Home / LifeStyle / Leisure / Art / Generasi Emas…
Walau di usia yang masih belia, ketiga sudah berprestasi dan membanggakan bangsa Indonesia. Dari kiri ke kanan: I Putu Bagus Sastra Vendata Wiyasa (11 tahun); Michael Hogus Punama Wibowo (7 tahun).; dan Iona Andalucia (5,5 tahun). Ist

Generasi Emas…

Oleh Martha Sinaga

Jakarta, NextID – Mengintip dunia anak memang asik. Betapa tidak, warna keluguan yang natural dalam habit mereka mengalir begitu saja. Tindakan dan sikap para anak ditemukan natural. Dalam keberadaan mereka tak ada muatan apapun dan jauh dari rekayasa. Mungkin itu sebabnya jika anak ada di panggung pertunjukan atau di ajang karya yang lain melakukan kesalahan, sah-sah saja. Yang muncul dan terdengar justru tawa berderai dari pemirsa. Itulah dunia anak, antara sikap dan pikir kadang porsinya belum stabil.

Dengan keberadaan seperti itu bisalah dibayangkan, apabila dalam usia sangat muda mereka justru mampu mencetak prestasi di bidang masing-masing? Duh, untuk skala prestasinya bahkan gak nanggung-nanggung. Ehm, kelas dunia. Ini yang menarik. Dengan kenyataan itu tentu mengalir pertanyaan, mengapa bisa demikian? Mereka tampil dengan prestasi yang terbaik di antara yang terbaik. Siapa yang berperan di balik keberhasilan para jiwa-jiwa yang masih putih ini? Kita simak cerita hidup para buah hati yang menggelitik ini.

Bermula dari Rumah
Sering terdengar ucapan untuk keberhasilan para anak di dunia nyata, peran dari orangtua maha penting. Setelahnya, sikap dan tindakan para pendidik atau mentor di luar rumah juga tak kalah penting. Bagaimanapun sukses seorang anak bukanlah hal yang kebetulan, sebab kesuksesan adalah hasil dari kerja keras, pembelajaran, pengembangan dan cinta. Tentu talenta yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada mereka, sebagai suatu anugerah yang harus diasah, dikembangkan namun di satu sisi mereka juga bisa  menikmatinya, dan tidak kehilangan dunia mereka.

Rasa nikmat ketika menghadapi lawan di meja olahraga catur dirasakan oleh pecatur kecil, Michael Hogus Punama Wibowo (7 tahun). Dia murid SD Xaverius Metro Lampung. Di tengah pandemi Covid 19 gelombang pertama, tepatnya tahun 2020 bakat bermain catur Mike   begitu ia disapa justru  muncul.

Menurut sang ibu, Novi Yuliani ketika itu putra keduanya itu masih duduk di bangku TK B. Novi dan suami menyadari talenta  Mike maka ia bergegas mencari guru catur yang memang eksis di bidangnya. “Segera ia mendapat pelatih dan intens untuk berlatih catur. Sesekali papanya memperlihatkan cara bercatur dari internet kepada Mike. Gak lama ia  sudah bisa bermain dengan papanya. Jika sudah berada di meja catur, Mike tidak mau beranjak,” cerita Novi.

Mike (kedua kanan) saat tanding catur hari ini (29/5). Dia kini menduduki 5 besar peringkat Junior Umum se-Lampung. Ist

Sejak itu orangtua Mike lebih fokus membimbing putra kecilnya itu. Mengikutsertakan Mike di berbagai event tanding catur. Yang sifatnya lomba atau temu persahabatan sesama pemain catur. “Kami semakin yakin bahwa apa yang dipilih Mike ini memang disukainya. Itu lebih jelas terlihat ketika ia menggondol juara ke dua lomba catur se-Lampung tingkat SD.

Diikuti dengan prestasi lain. Mike masuk 10 besar peringkat Junior Umum dan peringkat 15 untuk Kategori Umum.  Berlanjut lagi, pada 23 Januari 2022 ia ikut lagi tingkat nasional di Lampung,” imbuh Novi yang harus sabar seharian duduk di ruang pertandingan mendampingi anaknya di setiap perlombaaan catur.

Novi mengaku hampir gak menemukan kesulitan dalam menetaskan bakat dan keinginan sang anak untuk menjadi pecatur handal.  Pasalnya, Mike sendiri jika sudah menghadapi papan catur selalu konsentrasi dan happy. Saat ini orangtua Mike senantiasa bekerjasama dengan pembimbing caturnya. Orangtua hanya mendampingi Mike untuk berlatih secara intens, dengan harapan agar bisa  menembus 3 besar Kejurnas Caturan Junior.  Untuk menembus dunia olahraga catur kelas dunia, maka persyaratan ini harus bisa digenggam Mike.

