleh Keluarga Richard Reed, dan punya 4 saudara yg hingga kini hubungan mereka sangat baik.
Tuti memang nyaman diajak komunikasi. Mungkin karena ia menyadari penuh bahwa dengan berkomunikasi akan bisa membuka kebuntuan menjadi jalan terang. Dan Tuti benar, tak ada masalah yang tak dapat diselesaikan dengan berkomunikasi. Seperti yang dikatakan Sun Tzu bahwa orang sukses pasti mempunyai keterampilan luar biasa untuk mengatasi konflik dan memastikan yang terbaik bagi semua.
Tuti menjabarkan itu dengan santai, sambil diselingi tawa kecilnya. Menggenggam pekerjaan yang diejawantahkan untuk membantu dan membangun kampung halaman dan sekitarnya tentu punya arti besar bagi Tuti.
“Saya sebagai penyambung lidah masyarakat di dapil, apa saja yang mereka butuhkan untuk menunjang kehidupan, apa yang mendesak untuk dapat diterapkan dalam pelatihan. Dengan demikian skill terbentuk, tenaga profesional lahir, bisalah membangun kehidupan mereka ke depan lebih baik lagi. Soal bantuan ke masyarakat banyak contoh. Salah satunya membantu proses izin BPOM untuk Home Industry mereka,” ujarnya.
Melihat penampilan seniman yang politikus ini, gerak dan tindak cerdasnya sejalan. Nilai prioritas rasanya sudah tak sepenuhnya berlaku, mengingat semua penting, semua harus selesai sesuai jadwal. Herannya, Tuti masih bisa meluangkan waktu untuk hidup berorganisasi.
Kuatkan Budaya Berkebaya
Lihat saja, antara lain ia muncul sebagai pendiri dan ketua dari Kebaya Foundation yang kini ikut berpartisipasi untuk mengusung kebaya ke Unesco sebagai heritage non benda. “Sebenarnya saya berpikir kebaya ini harus dikuatkan dulu di dalam negeri. Kan kita belum punya Hari Kebaya Nasional. Jika itu sudah terwujud maka baru melangkah ke Unesco, ke skala yang lebih besar. Toh semua tujuannya baik. Tapi kuatkan dulu tapak kita di negeri sendiri,” ujarnya serius.
Tuti berharap Pemerintah Pak Jokowi segera mencanangkan Hari Kebaya Nasional, bahkan kenapa tidak diusulkan seluruh masyarakat Indonesia khususnya anak-anak sekolah/mahasiswa setiap hari “Selasa Berkebaya.”
Lewat sosok yang satu ini, semoga bisa menampung inspirasi dan apresiasi masyarakat agar budaya Nusantara lebih terjaga baik. Punya tiang-tiang yang kokoh berkesenian dan berbudaya.
“Mari kita lestarikan dan kembangkan budaya luhur kita dengan tidak menghilangkan jati diri bangsa yang bermartabat. Mari membungkus perjalanan hidup bangsa dengan dengan etika dan tata krama yang luhur,” ajak Tuti Nusandari Roosdiono, menutup kisahnya. (Martha Sinaga)