Home / LifeStyle / Fashion / Florentia Krisantya Krisnandi: “Antara Edukasi dan Bisnis”
Florentia Krisantya Krisnandi dengan busana chic nan etnik dari tenun NTT. Ist

Florentia Krisantya Krisnandi: “Antara Edukasi dan Bisnis”

Jakarta, NextID – Bertaburan pendapat yang mengatakan untuk saat ini hanya ingin membaca dan melihat  yang cantik-cantik saja. Atau, mendengar berita yang meneduhkan batin dan alam pikir. Tentu saja pendapat demikian meluncur karena tekanan pandemi Covid-19 yang semakin memberatkan kehidupan ini.

Nah, bagi orang yang tak mau berada dalam kubangan keresahan itu, berusaha keluar. Caranya? Dengan melakukan terobosan yang tak harus melakukan kontak satu dengan lainnya. Semisal bisnis online, berkebun, membuat ramuan minuman atau makanan sehat. Semua dilakukan tentu dengan harapan asap dapur tetap ngebul, plus semangat tetap menyala, dan itu so pasti menjaga kestabilan imun.

Tak dapat disangkal bahwa semangat sangat dibutuhkan saat ini. Melaksanakan kepercayaan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa untuk tetap menjaga baik kesehatan sama artinya membuktikan kekuatan insan beriman menghadapi batu ujian hidup ini. Dengan demikian lawatan Covid-19 ini tak semata hanya mendengarkan detak-detak jantung yang gelisah, dan mengakibatkan tak ingin berbuat sesuatu.

Saat bersama pelanggan yang ingin belajar soal seluk beluk tenun NTT. Ist

Nah, jika mau melihat keindahan yang sekaligus mengandung nilai pendidikan itu mari kita lihat apa yang dilakukan oleh psikolog yang beberapa tahun belakangan ini memperkenalkan dengan detail kain tenun asal beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), Florentia Krisantya Krisnandi. Olen, begitu sapaan akrabnya, memperoleh kain tenun dari Maumere, Timor, Sabu, Sumba dan Nagekoe.

“Sebenarnya saya tidak menekankan asal kain itu ketika ingin memperolehnya, namun lebih kepada menarik dan bisa menembus pasar, maka saya beli. Cara mendapatkannya, saya bekerjasama dengan saudara suami yang memang asli orang sana. Nah mengapa, harga yang saya dapatkan sedikit lebih tinggi, karena memang itu tenunan dan benang yang asli, tidak dibuat secara massal,” jelas jebolan Universitas Maranatha Bandung itu.

Kisahnya lagi, sebelum Covid-19 ia sudah membuka sebuah butik mungil. Daya beli sudah bisa dirasakan bahwa kain-kain cantik ini menjanjikan. Sama dengan bisnis yang lain, Covid melanda penjualan sontak terasa lesu, hingga vakum selama kurang lebih satu tahun.

“Padahal ketika itu sudah mulai ramai dan punya pelanggan, dan yang paling membahagiakan saya juga bisa membagikan edukasi tentang tenun NTT. Saya merasa bagaimanapun ini kekayaan negeri, lepas dari nilai bisnis, ada rasa ingin lebih mengenalkan cara kerja para penenun, makna motif, kegunaan dan lain sebagainya. Dan memang sudah banyak yang tertarik. Tiap hari ada saja yang datang ke toko untuk tahu lebih banyak tentang kain tenun etnik NTT ini,” cerita  istri dari Antonius Eliseus Rasi Wangge itu.

Edukasi dalam Bisnis

Keseimbangan enerji dan fokus juga akan memberi lompatan baru dan tak terduga saat melangkah menuju sebuah konsep kerja. Yang pasti seberapa sering seseorang bangkit dari keadaan yang ada akan menentukan tingkat kecerdasan dalam berkarya, bertindak dan mengisi keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Nah, ini yang dilakukan Olen yang memang sejak di bangku sekolah sudah menyukai dunia fesyen dan sempat mengayun langkah di catwalk, sehingga dalam kondisi nyata pun ia mengolah bisnis ini  luwes saja.

Contohnya, dia bercerita, kain digarap menjadi gaun yang fleksibel yaitu all size. “Ada desain rompi di bagian pinggangnya terselip belt yang bisa disesuaikan untuk semua ukuran. Lebar bahu agak ke dalam sehingga tidak kedodoran. Kesimpulannya, gaun terfokus pada desain yang fleksibel dan nyaman dikenakan.”  