Bocah ya tetap bocah. Ada masa-masa rewel jika harus berlatih. Tapi keadaan itu berangsur pulih ketika sudah ketemu teman sebaya di meja catur, atau  sang orangtua membawakan apa yang ia inginkan. “Saya dan papanya memberikan reward ketika Mike berlatih baik. Cara ini berhasil karena Mike kembali semangat untuk berlatih,” ujar Novi lagi.

Dia menambahkan, setiap hari satu jam putra kecilnya itu berlatih. Jika dengan pelatihnya maka waktu untuk latihanpun jadi bertambah. Walau dalam waktu relatif singkat Mike mencetak prestasi, tapi rasa kuatir sang ibu tetap muncul. Mengingat usia Mike masih demikian muda. 

Bisa dipahami, anak “ajaib” itu mengalami peperangan antara otak dan hati sebagaimana Buya Hamka pernah katakan. “Menuntun anak dalam usaha mencetak prestasi tentu dibutuhkan sebuah sikap. Anak tidak dipaksa dalam menentukan pilihan dalam berkarya, namun pengarahan dengan tidak mengabaikan rasa yang mereka milikipun harus tetap terjaga baik,” begitu nasehat Buya Hamka.

Mike (ketiga kiri) bersama Walikota Bandar Lampung Ibu Eva, dan GM Internasional Novendra Priasmoro (kedua kiri) berfoto bersama pecatur lainnya. Ist

Ketika disinggung kesiapannya sebagai orangtua untuk mendampingi Mike ke jenjang yang lebih luas, misalkan Mike mendapat pendidikan catur di luar negeri. “Ya kami siap untuk itu. Sudah terdengar bahwa akan diambil 3 orang anak untuk di sekolahkan ke Hongaria. Tentu realisasinya tak lepas dari keputusan pusat,” jawab Novi.

Ilmu Sang Ayah

Mungkin masih ada relevansinya ya, jika pepatah lama mengatakan bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu yang dialami I Putu Bagus Sastra Vendata Wiyasa (11 tahun). Bagus begitu panggilan akrabnya, di usia muda telah memiliki karya yang mumpuni di bidang seni lukis. Menyaksikan penghargaan yang diraihnya di bidang seni yang satu ini, patut diberi acungan jempol. Eh, gak hanya itu tapi bagaimana memberikan apresiasi terhadap karya generasi emas ini sebagai tonggak penerus bangsa.

Bagus yang kini kelas 5 SDN di Dalung Utara, Badung Bali tersebut sejak usia 2,5 tahun sudah tertarik untuk melukis. Cerita sang ayah, I Made Bakti Wiyasa melihat bakat putra sulungnya itu tak lagi menunda untuk mendampingi sang anak dalam mengembangkan kegemarannya menggambar.

Maka dari usia itu hingga Bagus berusia 6 tahun ayah dan ibunya yang membimbing Bagus mengenal obyek  yang akan dilukis sambil menyiapkan peralatan yang dibutuhkan sang anak. “Masuk usia 7 tahun, saya tak lagi menentukan obyek, dan usia 8 tahun saya sudah tidak mengajarinya lagi, karena saya pastikan dia sudah mandiri, secara teknik dan apa yang ingin dilukisnya udah bisa ia terapkan dengan baik,” begitu cerita sang ayah yang juga kurator lukisan.

Mengapa Bakti begitu yakin sang putra sudah mandiri dalam karya-karya lukisnya? Karena sejak Bagus dianggap sudah mandiri dalam memilih obyek lukisannya iapun mampu memperlihatkan prestasi gemilang. Simak saja, diusia 7 tahun Bagus meraih  penghargaan Titiang Children Prize Festival. Bagus pun tercatat sebagai anggota International Water Color termuda di Indonesia yang aktif melukis on the spot. Di tahun 2021/2022 dia memborong piagam dan plakat Nasional dalam sayembara, dan pemenang Buku Harian Bergambar, juga Mistsubishi Enikki Festa. Dan, sebelumnya, yaitu di 2018 ia menerima Titian Prize Children sebagai finalis oleh Titian Foundation Bali.

Bagus ketika mendapat kunjungan Giring Nidji di Sanggarnya. Ist

Tentu di samping itu ia pun tetap mengikuti sederet pameran lukisan yang digelar di Bali sejak 2014 hingga 2022.  Dari kenyataan ini bisa diartikan bahwa melukis merupakan pilihan hebat yang ditekuni Bagus Sastra. Bisa diintip obyek lukisan demikian variatif. Setidaknya kenyataan itu membuktikan bahwa ia konsen dan menikmati sebagai pekerja seni muda di tengah “sarang seni” di Pulau Seribu Pura itu. “Kami berusaha mendampingi dan memfasilitasi serta memberikan informasi dan art material terbaik serta materi  principle of art dan elemen art sejak dini,” tegas sang ayah.

