Home / LifeStyle / Fashion / Mengapa Harus Berkebaya?
Nadira Puspa Dewi dalam memilih desain kebaya suka yang simpel, misal yang terbuat dari bahan yang jatuhnya ke badan nyaman dari bahan katun ringan atau tenun ringan. Ist

Mengapa Harus Berkebaya?

Jakarta, NextID – Pertanyaan seperti itu tentu tercurah bagai hujan yang tak pernah berhenti. Nah, jawabannya pun muncul sangat beragam. Semisal jawabannya, lho kebaya itu kan bagian dari budaya bangsa, atau ehm, terkesan seksi sih jika mengenakan kebaya. Atau, dari para pendahulu kita memang sudah mengenakan kebaya, hanya dengan berkembangnya zaman, kebaya tergilas dengan budaya luar. Ujung-ujungnya sudah dianggap tidak praktis.

Ya, pokoknya jawaban itu mengalir sesuai dengan persepsi, atau bisa juga pemahaman orang yang berkomentar tentang salah satu kekayaan seni pakaian negeri ini.

Tapi okelah, yang pasti keseimbangan enerji untuk lebih menghargai dan fokus untuk terus mempelajari, mengembangkan sekaligus melestarikan kekayaan warisan leluhur yang berupa kebaya ini sudah barang tentu memberi lompatan besar untuk mengukuhkan bahwa kebaya adalah busana nasional, busana milik anak negeri.

Kekayaan  warisan negeri yang berupa kebaya tidak akan menjadi agung di mata dunia, jika tidak difokuskan keberadaannnya, tidak dijaga kelestariannya, sekaligus dikembangkan menjadi busana keseharian para puan di negeri ini. Bukankah satu langkah di awal akan menentukan langka-langkah berikutnya. Bukankah jika tidak mengenal dengan tunak tidak akan pernah jatuh cinta dan menumbuhkan rasa memiliki yang besar?

Rahmi Hidayati berkebaya hingga puncak gunung. ist

Usaha mensosialisasikan kebaya memang sudah dilakukan oleh jajaran Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) yang dimotori oleh Rahmi Hidayati. Mimi, begitu ia lebih akrab disapa dengan jajaran para puan yang doyan berkebaya telah menggelar beberapa event besar, baik itu di Jakarta ataupun di beberapa daerah.

Menurutnya, usaha itu berhasil dalam kembali mensosialisasikan kebaya sebagai warisan sekaligus bagian kekayaan warisan negeri non benda. Urusannya tak hanya sampai di situ, namun Mimi dengan beberapa instansi terkait telah memboyong kebaya ke Unesco sebagai heritage bangsa ini. Usaha lain yang dilakukan menuju ke lembaga yang berwenang agar kebaya dijadikan busana nasional, dan akan ditetapkan hari berkebaya nasional. Huih, ini usaha yang tak main-main. Tentu dibutuhkan pemikiran,  plus tindakan yang matang dan konsisten.

“Sesungguhnya banyak pihak yang sudah mendorong agar kebaya ini kembali diperkenalkan secara intens. Tak hanya di pusat di daerah-pun antusias untuk gelar berbagai acara kebaya. Pekalongan sudah, kini Medan menanti. Jika kita mau membaca sejarah dengan detail, sejak dulu para bangsawan dan kalangan rakyat biasa di sepanjang dataran Sumatera sudah memakai kebaya,” lontar Mimi.

Menurutnya, di Sumatera Barat misalnya, para pendahulu kita semua memakai kebaya. Suku Batak,  ke gereja untuk ibadah pakai kebaya panjang namun ke huma pun mereka pakai kebaya. Acara adat batak, atau perkawinan, semua mengenakan kebaya. “Bangsawan di Tidore juga mengenakan kebaya. Hanya saja publikasinya kurang, maka tidak terekspos dengan baik,” ujar Mimi.

Dia menambahkan, dengan membaca sejarah tentang kebaya dengan detail, akan bisa dilihat dan dipahami bahwa masuknya kebaya ke negeri ini mengikuti perjalanan penyebaran rempah-rempah. “Dulu, masuknya Islam membawa busana yang menutupi urat. Berbusana itu haruslah santun, maka seiring dengan itu maka kebaya panjanglah yang sering dikenakan. Sebelum itu memang para perempuan kita memakai kain dengan telanjang dada. Untuk menutup payudaranya maka ditutuplah dengan selendang. Nah, dalam perjalanan waktu maka muncullah desain kebaya yang bagian depan ada lidah, kemudian biasanya dengan hiasan peniti atau penutup bagian dada dibuat kutu baru, hingga kini,” tambah Mimi.

