Oleh Martha Sinaga
Jakarta, NextID – Jika bukan kita yang menjaga kearifan lokal siapa lagi? Pertanyaan ini sering terdengar. “Ayolah kita sama-sama bergandengan tangan menjaga dan melestarikan sekaligus mengembangkan warisan bangsa.” Demikian ajakan dari Ibu Martha Tilaar, yang memang sudah puluhan tahun melestarikan sekaligus mengembangkan kekayaan warisan negeri melalui resep leluhur yang diterapkannya melalui kemasan kecantikan Indonesia.
Nah, tentu semua itu mampu dilakukan oleh pribadi-pribadi baik, yang tentu pula memang dimiliki oleh anak bangsa. Menjaga kekayaan negeri sama artinya dengan menjaga kesatuan dan persatuan dalam hidup berbangsa dan bertanah air dengan jiwa yang memiliki budaya luhur arif dan cerdas.
Cerdas? Ya cerdas! Kecerdasan sesama anak bangsa ini dapat dilihat dan dirasakan antara lain lewat tindakan para Perempuan Berkebaya Indonesia, juga Perempuan Bersanggul Nusantara, plus kumpulan atau komunitas sejenis. Dalam keseharian so pasti para puan ini sarat dengan tanggungjawab dan pekerjaan masing-masing, tapi mereka pun tak menunda untuk menampilan kekayaan negeri yang berupa kebaya, sanggul, kain tenun etnik, kain bermotif Nusantara, aksesori rambut dan dandanan menyeluruh yang menampilkan nilai kesantunan, apik dan keputrian anak negeri.
Hebat kan. Sesungguhnya kenyataan berbusana yang demikian itu memang sejak lama telah menjadi bagian kekayaan negeri ini. Hanya saja dalam kurun waktu tertentu belakangan ini, nilai-nilai berbuasan seperti itu tergeser oleh budaya entah. Saatnya “kesaktian kebersamaan” itu kembali harus diletakkan pada porsinya.
Beberapa tahun terakhir, secara intens para perempuan arif ini muncul. Garis kuat fesyen tradisional yang berupa kebaya dan sanggul berbalut kain-kain tenun etnik Indonesia itu lebih dipertegas keberadaannya. Dari Sabang hingga Merauke busana tradisional yang berdesain kebaya inilah yang mengisi kehidupan dan ruang sosial, adat, tradisi suku-suku di Nusantara ini. Kenyataan ini bisa ditemui atau dipelajari di berbagai literasi dan visual dalam dan luar negeri. Warisan Nusantara dan kekayaan NKRI yang berupa kebaya ini ada, tetap lestari sekaligus dikembangkan.
Populasi penduduk Indonesia nyaris sama antara laki-laki dan perempuan. Angka pastinya 49,5% penduduk Indonesia adalah perempuan.Betapa kuatnya budaya dan seni serta kepribadian negeri ini jika para perempuannya menjaga warisan itu. Dan memang itulah yang sedang dan akan terus terjadi, di samping kaum hawa ini mengisi makna Pancasila dengan profesi masing-masing.
Dari Komunitas Perempuan Berkebaya Cibinong misalnya, melakukan berbagai kegiatan sosial. Membagi kasih ke panti-panti anak dan lansia, melayani bagi yang membutuhkan uluran tangan di gereja di mana mereka beribadah. Ketika melayani sesama, mereka tetap mengenakan kebaya.
”Asik-asik aja kok. Saya pilih mengenakan kebaya dari bahan yang ringan. Sehingga, bebas bergerak dalam rutinitas sehari-hari. Selain itu, sikap ini sebagai sebuah usaha untuk kembali mengingatkan masyarakat kepada busana tradisional kita. Tak kenal mungkin makanya tak sayang.” Itu komentar Helena Sri Hartini sambil melipat beberapa kain yang dipakai sebagai paduan kebayanya.
Ada hari-hari tertentu mereka mengumpulkan kain-kain bermotif etnik Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara. Setelahnya, melakukan diskusi dan membuat dokumentasi visual seputar hal itu. Lebih lanjut dikatakan dalam kaitan memasyarakatkan kebaya dan kain motif etnik Indonesia ini maka mereka melakukan tukar-menukar kain bermotif etnik tersebut. Tentu tindakan ini dilihat sebagai komunikasi langsung yang memang diperlukan untuk menumbuhkan kembali rasa cinta atas sebuah warisan negeri ini.
Para puan berkebaya di Cibinong mengambil sikap untuk terus menyatukan antara cinta negeri, ketulusan, keindahan di tengah hidup bersosialisasi dengan lingkungan, antara lain dengan tampil berkebaya .
Secara lebih luas, harmoni antara warisan negeri yang berupa kebaya dengan para perempuan bukan hanya urusan praktis dan pragmatis karena manusia berhak mewarisinya sesuatu namun juga berkeyakinan terhadap dimensi etis, estetis juga teologis bahkan filosofis. “Desain kebaya itu santun, sopan. Pakem pola kebaya itu menutup tubuh dengan benar. Jadi jika bicara soal kebaya, maka ada pakemnya.” Begitu tegas Rahmi Hidayati – Ketua Umum Perempuan Berkebaya Indonesia.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa berkomunikasi lewat kebaya akan mencerminkan visi perempuan ke depan. Bukankah pribadi yang baik selalu berdiskusi dan berinteraksi demi terwujudnya kebersamaan dalam mempertahankan citra dan karakter perempuan Indonesia itu sendiri?
Tiada Hari Tanpa Kebaya
Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta yang dibentuk 6 tahun lalu identik dengan nama Margaretha Tinuk Suhartini atau yang lebih sering disapa Tinuk. Bisa dipahami karena dialah juga yang mendirikan kelompok ini sekaligus koordinator. Yahud jika melihat usaha perempuan yang satu ini dalam kembali menegakkan keberadaan kebaya di tengah kehidupan para perempuan di Yogya.