Menurut Bakti, karya Bagus yang menonjol adalah karya para tokoh pahlawan. Kemampuannya bercerita lewat gambar sangatlah menonjol, itu karena Bagus menguasai sketsa, drawing dan painting dengan media pensil, arang, krayon , cat air dan cat akrilik.

Bakti mengaku membimbing putranya untuk mengembangkan talenta melukis dengan baik dan benar. Namun ia tak memaksakan kehendaknya. Diharapkan Bagus akan bertumbuh dan berkembang menjadi seniman yang baik. “Dunia anak tetap terjaga baik. Itu sebabnya di kala Bagus mau bermain bola di lapangan atau mengajarkan melukis para teman dan sahabat, saya memperkenankannya,” celoteh Bakti.

Yang mengasyikkan, Baguspun mendapat kesempatan untuk mengatur keuangan sendiri di bank yang didapatkan dari hasil penjualan karya-karyanya. Karya Bagus kini sudah dimiliki kolektornya di Jepang, Jerman dan Indonesia. “Suatu hari uang penghargaan atas karya Bagus diserahkan oleh Jean Couteau di Yayasan Seni Titian. Ketika itu Bagus berusia 9 tahun,” imbuh Bakti.

Keberhasil anak-anak yang memiliki porsi talenta lebih ini tentu dibutuhkan percaya diri yang tebal, maka tak urung lagi pasangan Bakti Wiyasa dan Kadek Hartini membuka pintu lebar untuk kesempatan sang putra mengenal banyak lingkungan. Maka, dengan sabar Bakti menggandeng putranya itu kebanyak ruang pameran dan pertemuan yang berkenaan dengan karya seni yang diminati.

Sebagian karya-karya Bagus yang memberi penghargaan dan membanggakan orangtuanya. Ist

Menurutnya, selain percaya dirinya akan lebih tebal, juga menyerap ilmu dari berbagai ruang dan waktu. “Suatu hari saya sedang bicara kepada wartawan, padahal dalam sebuah pertemuan tunjuk ajar melukis. Bagus menggantikan saya. Dia naik bangku mengajar ulang apa yang sebelumnya saya ajarkan. Sejak itu ia dipanggil adik guru di Rumah Budaya Penggak Men Mersi Kesiman, base camp kita saat itu,” begitu kenang Bakti Wijaya perihal ketanggapan putranya untuk disiplin ilmu seni yang satu ini.

Amat beruntung, baik Novi Yuliani dan I Made Bakti Wijaya yang menyadari penuh putra mereka memiliki sesuatu yang patut diasah lebih tajam lagi. Anak-anak cerdas ini sudah mengantungi bekal jitu menghadapi hari-hari ke depan yang lebih cerah dan tetap ceria. Mereka tak ingin bertaruh pada masa depan. Mereka bertindak dengan sikap arif tanpa ingin menunda-nunda.

Balita dengan Story Telling

Di balik tubuh mungil, paras cantik balita ini bisa ciscascus dalam bahasa Inggris, tepatnya story telling. Dia adalah Iona Andalucia (5,5 tahun). Gadis kecil putri pertama dari  pasangan Nuansa Ayu Jawa Dwipa dan Edwin Prasetya itu pasti belum bisa membaca.So, gimana bisa melakukan story telling?  “Sejak ia kecil kami sering mendongeng. Iona diberi banyak gambar-gambar. Secara lisan saya dan ayahnya mengajarkan dia. Dan, ternyata dia mengikuti dengan lancar. Memang Iona sejak kecil ekpresif dalam berkomunikasi. Dia suka berdialog seperti orang yang bermain teater,” celoteh ibunya, Nuansa Ayu.

Iona Andalucia (kiri) saat masih berusia 2 tahun. Ist

“Kenyataan ini kami tangkap dan memberikan kesempatan untuk Iona bercerita. Dia diberi obyek, dan dia mulai berkisah tentang obyek itu dalam bahasa Inggris sesuai dengan alam pikirnya,” imbuh sang ibu yang juga berkecimpung di dunia teater anak.

Bakat putri sulungnya itu tak hanya tampil di story telling, namun Iona juga menyukai balet dan pelukis seperti ayahnya. Disadari bahwa kaki kecil Iona belum kuat untuk menari balet,maka orangtuanya menggiring Iona untuk melukis dan story telling. Walau diakui ibunya tak memaksakan putri terkasihnya itu untuk memilih seni peran atau seni lukis. Tetapi ibunya yakin sekali Iona memang senang berkomunikasi, baik itu secara verbal atau tulisan.

