Home / LifeStyle / Leisure / Corp / Negara Barat yang Dikte Indonesia Dikritisi Mahasiswa
Dalam diskusi virtual oleh mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (Unibraw), pernyataan salah satu nara sumber Bagas Hapsoro menarik. Walkout atau keluar ruangan merupakan demonstrasi ketidaksenangan. Namun walk out tidak mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Ist

Negara Barat yang Dikte Indonesia Dikritisi Mahasiswa

Jakarta, NextID – Para mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (Unibraw) menilai Indonesia dalam posisinya sebagai Ketua G20 berpeluang menjadi juru runding penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Langkah ini sebagai mediator sesuai dengan prinsip politik bebas aktif. 

Pernyataan tersebut merupakan salah satu kesimpulan diskusi yang dilakukan secara daring pada hari Sabtu (30 April 2022). Dibuka secara resmi oleh Nabila Hasna, Wakil Presiden Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Chapter  Universitas Brawijaya, disampaikan bahwa mahasiswa mengharapkan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dapat diketahui secara langsung masyarakat, termasuk kalangan akademisi. Dengan acara ini diharapkan dapat diadakan pencerahan tentang suatu kejadian internasional yang berdampak kepada Indonesia.

Sementara itu pimpinan Acara (Head Project of Diplomatic Dialogue) Anisa Nurhalimah menyatakan, pihaknya menghargai 2 (dua) diplomat senior yaitu Bagas Hapsoro, Dubes RI untuk Swedia (2016-2020) dan Sutadi (Charge d’Affairs KBRI Sarajevo (2010-2014) yang bersedia untuk membagikan analisa dan pengalamannya di depan forum mahasiswa tersebut.

”Walkout”

Mengawali paparannya, Bagas Hapsoro menyatakan bahwa konteks persoalan internasional harus dipahami secara utuh. Disamping pemahaman secara menyeluruh mengenai teori diplomasi, namun juga praktek-praktek politik luar negeri yang dilakukan oleh negara-negara.

”Dalam diplomasi konferensi, ancaman dan peringatan bisa muncul. Bahkan meskipun diungkapkan secara informal dalam negosiasi rahasia, tindakan ini cepat atau lambat diketahui oleh beberapa atau banyak delegasi,” kata Bagas mengutip pandangan ahli hubungan internasional Johan Kaufmann yang menyampaikan pendapatnya dalam buku Conference Diplomacy, 1970.

Bagas menanggapi pertanyaan Moderator terkait tindakan walk out dari konperensi ditinjau dari sopan santun dalam dunia diplomasi (Diplomatic Decorum Amidst An International Conflict: How Diplomats Show Their Stance through Their Actions).

”Tidak berpartisipasi dalam sidang dan dengan sengaja keluar ruangan ketika sidang memberikan kesempatan ke satu delegasi untuk berbicara, bisa terjadi meskipun tidak sering. Walkout atau keluar ruangan merupakan demonstrasi ketidaksenangan. Namun walk out tidak mempengaruhi proses pengambilan keputusan,” pungkas Bagas.  

Sebagaimana diketahui dalam Sidang Tingkat Menteri G20 di Washington DC, 20 April 2022 Delegasi AS dan beberapa negara-negara lainnya melakukan aksi walkout saat utusan Rusia menyampaikan pendapatnya. Delegasi RI, Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa perbedaan sikap atas perang tidak akan menghalangi kerjasama G20 atau mencegah kolaborasi untuk mengatasi masalah seperti pandemi global dan perpajakan.

Nara sumber berikutnya, Sutadi menyampaikan materi tentang tinjauan geopolitik dan geostrategi dari serangan Rusia ke Ukraina. Disebutkannya, persepsi geopolitik sulit untuk dilepaskan dari invasi Russia ke Ukraina. Aspek geografi mempunyai peran penting dalam pembuatan kebijakan suatu negara.

”Pada dasarnya, masa Perang Dingin antara Blok Barat (dipimpin AS) dengan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet) masih tetap ada walaupun bentuknya berbeda. Perluasan keanggotaan NATO dan EU ke “timur” pada dasarnya adalah upaya memperluas wilayah pengaruh (sphere of influence) wilayah-wilayah yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet,” ujar Sutadi.