Kedatangan tamu khusus yang tertarik tenun NTT. Ist

Alasan Olen, terobosan ini dilakukan  mengingat saat ini orang mengeluarkan uang sangat selektif, namun apa yang dibeli multiguna. Ketika disinggung bagaimana menyiasati jenis kain tenun yang tebal. “Untuk kain yang tebal justru kelihatan wah. Bisa dibuat rompi yang aksennya menjadi lebih kuat. Jika yang tak terlalu tebal, saya jadikan blus batwing, jatuhnya lebih indah dan nyaman.”

Perempuan semampai dan berwajah oriental ini menyibak hari-hari ke depan, ia akan kembali meluncurkan desain yang disesuaikan dengan tekstur kain dan motif. Bravo, karena itu pasti menularkan semangat. Tiada hari berpangku tangan baginya.

Ternyata dalam menyajikan kebutuhan pasar, ia tak hanya memilih dan memilah gaun yang chic untuk deikanakan namuan ada nilai sejarah yang ia sendiri pelajari. Nyatanya, ia memiliki kain berusia 14 tahun seserahan waktu ia menikah dan itu diurus dengan baik.  

Untuk ini dia ada kisah lucu karena ada yang memaksa ingin membeli, tapi tak diberikan. “Wah itu, gak bernilai harganya. Itu bukti kain tenun ini bertahun-tahun tetap tahan dan tak berubah warna, juga teksturnya. Ini poin bagiku, ada harga ada kualitas,” tandas Florentia yang kelahiran Tegal, 17 Oktober .

Jika mau diakui setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan dan kebesaran tenun tradisionalnya. Sekitar tahun 1990-an, perancang busana Samuel Watimena mulai gencar menggarap busasanya dengan menggunakan motif NTT. Kini desainer Erwin Yuan juga karyanya dengan tenun NTT dan  mampu menembus pasar dunia.

Tenun NTT menjadi indah dan cantik ketika dikenakan. Ist

Kenyataan ini setidaknya menjadi indikasi bahwa motif dan kualitas tenun Indonesia umumnya dan NTT khususnya memiliki citra seni yang mumpuni. Maka dapat dimaklumi jika harga lembaran tenun NTT ini berkisar mulai Rp 600 ribu sampai Rp 1,5 juta. Bisa saja lebih dari angka  itu, karena pengerjaanya pun membutuhkan waktu, helai demi helai. Yang pasti siapa lagi yang mau menghargai karya anak bangsa jika  tak dimulai dari anak bangsa itu sendiri.

Misi kecil Florentia dalam usaha ini adalah, memasyarakatkan kain tenun NTT dan “mengaintenun- NTTkan” masyarakat. Wuih… hebat ya.  Semoga karena memang menarik, setiap daerah punya ciri yang kental. Sumba motifnya banyak ke binatang dan manusia. Timor, warnanya lebih cerah dan motif lebih beragam. Sementara Ende punya sarung untuk pria yang motifnya bergaris cenderung warna biru. Lalu untuk wanita, motifnya lebih rumit dan didominasi nuansa coklat, juga emas.

Bisa dipahami, jika kekayaan semua ini lantas punya harga yang sepadan. Yang khas itu, menarik dan tak massal. Penggarapannya pun membutuhkan enerji, otak yang cerdas, hati dan waktu.

Berbagai tenun koleksi Olen: tenun nagekoe, sarung pria motif ragi, tenun sabu, dan tenun timor, Ist

Bagaimanapun helai tenun ini adalah hasil karya seni. Karya seni itu hadir karena adanya penyatuan alam pikir dan rasa. Tak salah jika La Fontaine mengatakan, kemenangan yang paling indah ketika bisa menaklukkan hati sendiri dalam situasi yang sulit. Maka, keinginan diri untuk terus berbuat, berkarya merupakan salah satu cermin siapa diri kita ini.

Ini yang harus dikenali dengan baik agar tidak lupa diri. Florentia melakukan itu tidak hanya sekedar hitungan bisnis, namun juga mengajar diri dan orang lain untuk lebih memahami, yang Maha Kuasa sudah memberikan kekayaan kepada negeri ini tak terbatas. Tinggal kini, bagaimana mengolah, sekaligus melestarikan dengan semestinya. Dan, Florentia Krisantya melakukan hal itu melalui tenun NTT.  (Martha Sinaga)



About Gatot Irawan

Check Also

Toshiba Setia Temani Keluarga Indonesia

Ini adalah bukti langkah pasti Toshiba memberikan yang terbaik melalui inovasi teknologi pada 11 produk terbarunya. Ist

Leave a Reply