Pakem kebaya itu ada lho. Keluar dari pakem itu bukan kebaya, karena salah satu pakem itu adalah desain kebaya santun. Tertutup bagian depan seperti kebaya Kartini atau berkutu baru,” tutur perempuan yang juga anggota Mapala UI itu lagi.

Pemahaman itu juga dianut oleh Veronica Pujisetiyorini. Rini, panggilannya, mengaku ada sebuah kebanggaan yang muncul jika mengenakan kebaya. Pasalnya sejak lama lingkungan di sekitarnya identik mengenakan desain busana yang satu ini. “Saya melihat kebaya tidak sekadar barang antik penghuni musium, atau bakal lapuk di lemari, namun kebaya itu ya identitas perempuan Indonesia di lintas usia,” ujarnya.

Veronica Pujisetiyorini berpendapat kebaya tak sekadar barang antik penghuni musium, atau bakal lapuk di lemari, namun itu identitas perempuan Indonesia di lintas usia. Ist

Menurutnya, itulah keindahan Indonesia. Mencintai kebaya harus dikenakan sebagai busana sehari-hari, bukan hanya untuk contoh dan pencitraan,” tegas Rini, yang karena kecintaannya kepada kebaya maka pada tahun 2016 membuka usaha jahitan kebaya di Kota Gudeg, Yogyakarta. Rini berharap agar generasi penerus mencintai kebaya harus aktif dan selalu diperlihatkan di komunitas berkebaya.

Pendapat senada dilontarkan oleh Yessy. Perempuan yang aktif di bidang properti itu berpendapat jika generasi penerus diharapkan mengenal kebaya, maka pada hari-hari tertentu mereka mengenakan kebaya di sekolah atau di tempat dia beraktifitas.

“Mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kebaya adalah kekayaan intelektual Indonesia yang sangat indah dan harus menjadi budaya kita. Semoga mengenakan kebaya ini akan menjadi seperti batik, wajib dikenakan. Peran pemerintah tentunya ada di situ,” ujar Yessy.

Menurut Yessi, Kebaya adalah kekayaan intelektual Indonesia yang sangat indah dan harus menjadi budaya kita. Ist

Yang Muda yang Berkebaya.
Komunikasi yang dibangun dengan kecerdasan, baik kecerdasan otak dan emosi, akan mampu membuka wawasan pribadi-pribadi yang terlibat dalam komunikasi itu. Contohnya, Eyang Putri keseharian berkebaya dengan anggun, maka hingga kini cucunya Novi Yuliani pun doyan berkebaya. Bersanggul resmi dengan kebaya dan jarig dipilih ketika ia harus menghadiri acara resmi. Namun rambut dikepang dengan desain kebaya yang simpel terbuat dari bahan lurik dan jarig tanpa wiron dikenakan pada acara-acara ringan.

Novi Yuliani tak terhenti hanya ketika ia masih tinggal di Jawa Timur, sudah hijrah ke Lampung pun kebiasaan mengenakan kebaya masih menjadi pilihannya. Ist

Pengusaha yang sukses di bahan mentah makanan ini, mengenakan kebaya tidak menjadi komunikasi penampilan yang biasa-biasa saja, karena ia mengaku ada sesuatu yang sulit dijabarkan dengan kata-kata ketika mengenakan kebaya. “Bangga deh rasanya. Komunikasi visual leluhurnya ternyata tak terhenti hanya ketika ia masih tinggal di Jawa Timur, sudah hijrah ke Lampung pun kebiasaan mengenakan kebaya masih tetap menjadi pilihan,” cerita Novi.

Ia  mengaku dengan mengenakan kebaya itu makai ia pun belajar mengenakan aksesori klasik made in Indonesia, dan semua itu tak membuatnya berhenti untuk mengenal dan belajar tentang kekayaan seni budaya buasana negeri ini. Kenyataan seperti ini memporsikan komunikasi menjadi sangat penting karena membuat setiap pribadi yang terlibat di dalamnya menampung banyak hal tentang kekayaan negeri dan jati diri bangsa ini.

“Kekayaan itu baru dari desain kebaya lho. Belum jenis kain yang dikenakan. Itu juga sejarah. Aksesori hasil pahatan dan desain anak negeri. Itu juga sejarah. Ketika dulu kebaya dikenakan pada saat proklamasi bahkan masa perjuangan itu juga sejarah. Ehm, kebaya itu memang bagian sejarah negeri dan sekaligus mengikuti perjalanan sejarah kita,” tegas Mimi lagi

Membangun Enerji Fisik
Kreatifitas dan aktifitas keseharian tak terlepas dari enerji fisik atau enerji tubuh. Oleh karena itu olahan penampilan yang baik akan menyiratkan budaya yang dianut itu juga baik. Mendapatkan enerji dalam hidup salah satunya dengan menghargai apa yang sudah lebih dulu dimiliki para pendahulu kita. Kebaya contohnya.