Nuansa lantas menjelaskan, “Suatu hari saya menjanjikan kepada Iona untuk mengunjungi rumah sepupunya. Sesuatu hal terjadi maka kunjungan kami tertunda. Rupanya Iona sudah mempersiapkan gambar yang ia bikin untuk sepupunya itu. Gambar itu disimpannya, untuk diberikan di hari mendatang. Saya kembali mendapatkan poin bahwa Iona memang suka berkomunikasi dan mencurahkan imajinasinya di atas kertas. Improvisasi seninya kuat sekali,” tegas Nuansa lagi.

Hari-hari Iona penuh dengan seni peran. Opa-omanya memang orang teater. Ibu dan ayah Iona pun terjun di seni peran dan seni lukis. Klop sudah darah seni itu mengalir deras di tubuh Iona. Tercatat kini Iona  menjadi pemain teater termuda yang dipilih untuk mewakili Indonesia pada The World Festival of Childern’s Performing Arts in Toyama, di Jepang pada 30 Juli – 3 Agustus 2022.

Iona (tengah), salah satu dari 14 pemain Teater Tanah Air yang terpilih mewakili Indonesia pada The World Festival of Children’s Performing Arts in Toyama, di Jepang pada 30 Juli – 3 Agustur 2022. Ist

Jaga NKRI

Jaga NKRI, dua kata singkat namun dalam makna yang mengikat. Menjaga NKRI  itu banyak caranya. Anak-anak dengan prestasi yang mumpuni ini juga sudah memagari negeri dengan citra yang baik, walau seutuhnya mereka belum memahami hal itu. Merekalah yang perlu disanggah, diperhatikan dan dibimbing.

Sebagai orangtua tentu berharap penuh, hari kemarin anak-anak adalah masa lalu yang harus disempurnakan di masa kini lewat inovasi karya putra-putri mereka. Kesinambungan ini melahirkan pemahaman terbaik demi masa depan mereka. Pengembangan diri dan membentukan  karakter generasi penerus tak semata di tangan para orang tua, namun ada pihak-pihak terkait yang dibutuhkan perannya untuk menopang bakat-bakat emas anak-anak itu.

Anak-anak ini menjadi penting keberadaannya karena telah membuktikan mereka diciptakan sebagai manusia yang lebih lengkap dari sisi otak dan hati. Namun disayangkan nihil bantuan dari instasi yang seharusnya berperan di sini. Begitu pengakuan dan kesan senada para orangtua yang memiliki anak berbakat ini.  Walau untuk pengembangan karya anak-anak, mereka sudah menghubungi pihak-pihak yang memang sepantasnya berperan serta, hasilnya nol besar.

Jika dihimpun kembali keluh kesah para ortu dalam usaha membimbing anak untuk berkarya pasti setinggi gunung dan kenyataan itu  merebak dalam perjalanan waktu. Sebagaimana yang dikatakan Ben Seewtland bahwa sukses adalah perjalanan bukan tujuan akhir. Maka demi suksesnya si buah hati, mereka melakukan sesuatu yang biasa dengan cara yang tidak biasa. Kenyataan ini membuat orangtua memaknai hidup lebih hidup dan menjadikan kiat sukses memapah hari anak ke depan agar lebih baik.

Para orangtua membantu putra-putrinya mewujudkan impian terbaik para anak, walau harus merogoh isi kantong dalam-dalam. Seperti yang dikatakan pendiri sekaligus pemilik teater anak Tanah Air Kita, Jose Rizal Manua. ”Selama 34 tahun saya mengelola teater anak ini, tak ada bantuan dari pemerintah, departemen atau instansi terkait. Padahal kami membawa nama Indonesia ke luar negeri. Ironis,” tandas alumnus Institut Kesenian Jakarta itu.

Negeri ini kaya multi talenta yang dipersembahkan dari anak bangsanya sendiri, namun instansi terkait seakan bisu dan tuli. Enerji kebersamaan untuk membangun negeri seakan tiarap walau tak dapat dikatakan punah. Tidak ada yang bisa dilakukan tanpa adanya harapan dan keyakinan, baik itu di benak anak, terlebih di kehidupan orangtua, mengingat mereka adalah kertas putih yang siap untuk dibentuk.

Mereka berkarya megah di usia “bermain” dan mengharumkan bangsa. Ini fakta. Di satu sisi membanggakan Indonesia, namun di sisi lain menyedihkan..

About Gatot Irawan

Check Also

Shugo Watanabe Nakhoda Baru Honda Prospect Motor

Jakarta, NextID – Ini proses alamiah ketika PT Honda Prospect Motor (HPM) mengumumkan perubahan struktur …

Leave a Reply