Jakarta, NextID – Disahkannya RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi UU seharusnya menjadi angin segar bagi masyarakat MBR untuk memiliki rumah, namun implementasinya diperkirakan tidak semudah membalik telapak tangan. Indonesia Property Watch mencatat beberapa hal yang harusnya disikapi kritis oleh pemerintah agar jangan sampai dana besar yang ada di Tapera menjadi dana “bancakan” oleh pihak-pihak tertentu. “Bahkan, berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh Indonesia Property Watch dengan beberapa ahli pembiayaan perumahan dan micro finance ternyata terdapat beberapa hal yang tidak sinkron dengan visi Tapera yang ada,” papar Ali Tranghada, dalam rilis yang diterima NextID, Jumat (26/2).
Menurut Ali, syarat utama kepesertaan Tapera adalah mereka yang menerima upah diatas UMP dengan iuran sebesar 3 persen dari upah tiap bulan, dimana 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen dibayar pengusaha. Melihat hal ini maka tentunya beban pengusaha menjadi bertambah dan dipertanyakan kehadiran pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat, karena yang terjadi adalah penyediaan rumah dari masyarakat ke masyarakat dengan azas gotong royong. Azas ini terkesan baik namun sering terperangkap dengan menghilangkan peran dan tanggung jawab negara secara langsung dalam hal ini.
Hal lain, kata Ali yang dianggap menjadi tumpang tindih yakni, ketika Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono mengatakan, dana Tapera pertama akan dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana Rp 33 triliun menjadi modal untuk Tapera. Hal ini tentunya berbeda karena FLPP sangat erat kaitannya dengan UU No. 1 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan penyalurannya pun berbeda. Sehingga tidak dapat secara langsung menjadi modal Tapera.
Yang sangat disayangkan lagi ketika ada peran Manajer Investasi (MI) yang menjadi wajib dalam kelolaan dana Tapera. Hal ini akan membuat biaya tinggi untuk membayar MI dan keluar dari visi Tapera sebagai lembaga nirlaba. Dana yang dikelola oleh MI ini sangat besar dan berpotensi menjadi dana ‘bancakan’ dan memasuki area pengelolaan secara komersial. Karenanya pengawasan yang ada harus benar, karena saat ini belum ada pasal yang menyebutkan mengenai pengawasan kelolaan dana tersebut. Perwakilan dari pengusaha dan peserta harusnya hadir untuk dapat mengawasi penyaluran dana tersebut. Bagaimana bila kemudian investasi yang ada merugi, siapa yang tanggung jawab, karena berdasarkan UU Pasar Modal, manajer investasi tidak bisa dituntut atas kerugian yang ada. Uang rakyat dipermainkan untuk kepentingan pihak tertentu.
“Tapera harus diwaspadai karena memang bukan satu-satunya cara untuk merumahkan rakyat. Dengan dana Tapera yang melimpah, DPR dan pemerintah harusnya lebih paham dan sadar bahwa pasar perumahan bukan hitung-hitungan investasi sederhana karena terkait dengan kapasitas pasar, daya beli, dan supply tanah. Dana yang cukup saja tidak menjadi pemerintah dapat mengurangi backlog karena harga tanah terus naik dan tidak ada usaha pemerintah untuk mengendalikan harga tanah bagi masyarakat MBR,” ujarnya.
Karenanya Indonesia Property Watch meminta secara khusus kepada pemerintah unutk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasinya di lapangan. Jangan semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun terselip beberapa hal yang justru membuat rakyat ‘ditipu’.(Satoto Budi)