Sosialisasi dilakukan Tinuk, mulai dari mengikuti berbagai event dengan berkebaya, membuat dokumentasi kebaya dengan latar belakang lokasi gedung bersejarah, sampai “megal-megol” di layar tiktok dengan para perempuan berkebaya Yogyakarta. Bisa disimak bahwa usaha sejenis tak putus dilakukan Tinuk.
Event yang digelar Tinuk dan kelompoknya memang menarik. Semisal menggelar parade busana di pasar yang melibatkan para orangtua yang keseharian berjualan di pasar. Memboyong komunitasnya di depan Candi Prambanan ketika di kawasan itu diselenggarakan acara-acara besar pula. Berfoto bersama dengan paduan kebaya putih dan jarik. Tampilan yang membawa ingatan pemirsa ke era R.A. Kartini. Meracik sebuah tampilan berkebaya, Tinuk rasanya memang punya taste yang patut diberi acugan jempol.
Ketika disinggung pemikiran seperti apa yang melatarbelakangi hingga Perempuan Berkebaya terbentuk? “Saya ingin mengumpulkan dalam satu wadah para perempuan yang punya kesamaan. Yaitu, kesamaan suka mengenakan kebaya, sama-sama ingin melestarikan kebaya, dan yang pasti bersama pula mencintai budaya asli Indonesia, ” jawab Tinuk.
Dikatakan juga gelar berbusana kebaya ini merupakan wujud dari rasa cinta terhadap Indonesia, makanya berbagai aktivitas yang sebagian besar berbau budaya Tinuk dan komunitasnya pasti mengenakan kebaya. Keberadaan perempuan dalam pembangunan NKRI, menurut Tinuk sudah terlihat dan harus lebih ditingkatkan dan betapa indah dan mulianya jika mengisi pembangunan negeri para perempuan tetap mengenakan kebaya.
Ya, kodrat perempuan tidaklah hanya melahirkan dan menyusui, tapi peran perempuan sudah sejak lama menjadi penentu untuk kelangsungan hidup berbangsa. Bisa disimak dari bacaan sejak dulu hampir di setiap profesi, pekerjaan, jabatan, ruang lingkup sosial, keberadaan perempuan secara pemegang kebijakan sudah setara dengan kau adam. Walau harus diakui seseorang tak selamanya bisa melakukan sesuatu sendiri. Apalagi jika itu menyangkut kemaslahatan bersama. Bagaikan batang-batang lidi, setelah dipersatukan baru berfungsi dengan baik.
Jauhkan Rasa Lelah
Berbagi untuk sesuatu yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat luas tentu membutuhkan cara kerja yang hebat. Kerja yang hebat biasanya dilihat atau keluar dari kepribadian yang hebat pula. Ehm, atau mengambil istilah generasi Z, pribadi yang hebat itu adalah pribadi yang penting. Nah, pribadi yang penting terlihat juga pada kelompok Perempuan Bersanggul Nusantara (PBN). Mereka berusaha keras mempertahankan sekaligus mengembangkannya.
Menurut Sami Rahayu selaku Penasehat PBN Surabaya, kelompok ini terbentuk pada 7 Maret tahun 2020. Sejak itu Yayuk, panggilannya, tak pernah absen berkegiatan dalam usaha kembali mengajak banyak perempuan berpenampilan berkepribadian Indonesia: mengenakan kain kebaya dan bersanggul.
Mengapa begitu intens mereka tampil – paling tidak di medsos dengan dandanan berkebaya dan bersanggul. “Pada saat ini kebaya sudah hilang dari bumi Nusantara. Kebaya dipakai hanya di acara pernikahan dan karnaval saja, karena tergerus jaman. Mungkin hanya di Bali yang bisa bertahan. Maka saya berpikir jika di Bali bisa maka kenapa di tempat lain tidak. Inilah perjuangan kami untuk mengembalikan bangsa ini ke jatidiri bangsa Indonesia sebenarnya,” tandas Yayuk.
Ini menurutnya, memang tantangan untuk membawa kembali apa yang biasa dikenakan perempuan Nusantara. “Mungkin ada pandangan kuno bahwa yang pantas memakai kebaya dan bersanggul adalah nenek-nenek di era lalu, dan memakai kebaya itu lebih ribet ketimbang pakaian yang dikenakan di masa kini. Memang semua itu butuh waktu dan memang kami tak boleh lelah apalagi mundur,” tandasnya.
Usaha Yayuk dan kelompoknya berbuah manis. Nyatanya walau ia belum mendapatkan data yang pas, tapi ia yakin kelompoknya ini sudah muncul di berbagai daerah yang kini sudah menjadi 18 DPD. “Lebih membanggakan, mereka juga ada di Belanda dan Hongkong. Kami secara organisasi sudah terbentuk. Susunannya, saya dan Ries Handono sebagai penasehat; Ketua Umum Sany Repriandini; Sekretaris Ninoek W Sunaryo; dan bendahara Metta Satiani,” jelasnya lagi.
Ini namanya “The Power of Women.” Mereka ada dan telah membuktikan lewat pintu budaya dan seni. Mereka menggenggam kuat warisan bangsa yang nanti pasti diturunkan kepada generasi penerus. Mereka berselimutkan merah putih yang berkibar di langit dunia.
Kekuatan budaya dan citra perempuan Indonesia mampu mengukuhkan negeri untuk menjaga marwah bangsa Indonesia! Seribu langkah ke depan ditentukan satu langkah saat ini.
Padamu negeri kami berbakti…
Bagimu negeri jiwa raga kami…