“Orang-orang bule di Indonesia di masa dulu dan terlihat di buku-buku sejarah, banyak yang mengenakan kebaya. Kenapa kita tidak, lagian desain kebaya itu santun. Saya pasti mengenakan kebaya berukuran 7/8 atau kebaya panjang dalam banyak kesempatan. Apalagi jika itu menyangkut pesta adat Batak. Untuk kainnya disesuaikan dengan acara yang akan dihadiri. Ulos-ulos sekarang indah indah, di padu dengan kebaya panjang rasanya pas,” cetus Meike Anna Mogot yang bersuamikan orang Batak.

Dan menurutnya memang orang Tapanuli itu pada umumnya  jika hadir di pesta adat atau pergi ibadah ke gereja pasti mengenakan kebaya panjang. Mieke memang sejak lama menyukai kebaya. Ia berkisah, untuk pengadaan kebaya ini, dia cenderung menjahitkan ketimbang membeli yang siap pakai.

Meike Anna Mogot menyukai kebaya dengan padu padan ulos Batak yang elegan

“Kebaya itu kan ada ketentuan. Jika saya jahitkan maka dengan mudah bisa minta desain yang kita inginkan, karena cenderung kebaya saya lengan panjang. Untuk bahan tergantung acara yang akan dihadiri. Ada brokat, katun, atau sutra. Kekayaan kain dan motif kita juga memecut saya lebih menyukai kebaya, karena padu-padannya sangat variatif,” beber Mieke yang rajin tampil berkebaya.

Mungkin tak berlebihan jika dikatakan sebagai konsumen, nilai inovasi padu-padan serta aksen dan karakter kebaya perlu dicermati dengan tidak melupakan pakem yang ada. Inovasi desain bukannya tidak mungkin memantik rasa cinta generasi penerus terhadap kebaya.

Nadira Puspa Dewi misalnya. Perempuan muda yang  bekerja di salah satu bank di Jakarta ini bertutur soal kebaya. “Wah, saat ini jika di pesta perkawinan kebaya muncul sangat variatif. Mulai yang simpel, kebaya lengan pendek. Bawahnya pakai sarung dan atasnya sampai brokat yang jreng dengan selendang berhiaskan bordiran,” ujarnya. 

“Ide-ide terbaik untuk desain kebaya ini juga sudah bisa ditemui dari kreasi desainer kita. Tinggal kita fokus saja dalam memilih desian yang sesuai dengan karakter dan pribadi kita,” tutur Nadira.

Menurutnya, dalam memilih desain kebaya ia suka yang simple, misal yang terbuat dari bahan yang jatuhnya ke badan nyaman dari bahan katun ringan atau tenun ringan. “Tapi memang saya suka menerapkan kainnya yang klasik.  Motif klasik itu bagi saya  jati diri bangsa ini.  Misalnya, batik motif burung Hong, atau parang rusak, atau kawung. Lho, kalaupun saya memilih motif klasik kan gak membuat saya terlihat tua. Justru kekayaannya ya di situ. Sejarah seni itu identitas kita,” sibak Nadira..

Di matanya,  perempuan berkebaya itu sama dengan melihat perjalanan sejarah  bangsa. Itu sebabnya ia berpendapat, jika perempuan India bisa mengenakan busana sari kemanapun mereka melangkah, kenapa kita tidak. “Perempuan Filipina dengan pagodanya, atau Jepang dengan kimononya. Lalu kita dengan apanya?” tanyanya sambil tersenyum.

Jika para puan di tulisan ini merasa bangga mengenakan gaun yang berupa kebaya, tentunya rasa itu tak hanya  terhenti sampai di situ.  Masih terbayang langkah panjang untuk terus mempertontonkan, mendalami, mempelajari bagian dari kekayaan negeri ini. Seperti yang Rini katakan, “kebaya dikenakan bukan hanya untuk pencitraan.”

Setuju! Penilaian untuk sebuah penampilan itu akan datang sendiri, ketika seseorang bisa menghargai apa yang ia miliki dengan tujuan yang benar.
(Martha Sinaga)

About Gatot Irawan

Check Also

Honda Stylo 160 ABS Royal Green Varian CBS Bakal Hadir

Jakarta, NextID – Buka bersama PT Astra Honda Motor (AHM) di Telaga Senayan, Selasa (26/3) …

Leave a Reply