Inilah para narasumber acara diskusi tersebut. Ist

Pandangan Beragam

Dalam diskusi interaktif, terlihat beberapa pandangan yang bervariasi tentang walkout. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa walkout adalah hak setiap delegasi dalam mengambil sikap politis pemerintahnya. Sikap tersebut adalah upaya melakukan ”tekanan” karena mempunyai pandangan yang berbeda.

Namun ada pandangan lain yang menyatakan bahwa tindakan walkout adalah suatu sikap yang tidak terpuji. Hal ini terkait dengan kesepakatan bahwa masalah yang dibahas dalam sidang adalah agenda yang telah sebelumnya disepakati. Kasus konflik Rusia-Ukraina tidak terkait dengan mandat G20. Dengan demikian tindakan walkout bukan saja kurang tepat tetapi juga salah tempat.

Pandangan berikutnya adalah faktor kepemimpinan G20 yang menjadi patokan. Pertimbangan ini muncul karena pimpinan, dalam hal ini Indonesia, bukan memihak salah satu dari yang bertikai. Bahkan hubungan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina satu sama lain akrab. Dengan demikian jika konflik berlarut-larut maka kondisi geo-politik dan geo-ekonomi secara global bisa terdampak cukup serius, termasuk dampaknya bagi negara-negara di Asia Tenggara.

Peranan Indonesia

Disampaikan oleh Bagas Hapsoro bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 April 2022 menunjukkan ketegasan Indonesia tentang masalah ini. ”Presiden menyatakan bahwa Indonesia ingin menyatukan G20. Jangan sampai ada perpecahan. Sebagai pemegang mandat Presidensi G20, Presiden Jokowi telah berkomunikasi dengan sejumlah pemimpin negara dan Sekjen PBB,” kata Bagas.

Ketegasan ini menunjukkan upaya mempertemukan negara-negara yang berkonflik dalam meja perundingan adalah suatu kerja keras. Ini perlu didukung semua pihak. Menurut dia, Indonesia sebagai ketua G20 periode ini bisa mengajak semua pihak yang bertikai untuk duduk bersama menyelesaikan. Kalau tidak konflik itu berlarut-larut.

Sutadi menyampaikan hal serupa tentang posisi penting Ketua G20 ini. “Dari sisi geopolitik persaingan negara-negara barat dengan Rusia akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan. Selama ini kita melihat Rusia sebagai pewaris negara adikuasa Uni Sovyet. Mereka nampaknya menginginkan status itu tetap ada. Dan, keinginan Indonesia untuk mempersatukan G20 harus ditanggapi secara baik, tidak saja oleh Rusia dan Ukraina, tetapi juga oleh NATO juga,” kata Sutadi.

Webinar berkesimpulan, diplomasi telah menjadi salah satu bagian yang vital dalam kehidupan negara dan merupakan sarana utama guna menangani masalah-masalah internasional agar dapat dicapai perdamaian dan kesejahteraan dunia. Prinsip dan fungsi diplomasi menjadi pedoman bagi semua negara dalam rangka mencapai tujuan bersama. Untuk itu diperlukan dukungan dari semua negara untuk mencapainya.

Konflik Rusia-Ukraina menjadi konflik yang hangat untuk  didiskusikan. Konflik tersebut telah mempengaruhi ekonomi global, mengingat: sanksi keuangan, harga komoditas, dan gangguan rantai pasokan. Sementara proses pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih berjalan, maka kunci stabilitas keamanan antara lain adalah aktif meredakan ketegangan konflik global. Indonesia diyakini dapat menyelesaikan konflik ini melalui ketegasan sikap dan peran konkritnya.

About Gatot Irawan

Check Also

Bukber 2024 Bersama MMKSI Seru dan “Agak Laen”

Jakarta, NextID – Momen berbuka puasa bersama (bukber) menjadi ajang silaturahmi dan pastinya berlimpah berkah. …

Leave a Reply